Tuesday, April 23, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Mengapa Muhammadiyah Menolak Madzhab Fitrah dan Memilih Madzhab Nazhar?

Matan:

اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ آُلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

Syarah:

Sebelumnya sudah kami sampaikan bahwa dalam ilmu kalam terkait erat dengan nazhar. Jika kita telaah pada matan HPT, Muhammadiyah memilih dan merajihkan madzhab nashar seperti yang dianut oleh madzhab Ahli Sunnah dari kalangan Asyari dan Maturidi. Hal ini juga dikuatkan dengan argument baharunya alam raya (dalil hudus) yang merupakan poin terpenting untuk membuktikan tentang nazhar itu.

Madzhab fitrah beranggapan bahwa nadzhar tidaklah penting. Bahkan secara jelas, Ibnu Taimiyah menganggap bahwa nazhar dan sarana nazhar dengan argument alam baharu (hujah dalilul hudus) seperti yang digunakan oleh madzhab Ahli sunnah dari kalangan Asyariyah dan Maturidiyah, dianggap bid’ah. Model ini, menurut Ibnu Taimiyah tidak pernah dicontohkan oleh al-Quran, nabi Muhammad saw, para sahabat dan juga generasi salaf lainnya. Bagi Ibnu Taimiyah, masalah Tuhan adalah masalah fitrah yang tidak perlu argumen. Secara nalusriah, manusia telah beriktikad dan tahu tentang keberadaan Tuhan.[1]

Lantas mengapa Muhammadiyah tidak memilih madzhab fitrah dan memilih nazhar? mengapa Muhammadiyah merajihkan madzhab nazhar dari kalangan Asyari dan maturidi? Jawabannya telah ditulis oleh Imam Amidi dalam kitab Ibkarul Afkar fi Ushuliddin, salah seorang ulama madzhab Asyari dengan menyatakan sebagai berikut:

  1. Dalam al-Quran banyak terdapat ayat yang menerangkan mengenai perintah untuk melihat alam raya. Bahkan ayat-ayat tersebut sangat banyak, lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang secara sharih berbicara masalah hokum. Ini menunjukkan bahwa nazhar bukan sekadar akal-akalan logika, namun memang menjadi perintah dari al-Quran.
  2. Ulama kalam yang mengatakan bahwa nazhar merupakan sebuah keharusan, selain berdasarkan kepada ayat dan argument wahyu, juga berdasarkan kepada ijmak ulama. Sejak masa nabi hingga sekarang, tidak ada ulama yang melarang umat manusia untuk melakukan nazhar. Melarang manusia melakukan nazhar dan merenungi alam raya guna melihat kebenaran Sang Pencipta dan menambah keimanan seseorang, sama artinya dengan menentang wahyu al-Quran.
  3. Sanggahan para pengikut madzhab fitrah yang mengatakan bahwa ijmak terkait nazhar adalah mustahil, bias dibantah. Ijmak sesungguhnya menjadi salah satu piranti dalam penggalian dan kesimpulan hokum. Ia menempati nomor tiga setelah al-Quran, sunah lalu ijmak. Ijmak bias berdasarkan kepada wahyu atau logika. Ijmak berdasarkan wahyu misalnya terkait dengan kewajiban shalat 5 waktu, kewajiban puasa, kewajiban haji dan lain sebagainya. Terkait nazhar ini, pun para ulama bersekapat dengan berlandaskan pada wahyu.
  4. Menafikan nazhar, sama artinya dengan menafikan ilmu pengetahuan alam. Nazhar menjadi piranti penting manusia untuk meraih kemajuan sains dan tegnologi. Nazhar terkait erat dengan tugas manusia untuk membangun peradaban dunia dan menjadi tugas manusia sebagai khalifatullah di muka bumi.
  5. Mereka yang menolak nazhar, di antara alasannya adalah mengenai kapasitas manusia yang mempunyai kemampuan intelektual yang berbeda-beda. Ada yang cerdik pandai, ada orang bodoh, ada orang idet dan bahkan ada orang gila. Jika nazhar menjadi sebuah keharusan bagi seorang mukallaf untuk mengakui Tuhan, bearti memberikan beban berat bagi mereka yang tidak mampu. Apakah sekadar untuk beriman, harus menjadi orang pandai? Jawanya adalah sebagai berikut. Pertama bahwa kewajiban nazhar, merupakan kewajiban seorang mukallaf.[2] Mukallaf maknanya, orang tersebut sudah akil balig dan berakal. Jika seseorang belum balig maka ia belum disebut sebagai seorang mukallaf. Jika seseorang tidak punya akal, seperti orang gila, maka ia tidak mempunyai kewajiban nazhar. Hal ini mengingat bahwa orang gila tidak mendapatkan beban syariat. Dalilnya adalah sabda nabi sebagai berikut:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ، عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.

Artinya: “Telah terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai dia sadar, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dan dari anak kecil sampai dia baligh.”  (HR. Ibnu Hibban dan Hakim). Ringkasnya, nazhar diwajibkan hanya bagi yang sudah memenuhi syarat taklif.

Kedua, bahwa nazhar tidak bearti harus menjadi seorang ilmuan. Nazhar maksudnya adalah melihat, mendengar atau merasakan alam sekitar, yang dapat dijadikan sebagai bukti nyata wujudnya Tuhan. Nazhar bias dilakukan secara sederhana dan bias dilaksanakan oleh semua manusia, seperti dengan melihat langit dan bumi atau wujud diri kita. Contoh nazhar adalah firman Allah berikut ini:

وَفِي الأرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ  () وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلا تُبْصِرُونَ

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin () dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (QS. Adz-Dzariyat: 20-21)

Semua orang tau tentang alam raya dan tahu tentang wujud dirinya. Dengan menengadahkan wajahnya ke atas, atau bertanya dengan dirinya sendiri, dan terdetik di benaknya tentang Sang Pencipta, ini sudah dianggap sebagai nazhar. Tidak mungkinlah al-Quran memerintahkan kepada manusia, dengan banyaknya ayat al-Quran tersebut, sementara manusia tidak mampu melaksanakannya. Allah hanya akan memberikan beban taklif kepada manusia sesuai dengan kemampuan manusia.

Ada sebuah cerita sebagaimana diterangkan dalam kitab syarag shahih bukhari sebagai berikut. Seorang badwi ketika ditanya oleh al-Ashma’i

كيف عرفت الله ؟

Artinya: “Bagaimana engkau mengenal (mengetahui keberadaan) Allah?”

Badui tadi menjawab sederhana, namun sangat masuk akal, yaitu sebagai berikut:

البعرة تدل على البعير، والروث يدل على الحمير، وآثار الأقدام على المسير، فسماء ذات أبراج، وأرض ذات فجاج، وأبحر ذات أمواج ألا يدل ذلك على اللطيف الخبير.

Artinya: “Tahi onta itu menunjukkan adanya onta, kotoran keledai menunjukkan adanya keledai, bekas tapak kaki menunjukkan adanya orang yang berjalan, maka langit yang punya gugusan bintang, dan bumi yang memiliki jalan-jalan yang lebar, dan laut-laut yang bergelombang, tidakkah itu menunjukkan adanya (Allah) Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui?”[3]

 

Badui adalah orang kampong yang jauh dari peradaban maju. Keilmuan mereka pun terbatas. Namun dengan kesederhanaan dan keterbatasan kemampuan itu, mereka tetap bias menjawab tentang Tuhan dan bahwa alam raya poasti ada Sang Maha Pencipta. Inilah nazhar itu. Melihat ciptaan Allah yang dapat mengantarkan dirinya untuk mengakui keberadaan Tuhan. Nazhar menjadi pintu awal seseorang mengakui sepenuh hati dan beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa. Iman tadi, kemudian dibuktikan dengan ikrar dengan lisan, yang artinya ia menjadi seorang muslim. Syahadat menjadi pintu awal seseorang dikenai berbagai hokum taklif terkait dengan syariat Islam. Syahadat adalah bukti nyata dari nazhar yang dia lakukan.

  1. Barangkali mereka akan mengatakan bahwa pada masa kenabian, tidak ada perintah nazhar. Para sahabat juga tidak melakukan nazhar. Pendapat ini tentu terbantahkan oleh ratusan ayat al-Quran yang berbicara tentang alam semesta. Ayat-ayat itu, turun untuk menghardik orang kafir yang jelas-jelas melihat alam raya, namun tidak mau mengakui keberadaan Tuhan.

Ada seorang kafir Quraisy yang bernama Ubai bin Khalaf yang membawa tulang mayat yang sudah lapuk. Dia mengatakan, “Saya akan mendatangi Muhammad dan berdebat dengan dirinya dengan bukti nyata ini. Akan saya buktikan bahwa hari pembalasan tidak pernah ada”. Ia lantas dating menemui nabi Muhammad saw dan lalu berteriak sambil berkata, Wahai Muhammad, siapakah yang akan menghidupkan tulang yang sudah lapuk ini? Siapakah yang percaya dengan hari kebangkitan? Namun tantangan Ubaik bin Khalaf tadi, serentak dijawab dengan turunnya 5 ayat (QS. Yasin78-82) sebagai berikut:.

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ ۖ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ  () قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ () الَّذِي جَعَلَ لَكُمْ مِنَ الشَّجَرِ الْأَخْضَرِ نَارًا فَإِذَا أَنْتُمْ مِنْهُ تُوقِدُونَ () أَوَلَيْسَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِقَادِرٍ عَلَىٰ أَنْ يَخْلُقَ مِثْلَهُمْ ۚ بَلَىٰ وَهُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ (9 إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

 

Artinya: 78.  Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” ( ) Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. () yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu”. ()D an tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. () Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.

Ayat ini secara jelas memberikan jawaban terkait pengingkaran kaum kafir terhadap Tuhan dan hari kebangkitan. Ayat al-Quran meminta kepadanya untuk melakukan nazhar dan memikirkan mengenai tulang belulang  rapuh yang telah ia bawa. Bagi Allahsebagai Tuhan Semesta Alam, jangan sekadar membangkitkan sesuatu yang sebelumnya ada, menciptakan alam raya dari ketiadaan pun sangat mudah. Hanya dengan “Kun”, jadilah, maka apa yang dikehendai tuhan akan terjadi “fayakun).

  1. Jika nazhar terlarang, tentu Allah akan mencela bagi mereka yang melakukan nazhar. Sementara ratusan ayat al-Quran justru memberikan perintah kepada umat manusia untuk melakukan nazhar. Ini saja sudah dapat mematahkan pendapat mereka yang mencela dan menolak pandangan para ulama kalam yang mewajibkan nazhar.
  2. Barangkali ada anggapan bahwa nazhar hanya akan menimbulkan perdebatan tanpa ujung pangkal dan bahwa memunculkan sikap ego dan kesombingan yang dilarang oleh agama. Jawabnya adalah bahwa nazhar di sini, atau bahkan perdebatan di sini, terkait dengan perdebatan yang tujuan utamanya adalah pengakuan kepada Tuhan yang maha esa. Dalam al-Quran banyak sekali ayat yang melakukan perdebatan baik kepada orang kafir Quraisy, kaum Yahudi dan Nasrani agar mereka kembali kepada jalan yang telah ditentukan oleh Allah swt. Apakah debat al-Quran tersebut tercela? Tentu saja tidak. Debat tersebut dimaksudkan guna membuktikan mengenai kebenaran wahyu. Terkait legal dan dibolehkan perdetana terkait nazhar tersebut, misalnya bisa kita baca dalam ayat berikut:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُّنِيرٍ

Artinya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya (alhaj:8)

كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ وَالْأَحْزَابُ مِن بَعْدِهِمْ ۖ وَهَمَّتْ كُلُّ أُمَّةٍ بِرَسُولِهِمْ لِيَأْخُذُوهُ ۖ وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ فَأَخَذْتُهُمْ ۖ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ

Artinya: Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka telah mendustakan (rasul) dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu; karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azab-Ku?

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl: 215)[4]

 

[1]

[2] Imam haramain, asyamil

[3] (Syarh al-Bukhari li al-Safiry, 1/461).

 

[4] Terkait jawaban mengenai mereka yag menolak nazhar, khususnya dari kalangan madzhab fitrah, dijawab panjang lebar oleh Imam Amidi dalam karyanya, Ibkarul Afkar fi Ushuliddin, tahkik ………jilid 1, cet…….hal.

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

one + 18 =

*