Friday, April 26, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Menimbang Antara Maslahat dan Mafsadat

dfsagh

 

Dalam kitab miftahussaadah, Ibnul Qayyim menyatakan bahwa hukum syariat yang diturunkan Allah kepada manusi selalu memberikan maslahat yang ebih besar kepada hamba. Jika terjadi benturan antara dua maslahat, yang harus didahulukan adalah maslahat yang paling penting. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa ketika ada mafsadah, maka mafsadat harus dihindari. Ketika ada dua mafsadah dan harus melakukan salah satu dari keduanya, maka lakukan yang mengandung mafsadah paling ringan dengan menghindari mafsadah yang lebih besar. Menurutnya,hukum Allah akan selalu berputar di kisaran maslahat hamba.

 

Dalam kehidupan sehari-hgari, kita sering dihadapkan pada berbagai macam pilihan yang sangat merepotkan. Kadang pilihan itu sama-sama sulit dan sama-sama tidak bisa kita kehendaki. Namun kita harus melakukannnya dan memilih salah satu dari keduanya. Di sinilah timbangan maslahat dan mafsadat sesuai dengan ketetapan syariat yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menentukan pilihan.

 

Contoh sederhana, seorang ibu ingin membeli baju baru lebaran untuk anaknya. Keingiannya tersebut sangat manusiawi. Apalagi waktu idul fitri, pakaian baru menjadi semacam simbul kebahagiaan orang tua. Senang sekali sebagai orang tua melihat anaknya tersenyum bersama rekan-rekannya. Di sisi lain, uangnya pas-pasan. Penghasilan suami juga pas-pasa. Uang bulanannya hanya cukup untuk makan demi menghidupi keluarga.

 

Dalam posisi seperti ini, timbangan maslahat sangat dibutuhkan. Jika ia meminjam uang dari orang lain, apakah ia punya kemampuan untuk membayarnya? Jika ia punya kemampuan dengan target tertentu, orang tua boleh mempertimbangkan untuk meminjam uang dari orang lain. Namun jika secara hitung-hitungan manusia tidak bisa membayarnya, maka yang didahulukan adalah menghidupi keluarga. Hal ini, karena makan jauh lebih penting daripada sandang. Selama sandang masih ada dan layak pakai, ia masih bisa memakainya. Tapi jika uang belanja tadi untuk beli baju baru, maka yang terkorbankan adalah penghidupan mereka. Dampaknya jauh lebih besar. Menghidupi keluarga masuk dalam hifzunnafs danurusan darurat, sementara untuk pakaian tambahan (baju baru) masuk pada kamaliyat (perlengkapan). Hal yang sifatnya darurat harus didahulukan dibandingkan dengan hal yang hal yang sifatnya untuk pelengkap.

 

Contoh lain, seseorang yang tertimpa reruntuhan. Dia terjebak di dalam ruangan. Di situ tidak ada lagi makanan dan minuman. Dia harus bertahan hidup untuk melindungan nyawa sendiri. Nyawa manusia bukan milik dirinya sehingga ia bisa mengabaikannya begitu saja. Nyawa manusia merupakan titipan Allah yang diberikan kepadanya yang harus selalu dijaga. Jadi melindungi nyawa ini menjadi sebuah kewajiban.

 

Namun bagaimana menjaga nyawa yang dititipkan Allah dalam kondisi seperti itu? Ia kehausan dan kelaparan. Untuk makan,mungkin tidak bisa dijangkau. Tidak ada yang bsia dimakan. Di sekelilingnya hanya beton. Untuk minum, masih ada kemungkinan, yaitu ia minum air seninya sendiri. Dalam kondisi normal, air seni adalah najis. Sesuatu yang Janis, haram untuk dimakan. Najis adalah kotoran.

 

Hanya ia sekarang berada dalam kondisi darurat dan tidak normal. Ia menghadapi dua pilihan yang sama-sama sulit. Keduanya juga mengandung mudarat. Tidak minum air seni adalah mudarat. Ia akan berakibat pada kematian. Minum air seni adalah mudarat. Ia air yang kotor dan najis serta haram diminum.

 

Pilihannya adalah mencari mudarat yang lebih ringan untuk menggapai maslahat yang lebih besar. Ia diizinkan untuk meminum air seninya sendiri. Bahkan minum air seninya menjadi wajib demi melindungi nyawanya itu. Siapa tau, dengan ini ia bisa bertahan hidup dalam beberapa hari. Selama proses bertahan bisa jadi ada orang lain yang bisa menyelamatkan hidupnya.

 

Contoh seperti ini adalah riil di masyarakat dan bukan merupakan perbuatan yang mengada-ada. Sering kita mendengar di beberapa kasus, ketika terjadi gempa bumi, seseorang terperangkap dalam gedung. Ketika tim penyelamat datang, mereka mendapati seseorang masih dalam kondisi hidup. Ternyara, orang tadi minum air seninya sendiri.

 

Benar bahwa nyawa seseorang berada di tangan Allah. Jika waktunya datang, Allah akan mengutus malaikat pencabut nyawa untuk mengambil ruhnya. Hanya sebagai manusia, diwajibkan untuk melindungi nyawanya bagaimanapun caranya. Dalam maqashid syariah, melindungi nyawa ini masuk dalam dharuriyat al-khamsah, yaitu 5 darurat yang harus dilindungi, mencakup perlindungan agama, jiwa, harta, akal dan keturunan/kehormatan.

 

Jika suatu maslahat dan mafsadat beragam, mka yang harus dilakukan adalah melakukan timbangan antar maslahat dan mafsadat. Hanya saja, dalam menentukan timbangan antara keduanya tidak bisa diserahkan secara independen kepada akal manusia. Hal ini mengikat akal manusia mempunyai sisi-sisi kelemahan. Akal manusia tidak bisa menjangkau seluruh maslahat yang sesuai dengan kehendak Allah.

 

Di sini hukum syariat berperan. Hukum syariat yang akan memberikan rambu-rambu dan memandu otak manusia dalam menentukan pilihannya. Dengan demikian, akal manusia tidak terjerumus pada maslahat yang menurutnya baik, namun sesunggunya tidak baik menurut syariat.

 

Jika toh kita mengikuti pendapat muktazilah yang berpendapat bahwa akal manusia bisa menentukan baik buruk, tetap saja kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya kepada keinginan manusia. Manusia mempunyai hawa nafsu yang seringkali membawa egonya untuk melakukan sesuatu sesuai yang ia kehendaki. Akal, meski secara fitrah menolaknya, namun karena sifat ego yang mempengaruhi dirinya, maka ia terkorbankan. Pada akhirnya, manusia mengikuti hawa nafsu dan menyalahi apa yang telah dikatakan salah oleh akal.

 

Contoh sederhana, minuman keras secara akal tidak baik. Secara kedokteran juga tidak baik. Ia banyak mengandung mudarat baik kepada ririnya, juga kepada ornag lain. Namun manusia mempunyai hawa nafsu yang seringkali mengalahkan akal pikirannya. Meski ia tahu bahwa khamar merusak, namun ia tetap meminumnya.

 

Kasus khamar ini sama persis dengan rokok. Semua dokter sepakat bahwa bahwa rokok itu mudarat. Bahkan di bungkus rokok pun ditulis bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan. Tidak hanya itu, bungkus rokok juga diletakkan gambar korban rokok yang cukup mengerikan.

 

Anehnya, masih banyak yang membeli rokok. Bahkan tidak sedikit dokter yang merokok. Padahal secara logika kesehatan jelas melanggar. Mengapa ini bisa terjadi? Padahal akal manusia menganggap rokok berbahaya. Tidak lain adalah bahwa manusia mempunyai sifat eko (hawa nafsu) yang seringkali mengalahkan akal sehatnya.

 

Karena kekuatan hawa nafsu ini, maka akal tidak bisa dijadikan sebagai timbangan independen untuk menentukan maslahat ini. Akal acapkali dikalahkan dengan keinginan membucah yang ada dalam hati mansuia. Hanya hukum syariat yang bisa dijadikan sebagai acuan

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

four + 1 =

*