Friday, April 26, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Ushul Fikih dan Pemecahan Persoalan Kontemporer

 mesin-ATMAl-Qur’an dan as-sunah adalah dua sumber hukum yang sangat terbatas. Sementara persoalan umat Islam tidak terbatas. Apalagi di era globalisasi dan informasi saat ini, banyak bermunculan berbagai macam persoalan yang belum pernah terjadi pada masa lampau, baik yang berasal dari dalam tubuh umat Islam sendiri, maupun yang datang dari luar. Tentu saja, berbagai macam persoalan tersebut membutuhkan kepastian hukum. Hukum di sini tidak hanya berkaitan dengan halal-haram saja, namun juga berkaitan dengan sikap kita dalam menghadapi berbagai macam persoalan hidup.

 

Ushul fikih, sebagai piranti ijtihad tentu juga harus mampu memberikan solusi. Hanya saja, ushul fikih yang kita terima dari warisan para ulama kita terdahulu, muncul dari ruang waktu yang berbeda dengan kondisi kita saat ini. Mereka mampu melakukan berbagai upaya penambahan ataupun pengurangan dalam bangunan ilmu ini. Tentu bukan berangkat dari ruang kosong, namun dari tuntutan situasi dan kondisi pada waktu itu.

 

Melihat kondisi kita yang juga sudah jauh berbeda dengan kondisi mereka, tentu rekonstruksi usul fikih menjadi sangat mendesak. Jika hal ini dilakukan, maka secara otomatis, ilmu fikih yang merupakan hasil dari ushul fikih juga akan mengalami perkembangan. Dengan kata lain, berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam juga akan mendapatkan solusi alternatif sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Di bawah ini penulis akan menguraikan secara singkat mengenai persoalan yang muncul pada masa ini.

 

1. Dalam urusan ibadah. Belakangan memang persoalan umat Islam sangat kompleks, termasuk di dalamnya persoalan ibadah. Pada masa-masa terdahulu orang belum terpikirkan untuk melakukan shalat di luar angkasa, mengetahui awal bulan ramadan atau Syawal dengan ilmu dan teknologi modern, perluasan Arafah yang konon keluar dari medan Arafah dan lain sebagainya. Semua itu tentu membutuhkan kepastian hukum.

 

2. Dalam urusan muammalat. Belakangan muncul berbagai interaksi bisnis yang belum pernah ada pada masa sebelumnya, seperti penggunaan kartu ATM, kartu kredit, asuransi, perbankan, bursa, pasar saham dan lain sebagainya. Jika Abu Yusuf dapat menelurkan kitab al-Kharaj sebagai buku pegangan pemerintah dalam menyikapi sistem ekonomi negara, bagaimana dengan kita?

 

3. Dalam bidang politik, muncul sistem politik yang berbeda dengan generasi awal Islam. Demokrasi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan bangsa Indonesia.  Perlu adanya kajian mendalam mengenai hubungan Islam dan demokrasi. Kebebasan yang diterapkan oleh negara demokrasi, tentu mengandung hal-hal yang bersifat positif dan negatif. Perlu ada penyikapan dan batasan yang jelas, sehingga tidak merugikan kepentingan agama, jiwa, harta beda, akal dan keturunan.

 

Belum lagi masalah relasi antara pemerintah dengan rakyat, perlu peraturan yang jelas. Sehingga wakil rakyat ataupun penguasa dapat bergerak dan bertindak demi kemaslahatan masyarakat. Korupsi tidak hanya disikapi sebagai halal-haram saja, namun ada solusi alternatif yang dapat membentuk sebuah tatanan pemerintahan yang bersih.

 

Belum lagi jika kita kaitan dengan penyikapan pemerintah terhadap pemeluk agama. Apakah ahli dzimmah masih layak dipertahankan, atau ada konsep lain yang barangkali lebih sesuai dengan zaman sekarang? Jika Ibnul Qayyim dalam kitabnya, ahwâlu ahli dzimmah dapat memberikan etika interaksi dengan ahludzimmah, bagaimana kita memberikan solusi ketika hidup di negeri yang penduduknya menganut banyak agama?

 

Kaitannya dengan hubungan internasional, juga perlu mendapatkan penyikapan yang arif. Bagaimana kita menyikapi istilah dârul al-harbi, dâr al-Islam dan dâr al-ahdi untuk konteks kontemporer. Al-Mawardi dengan kitab al-Ahkam as-Sulthaniyahnya, dapat menuliskan buku politik yang sangat ideal untuk konteks zaman pada waktu itu. Demikian juga dengan para ulama-ulama lain, seperti Ibnu Taimiyah dalam syiyâsah syariyyah, Ibnul Qayyim Thuruqul Hukmiyyah dan lain sebagainya. Mereka begitu cemerlang dalam merumuskan fikih politik untuk masa itu. Persoalannya, apakah kita mampu seperti mereka?

4. Kaitannya budaya, harus ada standar yang jelas mengenai budaya yang sesuai dengan nilai dan norma keislaman. Perlu adanya rumusan sehingga dapat menjadi acuan bagi umat Islam. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan budaya kita dan dapat menyeleksi semua budaya asing sesuai dengan syariat Islam. Dengan demikian, umat tidak mudah untuk menolak, atau menerima budaya asing begitu saja, namun ada acuan yang jelas. Apalagi era tegnologi informasi semakin kuat, maka panduan ke arah sana menjadi semakin urgen.

 

5. Kaitannya dengan masalah sosial, dalam Islam disebutkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Hanya bagaimana konsep masyarakat ideal tersebut, tentu juga membutuhkan pemikiran kongkret, sehingga ia tidak hanya tertulis dalam ayat al-Qur’an. Ia benar-benar menjadi ide yang membumi sesuai dengan konteks kita.

 

6. Persoalan sosial lainnya, masalah kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan dan lain sebagainya. Bagaimana solusi kongkret yang diberikan Islam? Tentu acuannya adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi. Semua itu membutuhkan rumusan sehingga konsep Islam benar-benar dapat terealisasikan dalam masyarakat.

 

7.Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam hukum fikih, masalah hak dan kewajiban bukanlah hal yang baru. Dalam ushul fikih pun sesungguhnya telah dibahas tentang hak dan kewajiban seorang manusia, bahkan ketika dia masih dalam perut ibunya. Namun bagaimana agar konsep-konsep tersebut dapat dirumuskan dengan baik dan disosialisasikan dalam masyarakat sehingga terkesan bahwa umat Islam bukan hanya bangsa yang selalu mengikuti alur pemikiran peradaban Barat. Juga perlu ada kejelasan, antara konsep HAM yang ditawarkan oleh Islam dengan HAM yang ditawarkan oleh Barat sehingga masyarakat mempunyai pegangan yang jelas.

 

8. Kaitannya dengan lingkungan. Islam sangat mendorong umatnya untuk menjaga dan memelihara lingkungan. Bahkan salah satu tugas manusia di muka bumi adalah untuk menjadi khalifah. Dengan kata lain, manusia mempunyai wewenang besar untuk mengatur dan memakmurkan bumi. Namun bagaimana kemakmuran ini bisa tercapai? Bagaimana supaya lingkungan tempat kita tinggal, tidak mudah tercemar dan ternodai? Bagaimana supaya berbagai industri tidak merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berbahaya bagi umat manusia? Sementara Islam memerintahkan umatnya untuk selalu menjaga agama, jiwa, harta, keturunan dan akal? Jika Ibnu Thufail dalam kitabnya Hay Ibnu Yaqzhan dapat menguraikan secara apik relasi manusia dengan alam, bagaimana dengan kita? Lagi-lagi, di sini membutuhkan konsep yang membumi. Perlu adanya langkah-langkah kongkret sehingga jargon Islam adalah tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam bukan hanya isapan jempol

 

9. Dalam bidang kedokteran. Masalah operasi plastik, kloning, bayi tabung dan lain sebagainya. Jika Ibnu Sina dianggap sebagai dokter bedah pertama, bagaimana dengan kreativitas dokter muslim saat ini? Banyak persoalan baru yang menanti kejelasan hukum.

 

Apa yang kami sampaikan di atas hanyalah sekelumit persoalan yang membutuhkan pemecahan. Tentu saja dengan piranti ilmu ushul fikih. Pertanyaannya, apakah ushul fikih klasik yang kita pelajari selama ini sudah cukup untuk dijadikan sebagai piranti dalam berijtihad ketika kita berhadapan dengan berbagai persoalan yang lebih komplek seperti ini? jika memang belum cukup, lantas apa yang kiranya perlu dilakukan pengembangan? Mungkinkah cabang-cabang ilmu baru yang bermunculan belakangan dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk mengembangkan ilmu ushul fikih? Inilah berbagai pertanyaan yang harus kita jawab.

 

 

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

five × three =

*