Friday, April 19, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Ragu-ragu (Skeptis)

 

Seri Syarah HPT Bab Iman.
Artikel ke-39

اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ آُلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

 

Apakah ‘ragu-ragu’ (skeptis) itu?  Menurut Abu Hasyim dari kalangan Muktazilah bahwa ragu ragu adalah ketiadaan ilmu. Artinya, seseorang ragu-ragu dan bersikap skeptic atas sesuatu, karena dia tidak dapat menentukan pilihan, tidak mengetahui mana yang harus dikerjakan. Jika dia mempunyai ilmu pengetahuan akan sesuatu, tentu dia tidak akan ragu-ragu. Jika ia telah yakin atas sesuatu, maka ia akan mengikuti kebenaran yang ia yakini. Seseorang yang yakin bahwa Allah adalah Sang Pencipta, dan tidak ada sikap skeptic sama sekali dalam dirinya, maka ia akan mengikuti keberana Alah. Ia akan menyembah dan taat kepada Allah serta tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun juga. .

Menurut Imam Amidi dari kalangan Asyariyah bahwa ragu-rau merupakan wujudnya dua perkara pada diri seseorang yang saling bertentangan dan seseorang tersebut tidak meyakini salah satu sebagai yang benar, atau tidak dapat memilih salah satu dari dua perkara tadi. Seperti juga pendapat Abu Hasyim, menurut Imam Amidi, ragu-ragu dan sikap skeptis bukanlah ilmu. Seseorang yang mempunyai sifat ragu, artinya keyakinan tentang ilmu belum menancap dalam hatinya.

 

Ini artinya bahwa ragu-ragu berkaitan dengan dua pilihan. Jika seseorang telah memberikan pilihan pasti, maka sikap ragu itu menjadi sirna. Ia telah mendapatkan ilmu pengetahuan. Ini sudah dapat melangkah untuk merancang sesuatu guna mewujudkan pilihannya.

 

Para ulama kalam membagi sikap skeptis atas sesuatu menjadi dua, pertama skeptis mutlak dan kedua skeptis metodologis (syak manhaji). Skeptis mutlak adalah seseorang yang meragukan atas segala hal secara mutlak. Ia tidak mempercayai adanya kebenaran. Hal ini karena kebenaran membutuhkan sarana dan semua sarana kebenaran pada hakekatnya meragukan.

 

Salah satu sarana untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan mealui panca indera. Kenyataannya, panca indera tidak selamanya benar. Ketika manusia melihat ke langit dan Nampak bintang, ia mengira bahwa bintang itu kecil. Padahal kenyataannya bintang-bintang yang ia lihat itu jauh lebih besar. Demikian juga tatkala manusia melihat bayanga yang nempaknya diam. Namun ternyata ia bergerak. Jadi, panca indera tidak dapat dipercaya. Akal manusia juga sering kali membuat kesalahan. Sesuatu yang menurutnya benar, kenyataannya belum tentu benar menurut orang lain. Sesuatu yang menurutnya rasional, ternyata dianggap tidak rasional bagi orang lain. Jadi sesungguhnya semua di dunia adalah meragukan.

 

Kelompok skeptis mutlak ini, sudah mulai sejak lama, yaitu oleh kelompok Sopis yang hidup di masa Yunani sebelum era Socrates. Mereka beranggapan bahwa sesungguhnya tidak ada standar kebenaran. Semua dianggap relative dan mungkin. Akibatnya terjadi kekacauan pemikiran. Semua bisa dibolaj-balik sesuai dengan kehendak sendiri.

 

Adapun yang kedua, yaitu skeptis metodologis, yaitu ragu-ragu sebagai permulaan untuk memperoleh suatu ilmu pengetahuan. Jauh sebeleum Discartes, paham skeptic metodologis sudah berkembang pesat di dunia Islam. Bahkan sebelum Ghazali, skeptic metodologis ini sudah jamak diketahui oleh para ulama kalam.

 

Baik Muktazilah maupun Ahli sunnah mengatakan bahwa untuk makrifatullah wajib dilakukan dengan nazhar. Hanya saja, menurut ahli sunnah, kewajiban nazhar didasari dari perintah syariat. Ini berbeda dengan Muktazilah yang berpendapat bahwa kewajiban nazhar didasari dari perintah akal.

 

Menurut Imam Haramain bahwa yang wajib adalah awal dari nazhar. Namun di kalangan Muktazilah, kewajiban pertama itu adalah ragu-ragu atau sikap skeptic atas suatu kebenaran. Hanya saja, sikap skeptis tersebut tidak boleh langgeng. Sikap skeptic sekadar sebagai awal untuk proses nazhar guna mendapatkan makrifatullah dan pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam.

 

Ragu didahulukan, karena ragu merupakan awal dari sebuah upaya untuk mencari kebenaran. Ragu menjadi pertanyaan awal, apakah alam raya ada sang pencipta? Jika keraguan telah hilang, maka yang akan muncul pada diri manusia adalah keyakinan mutlak yang tidak akan mudah digoncang oleh apapun juga.

 

Jika seseorang telah yakin bahwa bilangan tiga lebih kecil dari lima, maka siapapun yang menentang pendapat ini, akan ia tolak. Ia akan bersikukuh pada pendapatnya bahwa 3 lebih kecil dari lima. Keyakinan ini muncul setelah berula dari sebuah keraguan, lalu ia mencari bukti (melakukan proses nazhar), dan dari bukti ini, ia menemukan kebenaran. Ia baru akan menarik diri dari pendapatnya, jika pendapat lawan lebih kuat dan lebih masuk akal.

 

Dalam al-Quran, banyak sekali ayat yang memerintahkan kita untuk melakukan pengamatan kea lam raya. Dari sana, lantas akan muncul sikap bahwa sesungguhnya keindahan dan kebesaran alam raya tentu ada sang pencitpa. Ayat tersebut sekana tertuju kepad amereka yang mempunyai sikap ragu, dan dengan keraguan itu melalui pengamatan dan pembuktian, maka akan muncul sebuah keyajkinan kebenaran. Artinya bahwa ragu dalam proses untuk mencari kebenaran, bukan merupakan perbuatan tercela dan terlarang. Hal ini seperti firman Allah berikut ini:

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

Artinya: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”

 

Orang kafir tidak percaya dan meragukan adanya Allah. Kemudian Allah menantang kepada orang kafir, agar melihat jagat raya ini. Sikap ragu, dijadikan sebagai pengantar dan premis kepada kebenaran hakiki dan pengakuan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَّاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi sesudah mati (keringnya) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. [al-Baqarah/2:164].

 

Ayat di atas juga memberikan keterangan bahwa alam raya, sesungguhnya menjadi bukti keberadaan Allah Yang Maha Kuasa. Alam raya, memberikan bantahan pada mereka yang inkar atau masih ragu tentang Tuhan, dan ia akan menjadi bukti kebenaran. Atau yang lebih jelas lagi adalah ayat berikut ini:

وَإِن كُنتُمْ فِى رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِۦ وَٱدْعُوا۟ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Al Baqarah Ayat 23) .

 

Jika sudah menemukan kebenaran, sesorang umumnya akan mempertahankan apa yang ia yakini. Bahkan banyak yang rela mengorbankan jiwanya demi keyakinan kebenaran tersebut, seperti para tukang sihir Firaun, yang mulanya mengikuti Firaun, namun setelah mendapatkan bukti kebenaran Musa, ia ragu dengan pernyataan firan dan ahirnya mengikuti ajaran Nabi Musa.

وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ ()قَالُواْ ءَامَنَّا بِرِبِّ الْعَالَمِينَ ()رَبِّ مُوسَى وَهَارُونَ ()قَالَ فِرْعَوْنُ ءَامَنتُم بِهِ قَبْلَ أَن ءَاذَنَ لَكُمْ إِنَّ هَـذَا لَمَكْرٌ مَّكَرْتُمُوهُ فِي الْمَدِينَةِ لِتُخْرِجُواْ مِنْهَا أَهْلَهَا فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ ()لَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُم مِّنْ خِلاَفٍ ثُمَّ لَأُصَلِّبَنَّكُمْ أَجْمَعِينَ ()قَالَ فِيهَا تَحْيَوْنَ وَفِيهَا تَمُوتُونَ وَمِنْهَا تُخْرَجُونَ

Artinya: Dan ahli-ahli sihir itu serta merta merebahkan diri dengan bersujud.  [) Mereka berkata: “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam,” () “(iaitu) Tuhan bagi Musa dan Harun”. ()Firaun berkata: “Adakah patut kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya (perbuatan) ini adalah suatu tipu daya yang telah kamu lakukan di bandar ini kerana kamu hendak mengeluarkan penduduknya dari padanya; maka kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu ini);” () “Demi sesungguhnya, aku akan memotong tangan dan kaki kamu dengan bersilang secara bertimbal balik, kemudian aku akan menyalib kamu semuanya.” ()Mereka (ahli2 sihir) menjawab: “Sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (QS. Al-A’raf: 118-125)

 

Seperti juga para syuhada yang telah mengorbankan nyawanya demi memegang kebenaran yang ia yakini. Kebenaran akan membuahkan kepada ketentangan batin seperti dalam hadis berikut ini.

 

فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ.

Karena sesungguhnya kebenaran adalah ketentraman dan dusta adalah keraguan. (HR. Tirmidzi)

Terkait perintah untuk menghilangkan ragu-ragu juga bisa dilihat dari hadis berikut:

عَنْ أَبِـيْ مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ وَرَيْحَانَتِهِ قَالَ : حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ :(( دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ))

Dari Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Aku telah hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” [HR. At-Tirmidzi dan an-Nasâ`i)

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

3 × three =

*