Saturday, April 27, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Makna Iman Kepada Allah

Prie tegese ngimanake gusti Allah
Bagaimana beriman kepada Allah
Tegesipoen ngimanaken Gusti Allah poeniko ngestokaken saestonipoen Goeti Allah poenika kagongan sifat 41, kaperang dados tiga: 2. sifat wadjib, 2. sifat mochal 3. sifat djaiz.
Sifat wadjib 20, sifat mochal 20 poenika kaperang dados sekawan, 1. Sifat nafsiyah 2. Sifat salbijah, 3. sifat maani. 4. Sifat ma’nawiyah
-+
Iman kepada Allah maknanya adalah berkeyakinan bahwa Allah swt mempunyai sifat 41 yang dibagi menjadi 3 yaitu 1) sifat wajib, 2) sifat mustahil 3) sifat jaiz.
Sifat wajib ada 20, sifat mustahil ada 20 dan sifat jaiz ada 1.
Kemudian sifat-sifat tadi dibagi 4 yaitu:
1. Sifat nafsiyah. 2. Sifat salbiyah. 3. Sifat maani. 4. Sifat ma’nawiyah
Istilah sifat Allah yang berjumlah 41, yang terdiri dari 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil dan 1 sifat jais merupakan pembagin khas ulama madzhab Asy’ari. Jika kita rujuk langsung ke kitab-kitab karangan ulama madzhab Asy’ari, kita tidak akan menemukan pembatasan sifat allah menjadi 41. Bahkan imam asyaari sama sekali tidak menyebutkan atau membatasi dengan jumlah tersebut.
Jika kita membuka kitab karya Imam Asyari, seperti kitab al-Luma dan fi raddi ala ahli az-Zaigh wal bida’, Risalatu ila Ahli at-Tsaghri dan kitab al-Ibanah, kita akan menemukan bahwa imam Abu Hasan al-Asyari di awal-awal kitab menyebutkan mengenai sifat-sifat Allah. Hanya memang beliau tidak menyebutkan sifat 41 itu. Sifat 41 yang di antaranya adalah sifat wajib bagi Allah yang jumlahnya ada 20, baru dirumuskan oleh Imam as-Sanusi 832-895 H/1428-1490 M seperti dalam kitab al-Barahain/al-Akidah as-Shughra. Beliau menyatakan sebagai berikut:
فَمِمَّا يَجِبُ لِمَوْلَانَا جَلَّ وَعَزَّ عِشْرُونَ صِفَةً.
“Maka di antara sifat wajib bagi Allah Tuhan Kita-Yang Maha Agung dan Maha Perkasa-adalah 20 sifat
Imam Sanusi sendiri menyatakan bahwa sesungguhnya sifat Allah tidak terbatas, sesuai dengan sifat kesempurnaan Allah yang tiada terbatas. Namun sifat Allah sifatnya tauqifi sehingga harus berlandaskan pada dalil. Penyebutan 20 sifat wajib sekadar untuk memudahkan dalam sistem pembelajaran para santri.
Apa yang dilakukan oleh Imam Sanusi mendapatkan sambutan luar biasa dari para ulama Asyari pada generasi setelah beliau. Bisa dikatakan bahwa pembatasan sifat wajib menjadi dua puluh sifat, menjadi pedoman penulisan kitab-kitab tauhid pada masa-masa setelahnya seperti dalam kitab Nazhm Jauharah at-Tauhid karya Ibrahim al-Laqqani (W. 1041 H/1631 M), Kifayatul Awam karya al-Fadhali ( w. 1236 H/1820 M) Nazm Aqidah al-Awam karya al-Marzuqi ( w. 1281 H/1864 M), dan selainnya).
Sifat dua puluh tersebut bukanlah karangan imam Sanusi. Beliau sekadar merapikan dan memberikan sistematisasi agar para penuntut ilmu lebih mudah dalam memahami sifat Allah. Memang di kalangan ulama kalam, terdapat perbedaan pendapat mengenai sifat Allah tersebut, termasuk batasan-batasannya. Perbedaan berkisar seputar sifat Allah, apakah semua sifat yang menunjukkan kesempurnaan, secara uotomatis dapat disebut sebagai sifat Allah dan dapat dinisbatkan kepada Allah? Imam Sanusi berpendapat bahwa sifat allah tidak terbatas. Hal ini mengingkat kesempurnaan Allah juga tidak ada batasannya. Namun dua puluh sifat tadi, setidaknya memberikan cakupan dan berdasarkan pada dalil aqli dan naqli sehingga dapat memberikan pemahaman mendasar tentang tauhid bagi setiap insan muslim.
Jika kita buka dua kitab karya Imam Asyari, seperti dalam kitab Alluma dan Ushul Ahli as-Sunnah, kita akan menemukan bahwa Imam Asyari juga menyebutkan sifat-sifat Allah, namun tidak sampai dua puluh. Beliau juga menyebutkan sifat Allah lain yang tidak disebutkan oleh Imam Sanusi.
Dalam bab pertama kitab Alluma, sifat pertama yang disebutkan oleh Imam Asyari adalah adalah sifat wujud. Hanya saja, Imam Asyari tidak langsung menyebut dengan sifat wajib Allah yaitu wujud. Imam Asyari memulai dengan sebuah pertanyaan logis, lalu dijawab juga dengan argumen logis. Imam Asyari tidak langsung menggunakan dalil naqli atau wahyu, namun argumen logika. Bahkan beliau memulai dengan argumen akal secara panjang lebar, baru dalil naql.
Imam Asyari menggunakan argumen wahyu, makanala dirasa bahwa pembaca telah mengakui tentang kebenaran pendapat ketuhanan secara akal. Wahyu dijadikan sebagai penopang terhadap akal. Imam Asyari, seakan-akan sedang berhadapan dengan non muslim yang tidak beriman dan tidak mengakui kebenaran Islam. Oleh karenanya, model penulisan buku, menggunakan manhaj jadal, yaitu tanya jawab secara logis. Jika non muslim atau kalangan atheis sudah mengalah dan menerima argumen akal yang dijadikan Imam Asyari, baru kemudian beliau menyodorkan argumen wahyu. Diharapkan, non muslim dan para penginkar ketuhanan, akan mengakui kebenaran Islam secara penuh, bukan sekadar karena unsur doktrin belaka. Jadi, seseorang beriman dengan akal pikirannya terlebih dahulu.
Model penulisan seperti ini memang umum digunakan oleh para ulama kalam. Imam Asyari adalah pendiri madzab Asyariyah yang sangat rasionalis. Tidak heran jika sistem penulisan seperti ini diikuti oleh para pengikut madzhab seperti imam Ibnu Furak, Imam Baqilani, Imam Haramain, Imam Ghazali, Imam Razli dan lain sebagainya. Sistem penulisan model Imam Asyari ini sekaligus menjadi argumen kuat bahwa imam Asyari tetap sejalan dengan para ulama kalam dan menggugurkan pendapat yang menyatakan bahwa imam Asyari telah “bertobat” dari ilmu kalam.
Mendahulukan akal dalam bahasa sifat Allah, bukan sekadar dalam bab wujud, namun juga dalam bab-bab lainnya, seperti sifat alim, mukhalafatu lil hawaditsi dan lain sebagainya. Sampai akhir kitab, beliau tetap konsisten dengan cara penulisan kalam seperti itu.
Berikut kami nukilkan ungkapan beliau di awal bab, yaitu ketika beliau berbicara tentang wujud dan hendak membuktikan bahwa di alam raya, ada Tuhan Sang Pencipta.  Beliau memulai dengan sebuah pertanyaan, yang pada ahirnya pembaca akan menyerah dengan sendirinya dan mengakui wujud Tuhan. Berikut petikan dialog sang Imam:
“Apa bukti bahwa Allah adalah Pencipta dan pengatur atas makhluk-Nya? Buktinya, bisa kita saksikan dengan melihat kesempurnaan yang ada pada diri manusia, dimulai dengan setetes air mani, lalu berubah menjadi segumpal darah, berubah lagi menjadi daging, lalu berubah menjadi darah (tulang). Kita semua mengetahui bahwa perubahan tersebut tidak terjadi begitu saja.
Dalam kondisinya yang sudah sempurna, yaitu ia sudah berakal dan mempunyai tubuh yang tegap, ia tidak mampu membuat mata dan telinganya sendiri. Ia juga tidak mampu membuat anggota badan baru untuk dirinya. Tatkala badannya lemah, manusia tentu semakin tidak mampu untuk membuat anggota badan baru pada dirinya. Jika dalam kondisi lemah dan kurang mampu saja, ia tidak bisa, mestinya dalam kondisi sempurna, ia bisa. Kenyataannya, ia tetap tidak bisa.
Kita juga bisa melihat hal lain, yaitu anak yang masih kecil, lalu ia berubah menjadi pemuda, kemudian menjadi bapak-bapak dan terahir ia menjadi tua. Kita sendiri mengetahui bahwa perubahan itu terjadi bukan karena kehendak dirinya. Buktinya, jika seseorang sudah tua, lalu dia berusaha sekuat tenaga untuk menjadi muda lagi, ia tidak sanggup. Ini artinya bukan dirinya yang membuat berbagai perubahan tersebut. Tentu ada Dzat yang melakukan perubahan dari satu kondisi ke dalam kondisi yang lain. Perubahan bentuk tubuh, tidak mungkin terjadi tanpa adanya Dzat yang melakukan perubahan tersebut.
Contoh lain, kapas yang tidak mungkin berubah menjadadi baju dengan sendirnya, tanpa adanya penenun. Jika seseorang menumpuk kapas, lalu dia tunggu lama, maka selamanya kapas itu akan tetap seperti sedia kala dan tidak akan berubah menjadi baju.
Jika Anda menumpuk tanah, lalu dibiarkan begitu saja dan anda tunggu, tentu tanah itu selamanya tidak akan menjadi istana. Harus ada seseorang yang membaut batu bata dan menyususnnya menjadi istana.
Dengan arguen di atas, dapat kita ketahui bahwa hanya Dzat Yang Maha Kuasa yang mampu merubah sesuatu dari setetes air mani, lalu berubah menjadi segumpal darah, lalu muncul tulang dan daging. Hal ini menunjukkan bahwa memang ada Dzat Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu, Allah berfirman:
أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ  ()أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ ( 59 )
Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. ()Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya? (QS. Al-Waqi’ah: 58-59)
Setelah Imam Asyari menjelaskan panjang lebar tentang sifat wujud, kemudian beliau menjelaskan sifat Allah yang berbeda dengan makhluk. Seperti bahasan wujud, di sini, beliau juga sama menjelaskan panjang lebar dengan mendahulukan argumen akal, dan terahir ditutup dengan argumen wahyu.
Selanjutnya menyebutkan sifat wahdaniyah, qudrah, Allah tidak tersusun dari sesuatu, alim, sami, basir, aliman, qadiran, sam’ian, basiran, kalam, dan iradah. Setelah itu, beliau menyebutkan hal lain terkait dengan rukyatullah, al-kasb, qadha dan qadar dan bahasan tauhid lainnya.
Kita juga bisa membuka kitab lain karya beliau, yaitu Risahalh Ahli Atsa’ri atau yang lebih dikelanl dengan kitab, “Ushulu Ahli as-Sunnah. Model bahasan tidak jauh berbeda dengan kitab Alluma. Bedanya adalah bahwa kitab Alluma identik ditujukan kepada orang non muslim, sementara kitab Ushulu Ahlissunah menjadi buku panduan ke dalam, yaitu sebagai prinsip dasar kalam Ahli Sunnah wal Jamaah.
Isi dari buku ini sesungguhnya merupakan jawaban dari pertanyaan seseorang yang tinggal di Asia Tengah yang ingin mengetahui mengenai prinsip dasar ajaran Ahlisuinnah wal Jamaah. Karena ini buku untuk kalangan dalam, jadi sistem penulisannya sedikit berbeda dengan kitab Alluma.
Dalam kitab ini, porsi argumen akal lebih sedikit. Selain itu, buku ini cenderung to the point dan dan langsung menjurus pada pokok bahasan. Buku ini semacam cetak biru bagi kalangan Ahli Sunnah wal Jamaah. Sesuai dengan tujuannya, maka buku ini ditulis secara ringkas dan tidak terlalu tebal.
Bab pertama yang dibahas terkait dengan hudusul alam atau baharunya alam raya. Tujuand ari kajian tentang barunya alam raya adalah untuk memberikan bukti bahwa alam raya mempunyai Sang Pencipta yaitu Allah. Tuhan harus ada. Allah mempunyai sifat wujud. Lalu dilanjutkan dengan sifat lain yaitu mukhalafatu lil hawaditsi, hayan, qadiran, aliman, muridan, mutakaliman, sami’an, basiran, dan mutakaliman. Beliau juga menyatakan bahwa sifat-sifat tersebut berbeda dengan sifat-sifat makhluk.
Dalam kitab ini, ada beberapa sifat yang belum disebutkan dalam kitab Alluma, yaitu qadim, sifatul yad wal qabdah, sifatul maji (datang) wannuzul (turun), ridha (rela) wal ghadab (murka), dan al-fauqiyah (atas) wal istiwa (duduk di singgasana). Sifat-sifat ini kemudian banyak dikupas dan diterangkan oleh para ulama pengikut Imam Asyari seperti Imam Ghazali. Bahkan Imam Razi mempunyai bahasan panjang lebar terkait sifat-sifat di atas yang beliau tulis dalam kitab Asasu at-Taqdis. Dalam kitab ini, Imam Razi bahkan menerangkan sifat-sifat Allah lainnya yang belum ditulis oleh Imam Asyari. Nama dari sifat-sifat tersebut, diambil dari ayat al-Quran dan sunnah nabi Muhammad saw. Tentu ini sesuai dengan prinsip awal pendapat kalangan Asyariyah bahwa sifat Allah sifatnya tauqifi dan berdasarkan pada wahyu semata, bukan sekadar berlandaskan pada logika.
Jika apa yang disampaikan oleh Imam Aysari, Imam Ghazali dan juga Imam Razi digabungkan, niscaya sifat Allah sangat banyak dan tidak sekadar berjumlah dua puluh saja. Sifat dua puluh, barangkali sekadar sifat “minimalis”, artinya setidaknya sifat-sifat tersebutlah yang layak untuk kita ketahui. Meski sebenarnya masih banyaksifat Allah lainnya yang belum kita ketahui.
Jumlah Sifat Allah dalam Matan Himpunan Putusan Tarjih
Sebelumnya telah kami sampaikan bahwa menurut paham Asyari, sifat Allah tidak terbatas sesuai dengan ketidakterbatasan kesempurnaan Allah. Dalam kitab-kitab Asyariyah pun, antara satu ulama dengan lainnya terkadang menyebutkan sifat-sifat Allah dengan jumlah yang berbeda. Imam Asyari menyebutkan sifat Allah, yang sebagian tidak disebutkan oleh ulama lain, demikian juga Imam Razi mengumpulkan sifat-sifat Allah, yang juga ada sisi yang tidak disebutkan oleh Imam Sanusi. Ini artinya bahwa jumlah sifat Allah yang disebutkan para ulama, bukanlah harga mati. Hal terpenting adalah bahwa sifat-sifat tersebut diambil dari nas al-Quran maupun sunnah nabi Muhammad. Sifat Allah dalam pandangan ahli sunnah sifatnya tauqifi.
+++++++++
Syarah aqaidul iman: R Haiban Hadjid
….
Ponpes Al-Muflihun memberikan kesempatan bagi Anda untuk berzakat, berwakaf dan berinfak untuk pembangunan ruang kelas baru santri. Kirimkan dana anda melalui LazizMu KLL Ponpes Al Muflihun:
Bank Syariah Indonesia (ex.  BSM – Kode Bank 451)
7730 5030 77
(An KLL Ponpes Al Muflihun Zakat)

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

3 × one =

*