Saturday, April 20, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Menyikapi-ayat-Mutasyabihat: Takwil

Seri Syarah HPT Bab Iman.

 

Artikel ke-54

الإِيْمَانُ بِا للهِ عَزَّ وَجَلَّ

( 6) ولاَ ( يُشْبِهُهُ شَيئٌ مِنَ الكَائِنَاتِ ( 7)
4
IMAN KEPADA ALLAH YANG MAHA MULIA

Tiada sesuatu yang menyamai-Nya (7).

 

Takwil seperti halnya yang umu didefinisikan oleh ulama ushul adalah memalingkan makna hakekat kepada makna lain yang lebih sesuai dengan adanya indikator. Artinya bahwa selama suatu lafal atau kalimat bisa dipahami apa adanya, dan tidak ada indikator tertentu yang dapat menjadi pemaling adri makna pertama, maka ia tidak boleh dipalingkan kepada makna kedua. Perubahan makna tadi, terkadang menjadi sebuah keharusan, manakala suatu kalimat tidak bisa dipahami, atau mustahil dipahami sesuai dengan makna pertama.

Dalam kitab Al-Mustasfa, Imam Al-Ghazali  menyatakan sebagai berikut: “Takwil dalah upaya untuk memahami makna dari suatu lafal yang sifatnya masih samar, karena adanya dalil tertentu maka makna dipalingkan kepada makna lain yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.”

Sementara itu, Imam Al-Amidi menyatakan, bahwa takwil adalah memalingkan makna lafazh zohir yang masih samar kepada makna lain karena adanya argumen yang mendukung”

 

Takwil dalam bahasa Arab sangat memungkinkan. Hal ini karena bahasa Arab,sebagaimana juga bahasa-bahasa lain di dunia, terkadang menggunakan majaz atau ungkapan metafor untuk mengungkapkan sesuatu. Dalam al-Quran sendiri banyak terdapat ayat yang menggunakan kata metafor ini, sehingga jika dimaknai apa adanya, maka akan menimbulkan kerancuan. Pembaca dapat memahami suatu metafor, dengan melihat konstruksi dari suatu kalimat. Contohnya sebagaimana berikut ini

فما بكت عليهم السماء والأرض وماكانو منظرين

 Artinya: “Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi penangguhan waktu.” (QS. Ad-Dukhan: 29).

Pada ayat di atas, disebutkan bahwa bumi menangis, padahal yang kita lihat bumi benda mati. Jadi ia tidak pernah menangis.  Dalam tafsir Ibnu Kasir dijelaskan bahwa maksud dari menangis seperti yang disebutkan oleh ayat di atas adalah tiadanya amal baik bagi pasukan firaun yang mati ditenggelamkan. Karena jika seseorang memiliki amal baik maka pasti akan ada yang menangisinya. Oleh pakar bahasa, pembelokan makna asli menjadi makna lain pada ayat tersebut, disebut dengan isti’arah.

Contoh kedua, seperti firmanAllah

إن شر الدواب عند الله الصم البكم الذين لايعقلون

Artinya: “Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah mereka yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran) yaitu orang-orang yang tidak mengerti.”

Ayat di atas menggunakan kata “dabbah”. Dalam bahasa Arab, dabbah adalah hewanberkaki empat. Di sini menggunakan kata dabbah, sementara maksudnya adalah manusia. Titik persamaan antara hewan dengan manusia adalah sama-sama mempunyai kebutuhan biologis. Perbedaannya adalah bahwa hewan tidak berakal, sementara manusia berakal. Jika ada manusia tidak mau menerima hidayah dan petunjuk Allah, sama artinya manusia tadi tidak berakal. Jika demikian, bearti ia seperti hewan. Dalam ilmu sastra Arab, struktur bahasa seperti ini biasa disebut dengan tasybih.

Bisa juga dilihat pada ayat berikut ini:

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَادِقُونَ

Artinya: Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”. (QS. Yusuf : 82)

Negeri adalah suatu tempat danwilayah yang mempunyai penduduk. Negeri, sebagai nama sebuah kawasan adalah benda mati. Ia bukan manusia. Namun jika kita perhatikan pada ayat di atas, diperintahkan untuk bertanya kepada suatu negeri.  Di sini, ada sesuatu yang dihaus, yaitu penduduk. Jadi yang dimaksudkan oleh ayat al-Quran di atas merupakan penduduk negeri, bukan negeri itu sendiri. Artinya kita memalingkan makna asli kepada makna lain yang lebih logis. Oleh pakar bahasa, pemalingkan makna seperti di atas, namanya majaz mursal.

Yang ingin kami sampaikan adalah bahwa memalingkan makna suatu kata dalam bahasa arab, termasuk juga al-Quran adalah sesuatu yang mungkin dan bahkan memang terjadi. Majaz ada dalam al-Quran. Untuk menyikapi hal ini, para ulama mencari makna lain yang lebih masuk akal. Tentu dengan melihat pada indikator dengan melihat pada struktur kalimat.

Para ulama kalam umumnya menerima takwil. Mereka berpedoman pada kaedah yang umum yang berlaku pada struktur bahasa Arab. Jadi, takwil sesungguhnya bukanlah membuat makna baru tanpa sebab. Takwil dilakukan, karena jika menggunakan makna awal, atau makna asli, terjadi kerancuan pada makna yang dimaksud oleh suatu kalimat.

Ulama kalam, termasuk di dalamnya dari kalangan Asyari dan Maturidi, menggunakan takwil sebagai salah satu sarana untuk memahami nas. Takwil dijadikan sebagai salah satu sarana dalam upaya menyingkap makna yang dimaksud pada ayat-ayat sifat.  Sarana lain, selain takwil adalah tafwith. Takwil ini dilakukan, karena pada ayat-ayat sifat, menampilkan ungkapan yang umum terjadi pada manusia. Sementara itu, Tuhan berbeda dengan apapun juga. Jika kita menerima lafal al-Quran dengan makna semantis, maka akan menyamakan antara Tuhan dengan manusia. Tentu ini tidak masuk akal. Maka takwil menjadi sarana dan solusi ulama kalam untuk memahami ayat-ayat sifat tersebut.

Imam Razi, menuliskan buku khusus terkait takwil ini. Beliau menulis buku dengan judul asasu at-Taqdis. Buku ini dilatarbelakangi karena banyak umat yang mengikuti pendapat kelompok hasyawiyah dan karamiyah.  Dua kelompok ini, menerjemahkan kata-kata dari ayat sifat apa adanya. Tuhan dianggap tersenyum, marah, berjalan, duduk di atas singgasana dan lains sebagainya sebagaimana manusia.

Tentu ini menggelisahkan Imam Razi. Bagi beliau, sikap dua golongan tadi membahayakan akidah umat. Pemahaman mereka harus diluruskan dan dibenarkan. Jika dibiarkan, mereka sama saja menganggap Tuhan layaknya manusia. Menyembah Tuhan, seakan-akanmenyembah Tuhan yang mirip dengan manusia.

Namun apa yang dilakukan oleh Imam Razi ini, ternyata membahayakan dirinya. Buku ini seperti membungkam apa yang selama ini menjadi keyakinan kelompok karamiyah dan hasyawiyah. Mereka merasa bahwa apa yang selama ini menjadi keyakinan mereka, diruntuhkan oleh Imam Razi.  Maka, Imam Razi harus disingkirkan. Mereka pun membuat makar dan pada akhirnya berhasil membubuhkan racun pada makanan Imam Razi. Dan pada akhirnya, Imam Razi syahid.

Terkait takwil ini, Imam Ibnu Jauzi dari madzhab Hambali dalam kitab al-Majalis menyatakan sebagai berikut, “Jika kau nafikan penyerupaan (antara Allah dengan selainnya) pada zhahir dan batin ayat, itu silahkan saja tidak ada masalah. Jika Anda tidak mungkin untuk menghilangkan penyerupaan Allah dengan lainnya kecuali dengan cara melakukan takwil, maka takwil jauh lebih baik daripada melakukan penyerupaan”. Yang dimaksud penyerupaan atau  tasybih oleh Imam Ibnu Jauzi di sini adalah melakukan itsbat makna.

Sebagaimana kami sampaikan bahwa takwil menjadi salah satu sarana saja. Takwil dilakukan manakala tidak mungkin lagi memahami makna seperti zhahir nas. Maka takwil menjadi sarana dan solusi. Jika makna sudah bisa dipahami tanpa takwil, maka tidaklah perlu dilakukan takwil ini. Dalam buku yang sama, beliau juga menyatakan sebagai berikut, “Penyerupaan adalah penyakit dan takwil adalah obatnya. Jika tidak ada penyakit, maka tidak butuh obat”.

Bisa saja seseorang menolak takwil dengan alasan bahwa para sahabat tidak pernah melakukanitu. Hanya saja, hal ini bisa dijawab bahwa tidak semua yang tidak dilakukan oleh para sahabat, bearti tidak boleh dilakukan oleh kita. Banyak faktor yang melatarbelakangi sahabat tidak melakukan sesuatu. Hal ini juga dijawab oleh Ibnu Jauzi sebagai berikut, “Para sahabat tidak pernah melakukan takwil. Mengapa kita harus melakukan takwil? Pernyataan ini,seperti orang yang mengatakan, “Para sahabat jika mereka hendak pergi ke mekkah,mereka tidak pernah melewati kufah. Mereka tidak ke Kufah, karena memang tujuannya Mekah. Kufah bukan tempat yang akan dilewati mereka.  Ini bukan bearti bahwa masuk kufah, itu hukumnya bidah.  Sama saja dengan tema kita ini. Mereka tidak melakukan takwil bukan bearti bahwa takwil itu terlarang. Namun karena waktu itu belummuncul bidah dan penyerupaan Allah dengan lainnya sehingga mereka tidak membutuhkan takwil.

Beliau jgua menambahkan, butuh tidaknya suatu takwil, itu seperi dua orang, yang satu sedang sakit sementara satunya lagi sehat.  Jika orang yang sakit tadi tidak mau minum obat, maka kita akan katakan bahwa ia salah. Dia tidak bisa beralasan bahwa temannya tidak minum obat, karena memang temannya sehat. Sementara orang sehat tidak membutuhkan obat. “

Dalam kitab al-Musayarah, Ibnu Himam mengatakan sebagai berikut, “Jika kita takut kepada orang awam memahami istiwa itu, melekatnya suatu benda pada benda lain seperti yang umum terjadi pada suatu benda, maka tidak ada masalah makna istiwa dimaknai dengan istila atau menguasai.”

Pernyataan Ibnu Himam ini sesungguhnya beralasan. Kalangan Hasyawiyah memaknai sifat Tuhan, sama persis dengan manusia. Tuhan dianggap duduk di atas singgasana, mempunyai tempat, berada di sisi tertentu, mempunyai tangan, kaki dan lain sebagainya. Semua sifat-sifat tersebut, memang disebutkan dalam al-Quran, dan mereka memahaminya secara tekstual. Maka yang muncul adalah menganggap Tuhan layaknya manusia.

Jadi, takwil bukan memberikan makna bahasa sesuka hati. Takwil tetap berpedoman pada kaedah bahasa. takwil pun dilakukan karena untuk menjaga makna nas agar tetap sesuai dengan kemahasucian Allah. Takwil digunakan, dengan tujuan agar manusia tidak sampai menyamakan Allah dengan sesuatu apapun juga termasuk manusia. Dengan demikian, manusia sebagai hamba Allah dapat menyembah Allah dan memberikan sifat kepada-Nya sesuai dengan kemahasuciannya.

======================
Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan Pondok Modern Almuflihun, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

15 − twelve =

*