Pada pertengahan Desember, dr Najih Ibrahim diundang ke Indonesia oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Ia sempat bertemu dengan beberapa terpidana teroris dan berdialog dengan mereka. Menurut beliau, secara umum, mereka yang tergabung dalam jaringan teroris di Indonesia tersebut, cenderung mudah menghakimi orang lain dengan label kafir. Bahkan mereka juga mengkafirkan pemerintah dan militer. Menurutnya, gerakan Islam semacam itu juga ada di Mesir, Libia dan negara Islam lainnya.
Ia juga sempat berdialog dengan Abu Bakar Baasyir. Menurutnya, Abu Bakar Baasyir adalah tokoh yang lebih rasional dibandingkan dengan Umar Abdurrahman, terduka teroris yang saat ini masih mendekam di penjara Amerika. Ia sepakat dengan pernyataan Abu Bakar Baasyir yang menyatakan bahwa Indonesia adalah medan dakwah dan bukan medan pertempuran.
Menurutnya, seorang muslin tidak berhak untuk mengkafirkan orang lain. Lembaga yang mempunyai wewenang memberikan label kafir hanya pengadilan. Di akhirat, manusia tidak ditanya mengenai seberapa banyak orang yang telah ia kafirkan. Namun manusia akan ditanya seberapa banyak amal perbuatan yang telah ia perbuat.
Pengkafiran merupakan tahap awal dari aksi terorisme. Pengkafiran merupakan wujud pembunuhan karakter seseorang, sementara aksi terorisme itu sendiri, merupakan implikasi akibat pemikiran tadi.
gerakan islam yang membuat terror tersebut, sering mengkalim ingin membebaskan Masjidil Aqsha. Namun apakah masuk akal bahwa mereka ingin membebaskan al-Aqsha, namun dengan melakukan pengeboman di Jakarta? Mengapa mereka tidak pergi ke Palestina saja?
Menurutnya, sebagian besar para terpidana teroris di Indonesia, mempunyai pengetahuan keislaman yang sangat minim. Dengan dialog tersebut, sedikit dapat membuka pemikiran mereka. Ia menyatakan bahwa di Indonesia membutuhkan para dai berhaluan moderat seperti para dai jebolan universitas Al-Azhar. Indonesia butuh para pemikir yang jauh dari sikap pengkafiran terhadap orang lain.