Tuesday, April 23, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Beda Dengan Wahabi, Terkait Ayat Sifat Muhammadiyah Menggunakan Tafwith Atau Takwil?

Jika kita membuka kitab Himpunan Putusan Tarjih Muhamadiyah, kita akan menemukan mengenai sikap muhammadiyah terhadap ayas sifat sebagai berikut:

يَجِبُ عَلَيْنَا اَنْ نُؤْمِنَ بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِىُّ صَلَّى االله عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الْقُرْآنُ وَمَا تَوَاتَرَ الْخَبَرُ عَنهُ تَوَاتُرًا صَحِيحًا مُسْتَوْفِيًا لِشُرُوْطِهِ وَإِنَّمَا يَجِبُ الإِعْتِقَادُ عَلَى مَا هُوَ صَرِيْحٌ فِى ذَالِكَ فَقَطْ وَلاَ تَجُوْزُ الزِّيَادَةُ عَلَى مَاهُوَ قَطْعِىٌّ بِظَنِّىٍّ لِقَوْلِهِ تَعَالَ: إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا (يُونُس: 36 .( وَشَرْطُ صِحَّةِ الإِعْتِقَادِ فِى ذَالِكَ أَنْ لاَ يَكُونُ فِيهِ شَيئٌ يَمَسُّ التَّنْـزِيْهَ وَعُلُوَّ الْمَقَامِ الْاِلهِىِّ عَنْ مُشَابَحَةِ الْمَخْلُوْقِينَ فَاِنْ وَرَدَ مَا يُوْهِمُ ظَاهِرُهُ ذَالِكَ فِى الْمُتَوَاتِرِ وَجَبَ الإِعْرَاضُ عَنْهُ بِالتَّسْلِيْمِ لِلّهِ فِى العِلْمِ بِمَعْنَاهُ مَعَ الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ الظَّاهِرَ غَيْرُ المُرَادِ أَوْ بِتَأْوِيلٍ تَقُومُ عَلَيهِ القَرَائِنُ الْمَقْبُوْلَةُ.

PERHATIAN Kita wajib percaya akan hal yang di bawa oleh Nabi s.a.w. yakni AlQur’an dan berita dari Nabi s.a.w yang mutawattir dan memenuhi syaratsyaratnya. Dan yang wajib kita percayai hanyalah yang tegas-tegas saja, dengan tidak boleh menambah – nambah keterangan yang sudah tegas – tegas itu dengan keterangan berdasarkan pertimbangan (perkiraan), karena firman Allah: “Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (Surat Yunus:36). Adapun syarat yang benar tentang kepercayaan, dalam hal ini ialah jangan ada sesuatu yang mengurangi keangungan dan keluhuran Tuhan, dengan mempersamakan-Nya dengan makhluk. Sehingga andaikata terdapat kalimat-kalimat yang kesan pertama mengarah kepada arti yang demikian, meskipun berdasarkan berita yang mutawattir (menyakinkan), maka wajiblah orang mengabaikan makna yang tersurat dan menyerahkan tafsir arti yang sebenarnya kepad Allah dengan kepercayaan bahwa yang terkesan pertama pada pikiran bukanlah yang dimaksudkan, atau dengan takwil yang berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima.

Yang perlu digarisbawahi dari ungkapan HPT di atas adalah kalimat berikut ini:
فَاِنْ وَرَدَ مَا يُوْهِمُ ظَاهِرُهُ ذَالِكَ فِى الْمُتَوَاتِرِ وَجَبَ الإِعْرَاضُ عَنْهُ بِالتَّسْلِيْمِ لِلّهِ فِى العِلْمِ بِمَعْنَاهُ مَعَ الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ الظَّاهِرَ غَيْرُ المُرَادِ أَوْ بِتَأْوِيلٍ تَقُومُ عَلَيهِ القَرَائِنُ الْمَقْبُوْلَةُ.

Sehingga andaikata terdapat kalimat-kalimat yang kesan pertama mengarah kepada arti yang demikian, meskipun berdasarkan berita yang mutawattir (menyakinkan), maka wajiblah orang mengabaikan makna yang tersurat dan menyerahkan tafsir arti yang sebenarnya kepad Allah dengan kepercayaan bahwa yang terkesan pertama pada pikiran bukanlah yang dimaksudkan, atau dengan takwil yang berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima.

sekali lagi, yang haris digarisbawahi adalah kata berikut:
maka wajiblah orang mengabaikan makna yang tersurat dan menyerahkan tafsir arti yang sebenarnya kepad Allah dengan kepercayaan bahwa yang terkesan pertama pada pikiran bukanlah yang dimaksudkan,

Pernyataan di manhaj tarjih, mirip dengan pernyataan Imam Badruddin bin Jamaah yang bermadzhab Asyari. perhatikan teks beliau berikut ini:
وقال الإمام العلامة بدر الدين بن جماعة (واتفق السلف وأهل التأويل على أن ما لا يليق من ذلك بجلال الرب تعالى غير مراد… واختلفوا في تعيين ما يليق بجلاله من المعاني المحتملة… فسكت السلف عنه، وأوله المتأولون)

Dan Imam Allamah badruddin ibnu Jamaah berkata, ‘Semua ulama salaf dan ahli takwil sepakat bahwa makna yang tidak layak dengan kebesaran Allah bukanlah makna yang dimaksud. Mereka berbeda pendapat di makna yang sesungguhnya. Ulama salaf diam, sementara sebagian agi melakukan takwil (Idhahuddalil hal 103)

Dalam ilmu kalam, percaya dengan lafal, sementara menyerahkan maknyanya hanya Allah yang tau, disebut dengan tafwid. jadi tafwid adalah percaya bahwa ayat tersebut mempunyai makna tertentu, hanya saja kita sebagai manusia tidak mengetahui akekat makna yang sesungguhnya. Makna yang terlintas dalam benak kita, sesungguhnya bukanlah sifat Allah. Karena Allah berbeda dengan sesuatu apapun.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syura: 11).

Dalam kitab Thabaqat Hanabilah, Imam Ibnu Hambal berkata:

قال عبد الله بن أحمد: إن أحمد قال: من زعم أن الله لا يتكلم فهو كافر، إلاَّ أننا نروي هذه الأحاديث كما جاءت.

Abdullah bin Ahmad berkata, sesungguhnya Ahmad berkata, siapapun yang berpendapat bahwa allah tidak berbicara maka ia kafir. Hanya saja, kami memaknai hadis ini seperti apa adanya.

Ibnu Jauzi al-Hanbali dalam kitab Daf’u Syubahi at-Tasybih bi akuffi at-Tanzih berkata, “Imam Ahmad tidak pernah menyatakan bahwa Allah berada di tempat tertentu”. Pernyataan ini juga dinukil oleh Qadhi Badruddin bin Jamaah dalam kitab Idhahuddalil fi Qat’I hujaji ahli at-Ta’thil.

Imam Malik berkata:

الاستواء معلوم والكيف مجهول والايمان به واجب والسؤال عنه بدعة

Istiwa sudah diketahui, caranya tidak diketahui, beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentangnya bid’ah.

Makna ma’lum, adalah sesuatu yang sudah diketahui bersama. Karena sudah diketahui bersama ini, maka para sahabat tidak memperdebatkan maknanya. Agar makna tidak dibayangkan secara inderawi, maka Imam Malik mengikat kata tadi dengan “والكيف مجهول Artinya bahwa bagaimana makna sesungguhnya dari ayat-ayat tadi, tidak diketahui oleh manusia.

Yang dimaksud dengan والكيف مجهول adalah bahwa ada perbedaan antar manusia yang mahluk dengan Allah yang khaliq, antara manusia yang berada di alam tabiah (fisik) dengan Allah yang di alam maa ba’da at-Thabi’ah (metafisik), antara manusia yang berada di alam syahadah (fisik) dengan Allah yang alam ghaib. Karena perbedaan antara manusia dengan Allah, maka kita sebagai manusia tidak bisa mengetahui bagaimana makna istiwa, tangan, kaki, dan lain sebagainya secara pasti. Inilah makna majhul itu. Pendapat seperti ini adalah pandangan ulama madzhab fikih ahli sunnah dan juga salah satu maslak dari paham Asy’airah dan Maturidiyah..

Sementara itu, ulama maslak lain dari madzhab Asyariyah dan Maturidiyah adalah dengan melakukan takwil, yaitu memalingkan makna ayat dari makna zhahir kepada makna lain yang sesuai dengan adanya infikator tertentu. Indikator bisa berupa akal, tradisi, syariat, bahasa dan lainnya.

Jadi, takwil tidak berangkat dari ruang kosong. Takwil harus sesuai dengan makna bahasa. Takwil mempunyai acuan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan struktur bahasa Arab. Di dalam sastra Arab sendiri, hal yang sangat biasa bahwa sebuah bahasa menggunakan kata metaphor dengan tujuan tertentu. Karena al-Quran menggunakan bahasa Arab, maka dalam stukturnya pun, menggunakan kaedah yang umum digunakan oleh orang Arab. Inilah mengapa al-Quran dianggap sebagai bahasa yang fasih, yaitu penggunaan bahasa Arab yang baik dan benar serta mengandung nilai sastra yang tinggi.

Tujuan takwil adalah agar tidak membendakan Allah dan menyamakan Allah dengan manusia. Karena Allah adalah Tuhan yang berbeda dengan makhluk-Nya dalam semua hal. Takwil tersebut tujuannya untuk mensucikan dzat Allah dari persamaan dengan apapun juga.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syura: 11).

Contoh takwil adalah:
{وَجَاءَ رَبُّكَ}

Dan Tuhanmu Datang

Diriwayatkan dari al-baihaqi bahwa Imam Ahmad menakwilkan ayat

{وَجَاءَ رَبُّكَ}

dengan جاء ثوابه
Dan (pahala) Tuhanmu datang.

يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

Tangan Allah di atas tangan mereka

ditakwil menjadi

Kekuatan Allah di atas kekuatan mereka.
Dan demikian seterusnya.

Terkait hal ini, bisa kita lihat bait syiir dari kitab Jauharatuttauhid karya Ibrahim Al-Laqani al-Maliki yang wafat tahun 1041 H berikut ini:
وكل نص أوهم التشبيها … أوله أو فوض ورم تنزيها

Artinya: Jika ada nas yang nampaknya bersifat mutasyabih, maka dilakukan takwil, atau tafwid namun tetap mengedepankan tanzih

Jadi apa yang tercantum dalam manhaj tarjih sesungguhnya adalah tafwidh dan takwil. Ini berbeda dengan kalangan wahabiyyah yang melakukan itsbat makna, yaitu menyatakan bahwa makna lafal dalam ayat tersebut sesuai dengan makna bahasa secara gakekat.

contoh:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَ

Ar Rahman (Allah) ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5).

Oleh Syaih bin Baz dimaknai sebagaimana adanya bahwa Allah berada di atas singgasana. Untuk menguatkan bahwa Allah berada di atas singgasana, dengan makna hakekat, beliau mengambil ayat lain sebagai penguat yaitu:

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّماءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذا هِيَ تَمُورُ (16) أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّماءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حاصِباً فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang? Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu.

Dalam kitab Syarhu al-Akidah as-Safraniyyah, Syaih Usaimin berkata, ‘Bagaimana mungkin Allah menuliskan ayat maknanya tidak seperti yang dimaksud lalu memerintahkan maknanya menyesuaikan dengan akal kita. Belia melanjutkan, ‘Jika kita memaknai sesuai zhahir ayat, kita akan mudah paham. Namun jika harus mencari makna lain, itu memberatkan karena kita harus ada bukti dari indikator bahasa Arab atau lainnya sehingga dapat mencapai pada makna yang dimaksud’.

Kesimpulannya, pendapat Muhammadiyah terkait ayat sifat dengan melakukan dua cara, Pertama tafwid dan kedua takwil. Pendapat Muhammadiyah tersebut sama dengan pendapat kalangan madzhab Asyari dan Maturidi dari golongan Ahli Sunnah wal Jamaah. Wallahu a’lam

=====================
Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan Pondok Modern Almuflihun, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

seventeen − two =

*