Friday, April 26, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Dinamika Pemikiran Awal Waktu Subuh Di Muhammadiyah; Reaksi Buku Evaluasi Awal Waktu Subuh dan Isya

Beberapa waktu lalu, Prof. Tono Saksono bersama timnya di UKAMKA melakukan penelitian terkait waktu subuh. Dalam buku tersebut disampaikan bahwa shalat subuh yang dilaksanakan di Indonesia, terlalu awal sampai 26 menit. Buku tersebut di kalangan Muhammadiyah menjadi ramai, lantaran belum ada keputusan resmi dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berikut kami sampaikan beberapa diskusi WA yang mencerminkan dinamika intelektual di Muhammadiyah.

Prof. Yunahar Ilyas:
Awal waktu subuh adalah perkara syariat, yg parameternya harus ditemukan dari sumber syariat yaitu al-Qur’an as-Sunnah al-Maqbulah. Al-Qur’an menyatakan bahwa awal waktu subuh adalah fajr (disarikan dari permulaan waktu untuk memulai puasa dalam suatu hari yg dinyatakan dalam QS 2:187). Sedangkan dalam as-Sunnah (Hadits Nabi SAW) ditemukan _setidaknya_ dua keadaan yg berhubungan dengan fajar awal waktu shalat subuh dan pelaksanaan shalat subuh yg diperkirakan dilakukan pada awal waktu shalat subuh tersebut. Kelompok Hadits pertama bercerita tentang ciri fajar yg mengahalalkan shalat dan mengharamkan makan-minum (puasa) yg berciri cahaya membentang di punggung gunung diufuk timur (mulai muncul). Kelompok Hadits kedua sub kelompok hadits ke-satu bercerita tentang shalat subuh yg diimami Nabi SAW dimulai dalam suasana satu sama lain tidak saling mengenal (karena gelap) dan makmum baru mengenal siapa disebelahnya ketika shalat usai (salam) dengan keterangan tambahan dari perawinya bahwa Nabi SAW membaca ayat 60 hingga 100 ayat. Kelompok Hadits Kedua sub kelompok ke-dua bercerita tentang kaum perempuan pulang dari shalat subuh tanpa diketahui oleh seorangpun karena masih gelap.
Prof Tono dkk meneliti saat saat perubahan dari gelap menuju terang dengan menggunakan sensor SQM (Survey Quality Meter) yakni kamera _fish eye_ yg dilengkapai sistem pencatat/pencacah berkas cahaya. Kamera _fish eye_ in8 akan menangkap berkas cahaya yg berasal dari hampir seluruh bola langit diatas ufuk _pada titik pengamatan_.

Menurut keterangan yg saya dapat dari Prof Tono sendiri dalam forum MTT PP Muhammadiyah untuk membahas penelitian itu, sensor SQM diarahkan keatas. Dan masih menurut beliau sendiri Penelitian hanya menggunakan SQM saja. Dari penelitian tetsebut diperoleh hubungan antara waktu dan intensitas cahaya dari grafik yg mendatar hingga grafik mulai menanjak dan terus menanjak pada rentang prakiraan waktu awal waktu subuh. Grafik mendatar menunjukkan hari masih gelap/tidak ada perubahan berkas cahaya. Grafik menanjak menunjukkan cahaya yng masuk kedalam sensor. Menurut kesimpulan beliau dkk, saat mulai menanjak itulah saat fajar awal waktu subuh.

Tampak bahwa penelitian itu tidak “menghubungkan” dengan dua atau tiga kelompok hadits tersebut diatas. Dua hadits kelompok kedua saja tidak diacu, apalai kelompok hadits kesatu yg menurut saya justru yg harus dijadikan pijakan awal dan parameter utama oenentuan awal waktu subuh.(Ruswa Tarjih PDM Karang Anyar)

Ust Zulkarnaen El-Maduri:
Dengan mohon maaf sebelumnya kepada Buya, sebenarnya saya sudah membawakan hal ini dalam tinjauan syariaat secara mendetail buya, kebetulan dalam hal ini saya sangat sepakat, karena lontaran waktu subuh ini banyak dimuat dalam kitab kitab klasik. Mulai dari pengertian fajar hingga hujjah nyata yang di tampilkan oleh sahabat nabi. Kesaksian para sahabat dijaman Nabi dan Nabi itu sendiri hingga para ulama fiqihpun memberikan definisi beragam, namun demikiam ijma sahabat lebih pada waktu subuh sebagaimana n dipaparkan jumhur yakni ketika WARNA MERAH BERSERAKAN, mungkin kita tidak apatis dengan temuan temuan baru soal waktu subuh ini, namun harus ada kerja tim tarjih sungguh sungguh bekerja.

Kalau Tim Tarjih di Munas kemaren misalnya bisa mengetengahkan Sholat Syuruq, mengapa hal yang wajib terkait waktu sholat itu tidak kita pikirkan. Kalau Muhammadiyah bisa meninggalkan Fiqih lama Muhammadiyah, apakah bukan sebuah dorongan kepada kita untuk mebongkar kitab kitab fiqih, mungkin perlunya para ulama didatangan oleh Muhammadiyah pada kesempatan khusus membicarakan definisi kata SUBUH , baru kemudian bicara secara argumen, berdasarkan maqbulah, ini penting Buya untuk keseragaman berpikir para ulama Muhammadiyah

Prof. Yunahar Ilyas:
Sudah didiskusikan di MTT sebelumnya dengan Prof Tono dan disepakati untuk dikaji dan diteliti paling kurang satu tahun, tapi ternyata Prof Tono tidak sabar dan jalan sendiri dengan menggunakan lembaga di Uhamka. Masalah besar begini tidak bisa diselesaikan terburu-buru. Kalau bahannya masih mentah belum bisa dibawa ke Munas. Kalauntidak mengerti masalahnyanjangan berpandangan negatif dulu.

Ra Zulkarnaen
Ini tulisan saya yang juga dibahas dalam evaluasi waktu subuh cuma menggunakan pendekatan Fiqiyah. Bukan pendekatan astronomi. Dalam Halaqa tarjih di bekasi saya menjadi pemateri dari sisi fiqiyah dengan membentangkan Quran dan Sunah, sebagai dasar acuam. Maaf ini dibuat secara serampangan, karena wakyu yang sempit waktu.

Bila mengacu pada sholat dijawa timur terutama, daerah madura, situbondo, jember, aswmbagus atau jawa timur selatan, rata rata pesantren pesantren biasanya subuh setelah warna merah ditimur

Dalam Halaqa tarjih di bekasi saya menjadi pemateri dari sisi fiqiyah dengan membentangkan Quran dan Sunah, sebagai dasar acuam. Maaf ini dibuat secara serampangan, karena waktu yang sempit waktu itu

Bila mengacu pada sholat dijawa timur terutama, daerah madura, situbondo, jember, asembagus atau jawa timur selatan, rata rata pesantren pesantren biasanya subuh setelah warna merah ditimur. Sebenarnya tradisi lama yang terjadi.

فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الْأَحْمَرُ»، قَالَ أَبُو دَاوُدَى[حكم الألباني] : حسن صحيح

Perlunya kita gemar membaca kitab kitab klasik, agar lebih berbobot dalam memposisikan kita sebagai Muslim yang haus kebenaran. Perlu beragama dengan sikap membutuhkan kebenaran.

‬ حَدَّثَنِي أَبِي طَلْقُ بْنُ عَلِيٍّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا، وَلاَ يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ، وَكُلُوا وَاشْرَبُوا، حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الأَحْمَرُ.
حَدِيثُ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ، وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ أَنَّهُ: لاَ يَحْرُمُ عَلَى الصَّائِمِ الأَكْلُ وَالشُّرْبُ حَتَّى يَكُونَ الفَجْرُ الأَحْمَرُ الْمُعْتَرِضُ، وَبِهِ يَقُولُ عَامَّةُ أَهْلِ العِلْمِ

Ust Abdul Haris:
Ya saya setuju dg buya… tinjauan fikih dan tinjauan astronomis masih harus diuji dan dimatangkan MTT… faktanya masih ada ikhtilaf terkait tinjauan fikihnya… semoga pisau analisis tarjih bisa menjawab persoalan ini.. dg mengintegrasikan tinjauan fikih dan astronomi yg lebih kuat…

Prof. Tono
Sy keberatan dg dua kalimat pendek Prof. Yunahar dlm kasus penelitian kami: *tidak sabar* dan *masih mentah*.

1) Pada Februari 2017, sy sdh melaporkan hasil penelitian sementara sy ke MTT (melalui Sekretaris MTT). Hasil riset kami saat itu sdh menunjukkan indikasi yg kuat bhw waktu subuh kita selama ini salah. Tidak response yg memuaskan. Padahal, pada sekitar Agustus 2016, MTT sdh serius mendiskusikan ini dg mendiskusikan 3 buah karya tulis (sy sendiri belum terlibat dlm penelitian subuh saat itu).

2) Pada 1 Agustus 2017, kami mempresentasikan hasil riset ini di depan Komisi Pendidikan MUI Pusat. Sampai saat ini enggak ada kelanjutannya.

3) Pada 15 Agustus 2017, kami melaporkan hasil riset ini ke MTT di Yogya. Pada saat itulah diperoleh arahan dari MTT unt menunggu sampai setahun. Saat ini kami sdh menggunakan data sekitar 11 bulan. Jadi, apakah minimal setahun itu harga mati? Sy bisa tunjukkan bhw secara statistik, itu tdk perlu. Jadi, dimana letak kurang sabar tersebut?

Soal *masih mentah*, ini penjelasannya. Sy sdh menjadi peneliti sejak tahun 1982 ketika menjadi _Research Assistant_ sambil kuliah di Amerika, dibimbing oleh seorang profesor top dunia di bidang kami. Bukan cuma teknik menelitinya saja yg diajarkan. Tapi adalah soal etika dan moral sbg peneliti.

Dalam penelitian kami ini, kami menggunakan 3 buah teknologi (sensor fajar), menggunakan mungkin belasan algorithms (baik yg kami kembangkan sendiri, maupun yg rumus dasarnya dikembangkan oleh orang lain), menggunakan sekitar 11 bulan data. Semyanta dlm rangka menghasilkan sebuah hasil penelitian yg _highly reliable_. Semuanya secara komprehrnsif ada di buku sy. Yang begini dikatakan *mentah?*…. Masya Allah.

Sayangnya, Prof. Yun justru hanya mendengar cerita Pak Ruswa Darsono yg cuma mendengar hasil sementara kami saat presentasi pada 15/8/2017 di MTT. Jadi, komentar tsb sama sekali enggak betul.
Perlu diketahui, soal *larangan* Prof. Yunahar itu rupanya jadi isu yg seksi. Di setiap presentasi sy, selalu ditanyakan. Sikap sy adl seperti pada acara KAMASTU (Kajian Malam Sabtu), PW Pemuda Muhammadiyah DIY lalu:


Ust. Abdul Haris:
Ilmu dan teknologi sebaiknya tetap independen.. dalam kasus shalat shubuh ahli astronomi tidak ikut dalam perdebatan fikihnya. Maksudnya dalam kasus terjadi ikhtilaf dalam fikih (agama) .
. ilmuwan cukup menyajikan hasil observasinya sesuai kebutuhan fikih … tidak ikut masuk ke wilayah ikhtilaf fikih. Bukan berarti meniadakan ilmu pengetahuan dalam agama

Prof. Tono:

Menurut sy berpedoman pada warna (warna langit) itu enggak tepat dan akan menyebabkan ambigu. Dlm Ilmu signal processing, warna dasar itu hanya tiga kanal: *merah, hijau*, dan *biru*. Setiap kanal memiliki rentang (resolusi radiometrik 256, atau 512) tergantung jenis sensornya. Warna2 lain, termasuk kuning adl merupakan kombinasi dari ketiga warna dasar di atas. Ada puluhan juta warna sbg hasil kombinasi warna dasr di atas. Jadi, kuning itu adl warna yg ambigu, tergantung komposisi warna dasar di atas. Kuning bagi seseorang, mungkin dianggap sdh merah unt orang lain. Jadi melakukan definisi _langit berwarna putih, kuning, atau merah_ sebetulnya berbahaya. Karena akan membuka topik diskusi yg bakal enggak berujung.
penjelasannya mencerahkan…dan memadai…justru Muhammadiyah harus terus menjadi pencerah, meletakkan persoalan yang substantif…bagaimana Muhammadiyah menterjemahkan penjelasan-penjelasan dalil dengan memadukan dan ditunjang iptek…karena selama ini yang menjadi pelopor, pioneer dalam menerapkan teknologi dalam rangka aplikasi ibadah adalah Muhammadiyah. Semuanya disadari kalo hanya menggunakan isyarat dan tanda-tanda alam saja, dimasa-masa tertentu tentu juga akan ada kelemahan, melihat fajar dalam posisi mendung dan hujat lebat juga tidak bisa dilakukan, kalo sementara ini dirasa masih ada kelemahan, menurut hemat kami yang terbesar adalah persoalan psykologi karena merubah kebiasaan yang sudah akut/menahun itu memang perlu itikad yang kuat…namun secara kelembagaan alangkah akan mempermudah jika dukungan diberikan oleh persyarikan, dengan terus memfasilitasi untuk dilakukan sosialisasi sekaligus memperkuat dengan hujjah dalil secara syariat dan masukan-masukan yang konstruktif terhadap tim peneliti insya Allah akan sangat bermanfaat, karena persoalan memasuki waktu khusus untuk ibadah sholat itu adalah utama, wallahu a’laam

Prof. Yunahar:
Mentah untuk dibawa ke Munas Tarjih, karena materi yang akan dibawa ke Munas harus dimatangkan dulu di MTT Pusat. Jadi bukan mentah sebagai sebuah penelitian. Saya tahu dan mengakui Prof Tono sebagai Peneliti Senior. Tidak sabar karena sdh dipublikasikan ke khalayak sebelum dituntaskan di MTT.

Prof. Tono
Ini inti persoalannya. Larangan itu tanpa batas waktu. Sudah dilaporkan berkali2. Mustinya, tunggu dua minggu … you datang kemari …. jelaskan persoalannya … buktikan … liat datanya, dsb. Kan enggak begitu? Kebanggaan seorang peneliti adl ketika berhasil menemukan sesuatu yg genuine, apalagi dampaknya akan sangat luas. Kalau enggak berujung pangkal begini, kalau suatu saat keduluan publikasinya oleh orang lain, jadi basilah itu. Enggak bisa sy jelaskan: _”Sebetulnya, sy lah inventor pertama. Tapi, mau publikasi dilarang Prof. Yunahar….”_. Apa harus begitu?

Ust. Zulkarnaen El-Maduri:
Ini yang muncul dari sebuah hasil penelitian saya dan beberapa teman yang membidangi atau disiplin hadits. Ketika membaca fatwa fatwa Tarjih, terkesan kurang serius dalam menilai hadits.

*Pertama* : terkait hadits hadits Imam Mahdi, dari hasil telaah mendalam selama 20 hari bersama teman teman di kelasnya, ternyata tak satupun hadits yang disinyalir shahi oleh Tim Tarjih adalah shahi, secara seksama menilai semua hadits yang konon Mutawatir menutut Tarjin, tak satupun yang shahi. Ini masalah serius, karena terkait masalah aqidah.

Kedua = Justru Hadits tutunnya Isya yang Mutawatir oleh Tim Tarjih Pusat dikatakan Hadits Ahad. Ini mungkin perlu ada kalangan al hafidz di Muhammadiyah, agar tidak terjadi salah persepsi dalam menilai hadits, bahkan karena yakin iyu hadits Ahad, seorang Anggota Tarjih Pusat mengamini dan menyebarkan ditengah tengah umat yang yakin nabi Isa turun, tak urung terjadi gejolak di sebuah pengajian Muhammadiyah.

*Ketiga* pertanyaan saya metode yang dipakai apa dalam menilai hadits yang salinh paradok ini

Sebenarnya kita kalau mau Jujur, jauh sebelum prof. Tono, itu sudah ada. Inilah Ulama Ulama Yang mendahului Prof Tono. Diantaranya*

1. Syaikh Abdul Aziz Bin Dengan Lajnah Daimah
2. Syaikh Ali Fauzan
3. Syaikh Shaleh Utsaimin
4. Syaikh Abdul Hadi alyamani
5. Syaikh Hasan al halaby ( Murid Syaikh Albany)
6. Syaikh Nasiruddin al Bany

Dari kalangan sahabat Ali Abi Thali, Abu Bakar Bin IYAS, dan banyak lagi

Dari kalangan Mazhab Imam Abu Hanifah, Imam malik Dan Shafiiyah.

Negara yang merobah adzannya subuhnya ditabah 30 Menit Arab Saudi, sebagian Mesir, Qatar dan Yaman. Ini belum saya telaah secara kupas Tuntas

Ust. Abdul Basit:
Saya juga beberapa kali bersama DR Sriyatin (tarjih pusat). Kata beliau andaikata ada perubahan maka tidak sampai 20 menit. Hanya sekitar 10 menitan saja.

Prof. Tono:
Nah … yg seperti ini lah yg harus didiskusikan. Duduk sama2, liat masing2 memiliki data kaya apa, masing2 dilihat bagaimana nemprosesnya, cara memverifikasinya, gimana mengukur reliabilitasnya, gimana ukuran2 statistiknya, dsb. Apa bukan begitu sebaiknya. Kami tdk bermaksud mengklaim kebenaran.

Ust. Pak Sany
Hal yg perlu dipertimbangkan dlm pembahasan ini juga harus merujuk ke beberapa hadits yg terkait waktu shubuh a.l. :
1. Hadits dari Aisyah riwayat Muslim yg menceritakan bahwa ada beberapa wanita yg ikut jama’ah shubuh di masjid bersama Nabi, tapi tidak bisa dikenali wajahnya karena hari masih gelap (gholas).
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa setelah selesai sholat shubuh hari masih gelap (Nautical Twilight)
2. Hadits dari Jabir bin Abdulloh riwayat Muslim, tentang hajji Rasululloh saw,…. saat beliau berada di Muzdalifah sampai Mina, k.l. artinya sbb:
…setelah itu Rasulullah saw berbaring tidur (di Muzdalifah) hingga terbit fajar, ketika nyata olehnya bahwa waktu shubuh telah tiba, iapun mengerjakan sholat shubuh, yakni dengan sekali adzan dan sekali iqomat. Kemudian menaiki kuswa (unta Nabi) dan berkendaraan sampailah ia di Masy’aril Haram (Mina?). Iapun menghadap qiblat lalu berdo’a kepada Alloh, membaca takbir, tahlil dan kalimat tauhid. Ia tetap berdiri sampai hari benar2 terang. Dan sebelum TERBIT MATAHARI, Nabipun berangkat dengan membonceng Fadhal bin Abbas (menuju Jamarat)….
Dari hadits inipun dapat dipahami bahwa Nabi setelah Sholat Shubuh sempat berkendaraan dari Muzdalifah sampai Masy’aril Haram, kemudian berdo’a. Itupun matahari blm terbit, sampai Nabi berangkat ke Jamarat.
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa waktu shubuh tidak mungkin hanya 48 – 60 menit, seperti yg dikemukakan Prof Tono dan Mas Adi Damanhuri tsb.
Berdasar kedua hadits di atas, kiranya perlu dipertimbangkan lebih cermat ttg hasil penelitian tsb. Mohon maaf, dan mohon koreksi
Dari saya,
Fathurrohman
Divisi Hisab MTTPWM Jatim

Prof. Ust Yunahar:
Sebagai pribadi silahkan tidak ada yang melarang. Tetapi begitu menjadi bagian dari MTT dan Lembaga Muhammadiyah harus bersedia mengurangi sebagian kebebasan intelektualnya.

Prof. Tono:
Inilah kalo batasannya itu enggak jelas. Yg bisa kami catat dlm pertemuan MTT 15/8/17 adalah setahun. Kami sdh lakukan 11 bulan. Tambahan, kami menggunakan dua sensor lain unt memverifikasi hasil yg tdk kami presentasikan pada Agustus 2017 tsb.

Sekarang hrs merepresentasikan seluruh Indonesia. Ya enggak apa2. Kami mungkin akan memerlukan 10 tahun, terutama dg dana dan SDM yg sangat terbatas. Perlu diketahui, dana riset yg kami miliki cuma 12 juta. Kalau ga salah, sampe sekitar dua bulan lalu, baru digunakan 7 juta. Jadi, silahkan bayangkan, dg uang cuma segitu, kami sdh bisa menghasilkan hasil yg, insya Allah, reliable.

Kami memang terus bekerja unt meliput data seluruh Indonesia …. bahkan kalo mungkin bekerjasama dg organisasi lain unt menghitung di dunia *A map of the global dip criteria*. Kami akan publikasikan secara bertahap. Itu saja

Ust. Pak Sany
Hal yg perlu dipertimbangkan dlm pembahasan ini juga harus merujuk ke beberapa hadits yg terkait waktu shubuh a.l. :
1. Hadits dari Aisyah riwayat Muslim yg menceritakan bahwa ada beberapa wanita yg ikut jama’ah shubuh di masjid bersama Nabi, tapi tidak bisa dikenali wajahnya karena hari masih gelap (gholas).
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa setelah selesai sholat shubuh hari masih gelap (Nautical Twilight)
2. Hadits dari Jabir bin Abdulloh riwayat Muslim, tentang hajji Rasululloh saw,…. saat beliau berada di Muzdalifah sampai Mina, k.l. artinya sbb:
…setelah itu Rasulullah saw berbaring tidur (di Muzdalifah) hingga terbit fajar, ketika nyata olehnya bahwa waktu shubuh telah tiba, iapun mengerjakan sholat shubuh, yakni dengan sekali adzan dan sekali iqomat. Kemudian menaiki kuswa (unta Nabi) dan berkendaraan sampailah ia di Masy’aril Haram (Mina?). Iapun menghadap qiblat lalu berdo’a kepada Alloh, membaca takbir, tahlil dan kalimat tauhid. Ia tetap berdiri sampai hari benar2 terang. Dan sebelum TERBIT MATAHARI, Nabipun berangkat dengan membonceng Fadhal bin Abbas (menuju Jamarat)….
Dari hadits inipun dapat dipahami bahwa Nabi setelah Sholat Shubuh sempat berkendaraan dari Muzdalifah sampai Masy’aril Haram, kemudian berdo’a. Itupun matahari blm terbit, sampai Nabi berangkat ke Jamarat.
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa waktu shubuh tidak mungkin hanya 48 – 60 menit, seperti yg dikemukakan Prof Tono dan Mas Adi Damanhuri tsb.
Berdasar kedua hadits di atas, kiranya perlu dipertimbangkan lebih cermat ttg hasil penelitian tsb. Mohon maaf, dan mohon koreksi
Dari saya,
Fathurrohman
Divisi Hisab MTTPWM Jatim

Menurut saya, asal prof tono tdk mengatasnamakan tarjih, tidak ada masalah sebagai wujud perkembangan dan dinamika pemikiran di Muhammadiyah.
Yg hendak menolak, silahkan tukis buku dan counter pendapatnya Prof Tono
Ini justru menjadi oembelajaran baik bagi warga persyarikatan.
Maarif institute malah melounching buku fikih kebhinekaan yg sangat kontraversi itu di gedung PP
Silahkan sebagai produk penelitian AUM. Yg penting kan tdk mengatasnamakan MTT

Silahkan AUM lain jika berbeda buat penelitian lain atau tis buku dg standar dan tinjauan lain spt tinjauan dua hadis yg dikemukakan Ust Yunahar. Dinamikan ilmu itu hrs digalakkan.
Biarkan perbedaan itu berjalan agar tdk stagnan. Saya juga tulis buku bantahan utk fikih kebinekaan. Namun pernyataan “keterburu buruan” itu kan jadi gimana. Apa yg disampaikan Kyai Gus Pur cukup bagus bahwa MTT belum memutuskan. Bagian dari MTT bukan bearti juga dilarang berkarya. Toh ketua MTT kadang juga beda dg hasil MTT. MTT ada untuk tajdid pemikiran, bukan memberangus dan mengekang pemikiran.

Ust. Abdul Haris:
Tidak sampai ke sana konteksnya… ini soal etika mempublish sesuatu yg belum menjadi produk tarjih kelihatannya… faktanya prof tono tetap diminta membantu penelitian yg lebih luas dan lengkap cakupannya. Kan prof tono tdk mengatasnamakan hasil MTT, tapi hasil riset UHAMKA
Jadi di mana pelanggaran etika itu?

Buku prof tono lebih membangun dibanding fikih kebinekaan yg justru dekonstrukai teks.
lounchinh di kantor pp oleh ketua PP.

Barangkali dari anggota MTT bisa menuliskan tinjauan fikih terkait standar waktu subuh itu.
Krn prinsipnya di situ. Jika standar beda, maka hasil akan berbeda. Dua hadis dari ust Yunahar perlu dioerdalam lagi.

Dalam istilah ulama ushul, lihat

محل النزاع

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

six + ten =

*