Friday, April 26, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Merindukan Budaya Ilmiyah Warisan Para Ulama

hjigh

 

Tadi malam di group WA, saya mendapatkan postingan sebuah poster yang berisikan tentang pandangan negatif terhadap buku “Fikih Kebhinekaan” hasil kajian dari Maarif Institute. Dalam poster tersebut, disebutkan bahwa:

  1. Fikih Kebhinekaan mengakui dan mentaati pemimpin non muslim.
  2. Fikih Kebhinekaan mengakui PKI bagian dari bangsa.
  3. Fikih Kebhinekaan melestarikan dan melindungi adat istiadat (kemusyrikan) yang ada di Indonesia.

Bagi saya, mengirimkan poster seperti ini tidak layak dan bukan tradisi ulama Islam. Jika kita melihat para ulama terdahulu, tatkala ada ulama yang menuliskan buku dan ia tidak sependapat, maka ulama tersebut akan menjawabnya dengan tulisan juga.

 

Tatkala imam Ghazali tidak sependapat dengan pemikiran filsuf muslim Ibnu Sina, beliau menuliskan kitab Attahafut al-Falasafah. Buku ini mengandung bahasan filsafat sangat detail dengan menyebutkan 20 poin pendapat ibnu Sina yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Lalu, satu persatu, pendapat sang filsuf dikanter oleh Imam Ghazali dengan sangat ilmiyah.

 

Tatkala ibnu Rusyd membaca bukunya Imam Ghazali seperti yang tertulis dalam kitab Tahafut al-Falasafah, Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan apa yang diutarakan oleh Imam Ghazali. Ibnu Rusyd pun menuliskan buku Tahafut at-Tahafut yang mengupas secara detail pendapatnya imam Ghazali, kemudian satu persatu beliau mengkanter pendapatnya sang Imam.

 

Tatkala Ibnu Taimiyah tidak sependapat dengan filsafat Ibnu Sina dan Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah menuliskan buku Dar’u Ta’arrudi al-Aqli wa an-Naqli. Tidak tanggung-tanggung, buku ini ditulis sampai 11 jilid. Berbagai argument dua filsuf muslim tersebut dikupas secara detail dan kemudian ditanggapi satu persatu.

 

Imam Ghazali, tatkala tidak sependapat dengan pandangan Syiah Bathiniyyah, beliau menuliskan kitab Fadhaa’ih al-Bathiniyyah. Satu persatu, pendapat Syiah Bathiniyah dikupas dan kemudian dikanter secara ilmiyah.

 

Sahruwardi, salah seorang filsuf Isyraqiyyah, tatkala tidak sependapat dengan para filsuf muslim yang menganut pandangn filsafat Aristetolian, beliau juga menanggapinya dengan buku. Beliau menulis buku dengan judul Fadha’ih al-Yunaniyyah. Dalam buku ini, dikupas secara detail mengenai paham dan gaya filsafat Aristetolian kemudian dikanter satu persatu secara rinci.

 

Itulah di antara teladan ulama kita terdahulu. Mereka tidak membuat lembaran kecil yang berisikan ungkapan profokatif kemudian disebarkan kemana-mana. Mereka selalu membalas buku dengan buku. Ulama kita terbiasa dengan dialog pemikiran.

 

Lebih dari itu, sebelum mereka mengkanter pendapat yang berbeda, mereka akan membaca pemikiran lawan secara menyeluruh. Tidak hanya satu buku dari penulis yang dibaca, namun semua buku yang ditulis oleh orang yang akan dikanter, akan dibaca dan ditelaahnya secara mendalam. Baru kemudian dia akan memberikan jawabannya secara rapi dan terperinci.

 

Budaya ilmiyah yang merupakan wariskan ulama kita, saat ini banyak terkisis. Orang sekarang mudah mencari instannya. Parahnya, kita juga sangat mudah membuat sebuah kesimpulan. Terkadang kesimpulan kita itu bukan berasal dari kita sendiri, namun sekadar menukil dari orang lain.

 

Umat Islam masa lalu mampu membangun peradaban besar, karena jiwa ilmiyah. Semestinya kita meneladani sikap para ulama tersebut dengan membudayakan lingkungan ilmiyah. Jika kita tidak sanggup, janganlah mudah menyebar profokasi yang kebenarannya belum kita yakini. Diam dan tidak turut campur karena ketidaktahuan kita, jauh lebih baik dibandingkan ikut-ikutan terhadap sesuatu yang tidak pasti.

 

Saya di sini tidak sedang membela Maarif Institute. Namun saya membela budaya dialog pemikiran yang akan memberikan dampak positf terhadap perkembangan keilmuan Islam. Jangan biasakan menuduh tanpa mengetahui hakekat tuduhan kita. Karena tanggungjawabnya besar. Sesuangguhnya sekecil apapun yang kita lakukan, kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا (٣٦)

  1. Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra: 26)

 

 

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

2 × three =

*