Friday, April 19, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Hati-hati, Jangan Memasukkan Furu Fikih Ke Dalam Perkara Akidah

Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan tulisan yang viral di Wa. Tulisan tersebut membahas tentang kejadian di daerah wonosob terkait dengan adzan yang dilakukan tidak tepat waktu. Terahit, tulisan ditutup dengan anggapan bahwa persoalan umat sudah sangat kronis, karena menyangkut perkara akidah. Penulis juga menghimbau para ulama untuk turun gunung guna menyelesaikan persoalan akidah yang sangat urgen ini

Ada beberapa hal yang nampaknya perlu digarsbawahi. Saya huznudzan dengan penulis yang penuh semangat ingin berdakwah dan meluruskan pandangan keislaman yang ada di daerah tersebut. Sayangnya, penulis belum memahami benar terkait persolana di atas sesuai dengan standard keilmuan para ulama.
Pertama, penulis mencampuradukkan antara imu fikih dengan akidah. Kedua, terkait urf dengan syariah.

Untuk bagian pertama, bahwa adzan adalah perkara yang terkait erat dengan ibadah, bukan akidah. Perkara akidah, terkait erat dengan hukum taklifi. Di ushul fikih, terkait hukum taklifi ada 5 bagian, yaitu wajbi, sunah, haram, makruh dan mubah.

Jika adzan termasuk hukum taklifi, masuk bagian manakah ia? Seluruh ulama sepakat bahwa adzan tidak wajib. Adzan hukumnya sunnah. Karena ia sunnah, maka akan mendapatkan pahala jika dilakukan dan tidak mendapatkan apapun ketika ditinggalkan.

Shalat yang dimulai dengan adzan adalah baik adanya. Jika tidak ada adzan, maka shalat seseorang tetap sah. Adzan tidak terkait dengan syarat atau rukun shalat sehingga tidak mempengaruhi sah atau tidaknya shalat seseorang.

Terkait pelaksanaan shalat sendiri, para ulama membagi menjadi dua. Pertama ada’, yaitu seseorang yang melaksanakan shalat di waktunya, baik awal waktu maupun ahir waktu. Bagi madzhab Syafi’I, shalat di waktunya, baik awal atau ahir atau tengah waktu, disebut dengan al-fardhu atau al-wajib. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa shalat diawal waktu, disebut sebagai al-Fard, sementara jika tidak diawal waktu, namanya al-wajib.

Kedua, qadha, yaitu shalat yang dilaksanakan di luar waktu, missal shalat zhuhur di waktu asar. Jika seseorang melaksanakan shalat di luar waktu, jika karena uzhur missal lupa atau ketiduran, atau pingsan dan lainnya, maka ia tidak berdosa. Jika shalat di luar waktu karena sengaja, namun ia tidak inkar dengan kewajiban shalat, ia disebut pelaku maksiat dan ia tetap muslim.

Adzan sendiri sesungguhnya mempunyai dua fungsi. Pertama penanda awal waktu shalat. Kedua panggilan shalat. Jika adzan dilaksanakan di awal waktu, bearti ia telah menjalankan dua fugsi sekaligus. Namun jika tidak dilakukan di awal waktu, maka ia hanya menjalankan satu fungsi saja, yaitu ajakan untuk melaksanakan shalat jamaah. Yang pasti, semua ulama sepakat bahwa shalat tetap sah tanpa adzan.

Sementara itu, tauhid, terkait erat dengan kepercayaan seseorang dengan Allah, malaikat, ara rasul, hari ahir, alam ghaib dan lain sebagainya. Jika seseorang inkar dengan rukun iman, maka ia dianggap kafir. Jika ia beriman secara lisan, namun hatinya inkar, maka ia disebut munafik. Jika hatinya beriman, lisannya juga bersyahadat, maka ia disebut muslim dan mukmin.

Keimanan tadi juga mempunyai implikasi dalam hukum positif. Jika seseorang muslim, kemudian inkar atas salah satu rukun iman, maka ia dianggap murtad. Jika murtad, maka para ulama memberikan hukum istitabah yaitu kesempatan untuk bertaubat. Jika ia bersikeras dengan kemurtadannya, maka ia dapat dikenakan hukuman mati.

Jika kafir itu dzimmi, maka ia harus dilindungi dan mendapatkan hak keamanan serta hak kewarganegaraan lainnya. Jika ia kafir harbi, maka layak untuk diperangi. Jika ia muahid, dan ia berada di wilayah islam, maka ia jug harus dilindungi dan mendapatkan hak sebagai muahid atau warga Negara asing yang tinggal di Negara Islam.

Jadi, para ulama membagi ilmu tauhid, ilmu fikih dan lainnya itu, sudah dengan pertimbangan yang sangat matang. Semua cabang ilmu tadi, punya ketetapan hukum sendiri dan punya implikasi dalam hukum positif. Mencampur adukkan antara persoalan yang terkait dengan fikih dengan tauid, sangat berbahaya. Ia juga akan mengacaukan system hukum dan rawa memecah belah umat Islam.

Sebagai contoh, pernyataan di atas tadi. Shalat itu, terkait hukum fikih dan bukan akidah. Jika kemudian di tarik ke persoalan akidah, maka akibatnya adalah menyalahkan, menganggap orang lain akidahnya lemah, atau sesat atau telah menyimpang dari hukum syariat. padahal urusan akidah ini bukan persoalan sepele. Ia terkait erat dengan islam kafir, dan hubungannya juga erat dengan darah. Ini pula sesungguhnya yang banyak terjadi di dunia Islam. Isis mudah sekali menyembelih saudaranya sesame muslim, karena memasukan persoalan furu fikih ke akidah. Persoalan lain, umat akan sangat mudah menyesatkan, membidahkan, menyirikkan, mengkafirkan saudaranya, karena persoalan furu fikih. Sungguh ini sangat berbahaya.

Penulis juga menyatakan bahwa budaya yang harus menyesuaikan hukum syariah, bukan sebaliknya syariah yang menyesuaikan budaya. Padahal jika penuis mau membuka kitab ushul, di sana akan menemukan kaidah khusus terkait dengan budaya ini. Para ulama menyebutnya sebagai al-urf.

Para ulama membahas panjang lebar terkait budaya ini. Bahkan budaya, jika tidak bertentangan dengan hukum syariat, dapat dijadikan sebagai sandaran dan sumber hukum. Dalam kaidah ushul dikatakan:

Islam datang tidak di ruang kosong, namun ia datang di tengah temgah budaya Arab. Islam memberikan solusi hukum terhadap berbagai persoalan yang sedang dihadapi masyarakat Arab waktu itu.

Sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah merupakan bangsa yang berbudaya. Mereka juga mempunyai berbagai macam tradisi yang melekat dalam tatanan masyarakat. Budaya tersebut dibawa oleh nenek moyang mereka secara turun temurun.

Islam datang bukan untuk menghapus seluruh budaya Arab dan diganti dengan budaya baru. Meski demikian, Islam juga tidak membiarkan budaya Arab berjalan apa adanya tanpa ada proses seleksi. Islam memberikan tuntunan dan timbangan terkait dengan budaya tersebut. Tuntuntunan dan timbangannya tentu saja al-Quran dan sunnah nabi.

Di antara tradisi jahiliyah adalah sikap mereka yang suka menghormati tamu. Tradisi memberikan layanan terbaik kepada tamu ternyata sesuai dengan ajaran Islam. Untuk itu, Islam datang dan menguatkan tradisi tersebut. Rasululah saw bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليقل خيرا أو ليصمت ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليكرم جاره ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليكرم ضيفه ) رواه البخاري ومسلم .

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam, dan barangsiapa yang beriman kepada allah dan hari akhir, maka hormatilah tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada allah dan hari akhir, maka hormatilah tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim

Orang Arab suka menolong saudaranya yang dizhalimi. Ini bisa dilihat dari kisah “Halfu al fudhul”, yatu tatkala ada suku Arab yang dizhalimi, maka berbagai suku arab, di antaranya dari Bani Hasyim, Bani Muthallib, Bani Asad, dan Bani Zahrah berkumpul di rumahnya Abdullah bin Jud’an untuk melakukan kesepakatan bersama, bahwa tidak boleh ada kezhaliman di antara suku Arab. Jika ada yang dizhalimi, maka semua suku tadi berkoalisi untuk memberikan pembelaan. Tradisi ini juga dikuatkan oleh Islam dengan sabda nabi Muhammad saw:

انصر أخاك ظالما أو مظلوما
Artinya: “Tolonglah saudaramu baik yang menzhalimi atau yang dizhalimi.” (HR. Bukhari)

Menolong orang yang menzhalimi dengan mencegah mereka agar tidak berlaku zhalim. Ini artinya kita menyelamatkan mereka dari siksaan api neraka. Menolong orang yang dizhalimi, dengan memberikan bantuan agar ia tidak dizhalimi orang lain.

Budaya qishash bagi pembunuh sudah ada sejak zaman Jahiliyah. Bagi yang dimaafkan, boleh mengganti dengan 100 ekor unta. Ini persis seperti kasus Abdul Muthalib yang bernadzar jika mempunyai anak laki-laki, maka ia akan disembelih. Ternyata ia diberi rezki dengan kelahiran Abdullah. Ia sudah berniat untuk menyembelih bdullah, namun ditentang oleh keluarganya. Maka bdul Mutalib menggantikan nadzarnya dengan menyembelih 100 ekor unta dan disedekahkan kepada fakir miskin. Tradisi qishash ini sesuai dengan syariat Islam. Allah berfirman:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (Al-Baqarah: 179)

Selain tradisi baik, bangsa Arab juga mempunyai tradisi buruk, seperti menyembah berhala, mengubur hidup-hidup bayi perempuan, perzinaan, perdukunan dan lain sebagainya. Tentu saja, perbuatan tadi bertentangan dengan syariat. Maka Islam datang untuk meluruskannya. Islam menyeru mereka untuk hanya menyembah Allah, tidak diperkenankan membunuh siapapun tanpa ada alasan yang benar, tidak boleh berzina dan melakukan perbuatan yang dapat mendekati zina, diharamkan melakukan perdukunan dan seterusnya.

Dari bebrapa contoh di atas, para ulama ushul berkesimpulan bahwa tradisi dibagi menjadi dua bagian:
Pertama, tradisi yang sesuai dengan syariah Islam. Tradisi seperti ini diperbolehkan oleh Islam. Untuk menguatkan argument ini, ulma ushul meletakkan kedah:

المعروف عرفا كالمشروط شرطا
Maksudnya, suatu tradisi baik yang telah terpaku di masyarakat dan tidak menyalahi syariat Islam, maka ia bagai sebuah syarat. Contoh, selepas shalat id, bagi masyarakat muslim Nusantara, dilanjutkan dengan acara silaturahmi. Jika kita shalat lalu berdiam diri di rumah, tidak berailaturrahmi ke sanak kerabat, tentu ini dianggap aneh. Silaturrahmi setelah shalat Ied sudah menjadi semacam “syarat tambahan” bagi perayaan Idul Fitri. Di kampung dulu, jika kita shalat tidak pakai peci, dianggap aneh. Peci menjadi semacam “syarat tambahan” untuk shalat.

Oleh karena pentingnya tradisi ini, para ulama ushul meletakkan kaedah lain, yaitu

العادة محكمة

Maksudnya bahwa tradisi menjadi timbangan hukum. Contoh dalam fikih dalam bab nikah. Jika seorang wanita dilamar seorang pria dan ia tidak menyebutkan nilai mahar, maka mahar yg berlaku adalah mahar yang umum dan sudah mentradisi di masyarakat tersebut.

Islam datang ke Indonesia dibawa oleh orang asing, baik India, Persia maupun Arab. Mereka k eNusantara juga dengan membawa tradisi bangsanya. Sedikit banayak tradisi tersebut berpengaruh terhadap tradisi nusantara. Surban yang biasa dipakai para kyai itu, merupakan tradiai Arab. Apem, makan khas bulan Syura dan Ramadhan itu adalah makanan bangsa Arab. Akulturasi budaya lokal dengan Arab paling nampak dari sisi bahasa. Bisa jadi 25 dari kosakata bahasa Indonesia merupakan hasil serapan dari bahasa Arab.

Jadi, hokum syariat tidak kaku. Hukum syariat sangat terbuka menerima ijtihad para ulama. Tidak serta merta tradisi harus kita hapus. Tradisi tetap diakomodir oleh para ulama dalam menentukan hokum fikih. Tentu saja dengan standar danketentuan sesuai dengan yang digariskan oleh para ulama ushul.

Saya sepakat dengan enulis bahwa memang harus ada penyadaran untuk menggerakkan masyarakat agar dapat shalat di awal waktu. Karena pahala tentu lebih besar dibandingkan dengan shalat tidak di awal waktu. Namun menganggap adzan tidak di awal waktu sebagai persoalan besar yang terkait urusan akidah, nampaknya harus direvisi.

Persoalan tradisi juga bukan hal sederhana. Banyak pertimbangan yang dijadikan oleh para ulama sehingga menjadikan tradisi sebagai salahsatu timbangan hukum. Tidak serta merta kita mengatakan bahwa tradisi yang harus menyesuaikan syariah. Toh para ulama masih bersikap terbuka dengan tradisi ini. Jadi, tempatkan sesuatu sesuai porsi dan temanya. Jangan campuradukkan antar cabang ilmu. Jika itu dilakukan, akan terjadi kekacauan dalam sistem ijtihad dan mengacaukan hukum baik fikih atau akidah. Wallahu a’lam

==================================

Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan Pondok Modern Almuflihun, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

three × five =

*