Saturday, May 18, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Wacana Islam Liberal; Pandangan Kontra Produktif Atas Doktrin Agama

anti-jaringan-islam-liberalIslam liberal adalah nama sebuah gerakan dan aliran pemikiran yang bermula dari sebuah ajang kongkow-kongkow di Jalan Utan Kayu 69H, Jakarta Timur. Tempat ini sejak 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film, dan seni rupa. Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang salah satu motor utamanya Ulil Abshar Abdalla berkantor. Bersama Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti Ahmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib dan Saiful Mujani, Ulil kerap menggelar diskusi bertema ‘pembaruan’ pemikiran Islam.
Setelah berdiskusi sekian lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat memperkenalkan serta mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk mengintensifkan kampanyenya mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Maret 2001.
Dengan ditunjang kucuran dana dari Asia Foundation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian dan diskusi, media cetak hingga media elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet (mailing list) kemudian dilanjutkan dengan membuat situs web, alamatnya www.islamlib.com.
Adapun istilah Islam liberal dipilih oleh kalangan JIL untuk menamakan gerakan dan pemikiran mereka, nampaknya lantaran mereka mendapat insipirasi dari buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Chares Kurzman (edisi bahasa Indonesia berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, diterbitkan oleh Paramadina), sebab dari buku itu pula JIL meminjam enam agenda rumusan Charles Kurzman. Enam isu itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan.
Namun demikian, jaringan JIL mengajukan pandangan kontraproduktif yang sering mendapatkan reaksi keras dari berbagai kalangan umat Islam. Hal ini lebih dikarenakan sikap mereka terhadap doktrin agama yang dikalangan umat Islam dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima secara utuh, namun bagi mereka adalah permasalahan yang masih perlu diperdebatkan. Dibawah ini adalah sedikit dari pandangan mereka mengenai interpretasi terhadap persoalan keagamaan.

1. Anti Islam Kaffah

Ulil Absar pernah mempertanyakan mengenai Islam kaffah sebagaimana yang diyakini sebagian besar umat Islam. Baginya, Islam kaffah adalah tidak mungkin.
Berkata Ulil Abshar Abddalla, “Saya akan mengajukan suatu pikiran kecil yang sudah mengganjal dalam benak saya sejak lama, yaitu perihal”kaffah.” Apakah beragama itu harus “kaffah”? “Kaffah” itu artinya adalah menyeluruh. Kalau mau digambarkan dengan bahasa matematik, “kaffah” artinya sudut 360 derajat, lingkaran penuh. Apakah mungkin beragama secara “lingkaran penuh”?”

“Menurut saya, beragama searah 360 derajat itu tidak sehat dilihat dari pelbagai segi. Secara kejiwaan, orang memerlukan variasi tindakan, keragaman laku. Ada bidang-bidang dalam kehidupan, di mana agama memainkan peran penting, ada bidang-bidang lain yang tidak memerlukan “kata putus” dari agama. Agama yang “kaffah” itu hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami “sofistikasi” kehidupan seperti zaman modern.

Masyarakat Madinah pada zaman Nabi adalah masyarakat sederhana yang belum mengalami kerumitan-kerumitan struktur seperti zaman ini.Masyarakat moden mengalami perubahan yang radikal, mengalami proliferasi bidang-bidang yang begitu kaya. Ledakan bidang-bidang kehidupan zaman modern ini jelas tidak bisa diatasi seluruhnya dengan agama.
Beragama secara kaffah biasa difahami sebagai pelaksanaan diktum-diktum keagamaan secara harafiah, tekstual, menyeluruh, persis seperti diktum itu dilaksanakan pada zaman Nabi. Tentu pamaknaan kaffah semacam ini bukanlah satu-satunya pemaknaan yang mungkin. Tetapi, salah satu pengertian yang populer mengenai kaffah adalah “meng-kopi kehidupan Nabi seperti apa adanya.”

2. Mendukung Paham Sekulerisasi

Pemikiran mengenai hubungan negara dengan agama (Islam) merupakan persoalan kritikal yang paling banyak mendapat penolakan dan tantangan dari pendukung Islam Liberal. Pemahaman yang sering dipakai:
(1) Negara Islam tak pernah dikenal dalam sejarah.
(2) Negara adalah kehidupan duniawi, berdimensi rasional, dan kolektif; sedangkan agama berdimensi spiritual dan peribadi.
(3) Masalah kenegaraan tidak menjadi sebahagian hubungkait (integral) dari Islam.
(4) Islam tidak menggariskan konsep asas pemerintahan (definitive), misalnya dalam bab kekuasaan.
(5) Rasulullah SAW hanya menjadi penyampai risalah, tidak mengepalai suatu institusi politik.
Seperti yang mereka kutip dari An-Na’im, sekularisme adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam. Islam ditujukan untuk manusia, dan karenanya, tak ada teks agama yang “murni” wahyu Allah. Teks itu sendiri tidak hadir di ruang hampa, selalu proses tarik-menarik antara Yang Divine dengan yang profan. Apalagi, kata An-Na’im, jika teks tersebut membincangkan manusia pada ranah publik sehingga selalu saja ada campur tangan manusia. Sekuler, menurut An-Na’im adalah negosiasi terus-menerus antara idealitas atau cita-cita masyarakat dengan realitas.
Sementara Ulil Abshar-Abdalla menegaskan bahwa Al-Qur’an sendiri mengandung dimensi atau elemen-elemen sekularisme. Ia membubuhi pendapatnya dengan argumen bahwa Al-Qur’an turun secara gradual adalah untuk merespons kejadian-kejadian historis dan sosiologis.
Dari pandangan di atas maka sangat logis jika mereka menentang pemikiran Islam politik. Dangan kata lain bahwa antara agama dan politik mempunyai medan yang berbeda. Maka politik Islam yang diartikulasikan melalui partai Islam tidak sesui dengan spirit Islam itu sendiri.
Menurut mereka, ada beberapa penjelasan untuk memahami alasan partai Islam mengusung isu syariat. Pertama, banyak pihak yang menganggap bahwa upaya partai Islam itu adalah dalam rangka politisasi agama demi keuntungan politik yang sama sekali tak berhubungan dengan kepentingan agama.
Kedua, disadari atau tidak bahwa segmen pemilih yang dibidiknya tidak berjumlah besar, tampaknya, partai-partai Islam lebih berorientasi mengisi ceruk kosong yang sempit. Dengan orientasi seperti itu, lagi-lagi partai Islam jatuh dalam anggapan bahwa keberadaannya tak lain hanyalah untuk melakukan politisasi agama.
Namun pandangan pertama mereka mengenai politik Islam perlu dipertanyakan. Sebab terdapat sebagian muslim di Indonesia yang memang memiliki aspirasi, kalau bukan obsesi, untuk menerapkan syariat di Indonesia. Sebagai partai politik yang berfungsi menyalurkan aspirasi konstituennya, keberadaan partai-partai Islam tersebut adalah untuk mengartikulasikan kehendak sebagian masyarakat muslim itu. Jadi, tanpa aspirasi syariat Islam, eksistensi partai-partai Islam hampir kehilangan signifikansi dan relevansinya. Lagipula, isu syariat Islam sesungguhnya mencerminkan keunikan atau ciri khas partai Islam.
Menanggapi pendapat kedua, bahwa di alam demokrasi, semua kelompok masyarakat, sekalipun kecil, memiliki hak yang sama untuk menyuarakan pendapat serta pandangan masing-masing untuk diuji di hadapan publik.

3. Tinjauan Ulang Masalah Haji

Tidak kalah hebohnya adalah pandangan kontraproduktif yang dilontarkan Masdar F Mas’udi mengenai kajiannya tentang ibadah haji. Bagi Masdar, haji dapat dilakukan dalam tiga gelombang wuquf berdasar karena adanya masyaqqah.
Inti pemikiran Masdar adalah menjadikan haji menjadi tiga gelombang, sehingga wuquf di arafah tidak hanya [tidak wajib] dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah [hari arafah] sebagaimana ketentuan yang berlaku. Namun setiap bulan [Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah] bisa sendiri-sendiri, sehingga ada kloter Syawal, kloter Dzulqa’dah, dan kloter Dzulhijjah. Ia merujuk pada ayat al Quran yaitu firman allah, “AlHajju Asyhurun Ma’lumat, haji adalah pada bulan-bulan yang sudah diketahui.
Padahal, secara faktual, yang menjadi masyaqqah itu justru bukan pelaksanaan wuquf, namun pada sarana. Sehingga solusi dari tumpukan manusia bisa dilakukan dengan pelebaran sarana tersebut. Pengembangan terirorial atau dengan menggunakan lif, atau aneka ragam teknologi modern sekarang ini, bukan dengan menghilangkan otentisitas dan orisinalitas pelaksanaan haji sejak Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad dan sekarang ini.
Kalau Masdar mengatakan pemikiran genuine ini sudah dilontarkannya mulai tahun 1980-an di Majalah TEMPO, mengapa sampai sekarang belum menampakkan pengaruh signifikan, baik dalam gelanggang intelektualitas apalagi dalam realitas faktual, apakah karena masyarakat ini terlalu kolot, para kiai dan tokoh agama terlalu konservatif, rigid, eksklusif, eternal dan ekstrim dalam memahami persoalan hukum, atau karena Masdar sendiri yang pondasi dalilnya rapuh, kurang representatif [hanya sekedar Alquran, Qaidah Ushul Fikih dengan mengabaikan ratusan bahkan ribuan karya ulama masa lalu yang begitu kayanya], atau memang sebuah pemikiran membutuhkan alih generasi untuk bisa diterima dan dilaksanakan, atau mungkin, menurut Cak Nur, kita tidak boleh terlalu kreatif dalam masalah ibadah, karena sudah ada ketentuan jelas dan baku dari Syari’, atau mungkin saja umat ini perlu uswah hasanah, artinya Masdar harus memberikan contoh dulu, berangkat haji seperti konsep yang ditawarkan, sepanjang belum dilakukan sendiri oleh Masdar maka sangat sulit mengharapkan orang lain untuk percaya?

4. Jilbab Tidak Wajib

Ini bukanlah pemikiran baru dalam wacana pemikiran Indonesia. Sebelumnya ide tersebut pernah dilontarkan Nurcholis Masjid. Menurut mereka, bahwa jilbab pemaknaan jilbab telah disalahpahami banyak pihak, baik kalangan Islam maupun kalangan di luar Islam. Di kalangan Islam sendiri, menurut mereka sering dijumpai keyakinan tentang superioritas ketakwaan perempuan berjilbab daripada yang tidak berjilbab. Sedangkan di kalangan luar, kelompok berjilbab sering dianggap sebagai kalangan fundamentalis yang militan, radikal, dan anti-Barat.
Untuk menguatkan argumen di atas, mereka mengutip pendapat Fatima Mernissi dalam buku Wanita dalam Islam. Menurutnya, dalam masa-masa awal kehidupan Islam, ruang yang diciptakan Nabi sepertinya tidak ada dikotomi antara ruang privat Nabi dan isteri-isterinya dengan kaum muslimin lainnya.
Mereka juga merujuk pada pemikiran Al-Asymawi yang mengakatan bahwa hadis-hadis yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutip-annya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat. Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.
Apa yang kami paparkan di atas hanyalah sebagioan kecil dari pandangan kontra produktif yang dikembangkan JIL. Sebenarnya, wacana tersebut tidak banyak memberikan manfaat bagi masyarakat, bahkan sebaliknya membuat resah masyarakat.
Umat Islam masih menghadapi berbagai persoalan yang berkaitan erat dengan permasalahan riil kehidupan sehari-hari. Mangenai ketidak adilan, korupsi, kemiskinan, kebodohan dan lain sebagainya yang membutuhkan solusi alternatif.
Soal doktrin agama yang sudah pasti dan diterima oleh masyarakat banyak, seperti shalat, eksistensi Tuhan, zakat, puasa dan haji, saya kira tidak perlu diperdebatkan lagi. Selain masuk dalam wilayah qat’iyât, juga hanya akan membawa keresahan dalam masyarakat. Wallahu a’lam.

Hak Asasi Manusia
Antara
Doktrin Islam Dan Tendensi Politik Global

Hak merupaka tanggungan yang layak diperoleh bagi manusia. Dalam Islam, manusia berhak menerima tanggungan sejak ia masih berbentuk janin dalam kandungan sang ibu. Hanya saja, hak yang diperolehnya tidak penuh sebagaimana manusia yang sudah terlahir di dunia. Dari satu sisi, jani memang bagian dari sang ibu. Ia bernafas bersama dengan desah nafas sang ibu, ia berjalan bersama dengan langkah kaki sang ibu, ia makan dan minum juga bergantung pada sang ibu.

Namun di sisi lain, janin merupakan satu kesatuan yang terpisah dari sang ibu. Ia berhak untuk hidup. Dari sini Islam mengharamkan aborsi yang merupakan bentuk dari pembunuhan terhadap janin. Ia juga berhak untuk mendapatkan penghidupan dengan memperoleh berbagai kebutuhan makan dari sang ibu. Bahkan dalam Islam seorang ibu yang sedang mengandung dibolehkan untuk tidak berpuasa jika itu dapat mengganggu eksistensi kehidupan janin. Lebih dari itu, ia dapat memperoleh hak waris, wakaf dan wasiat.

Ketika bayi terlahir, ia berhak untuk mendapatkan susuan (radhâ’ah) dan segala perawatan lainnya. Seiring dengan kedewasaan sang anak, hak yang diperolehnya semakin sempurna. Ia berhak untuk mendapatkan perawatan, pendidikan, nafakah dll. Dan ia akan mendapatkan hak secara sempurna ketika sampai pada akil baligh.

Di bawah ini, penulis hanya akan mencantumkan dua hak yang harus diperoleh manusia sebagaimana tertera dalam ajaran agama Islam. Dua point tersebut adalah hak hidup dan hak mendapatkan kebebasan.

Selanjutnya, penulis akan sedikit menyinggung mengenai hak asasi manusia yang belakangan hanya dijadikan sebagai alat politik negara-negara besar untuk mengendalikan percaturan politik global.

Hak hidup

Firman Allah: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” QS al-Maidah: 32

Ayat di atas menerangkan secara gamblang bagaimana Islam memandang eksistensi kehidupan manusia. Kaitannya dengan kehidupan, Islam tidak diskriminatif. Manusia dengan berbagai latar belakang agama dan suku bahasa memiliki hak hidup yang sama. Bahkan dalam negara Islam, kafir zhimmiy berhak mendapat jaminan keamanan demi kelangsungan kehidupannya dalam negara bersangkutan. Siapapun yang mengganggu kafir zhimmi, dianggap sama statusnya dengan mengganggu Rasulullah, sebagaimana tertera dalam sebuah hadits. Pembunuhan adalah haram, apapun dalihnya. Pembunuhan hanya dibolehkan dalam kondisi tertentu, seperti dalam peperangan, atau karena hukuman atas kejahatan tertentu.

Hak hidup dapat dibagi menjadi dua: pertama hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Kedua: Hak untuk mendapatkan perlindungan agar eksistensi kehidupan yang bersangkutan tidak terganggu.

Untuk yang pertama, Islam mewajibkan negara untuk memberikan jeminan kehidupan bagi warganya. Negara harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan peningkatan ekonomi warga negara, baik dengan membuka lapangan pekerjaan, sampai pada pemberian santunan bagi mereka yang sama sekali tidak mampu bekerja. Santunan wajib tersebut didapat dari hasil zakat, atau dana lain dari baitul mal muslimin. Disamping tugas negera, jaminan kesejahteraan hidup juga dibebankan kepada kerabat terdekat dan orang-orang kaya. Orang tua wajib memberikan hak nafaqah kepada anak dan istrinya, juga kepada keluarga dekatnya yang tidak mampu. Sementara orang kaya diberi beban zakat (QS. Annisâ: 36, al-Baqarah: 43)

Untuk bagian kedua, yaitu hak mendapatkan perlindungan atas eksistensi kehdiupannya, Islam meletakkan beberapa jaminan, diantaranya adalah: memberikan hukuman mati (qishâsh) bagi mereka yang membunuh seseorang dengan sengaja. Secara sepintas seaklan hukuman tersebut terkesan kejam dan barbari, namun justru di sinilah letak dari keadilan Islam. Ruh dalam pandangan Islam memiliki nilai yang sangat tinggi. Ruh manusia adalah milik Allah, dan hanya Ia yang berhak untuk mengambilnya. Maka barang siapa yang membunuh tanpa ada alasan yang jelas, keluarga korban berhak untuk menuntut hukuman mati kepada pembunuh. (QS. al-Isra’:33)

Hak mendapakan kebebasan

Tuhan memberikan manusia akal agar dengannya manusia dapat berfikir dan mendapatkan petunjuk dalam mengarungi batera kehidupan. Akal dalam perspektif Islam menempati posisi yang sangat terhormat, karena dengan akal tersebut Tuhan memberikan beban hukum kepada manusia. Islam mengharamkan segala sesuatu yang dapat menghalangi eskistensi akal manusia. Karena sesungguhnya Islam menginginkan agar manusia selalu berfikir dan menggunakan akalnya demi kelangsungan kehidupan sesuai dengan jalan yang telah digariskan Tuhan.

Karena akal merupakan sentral pemikiran manusia, maka secara otomatis Islam juga memberikan jaminan terhadap kebebasan berkepresi yang merupakan bagian dari hasil kinerja akal. Kebebasan berekspresi dapat berlaku dalam berbagai lingkup kehidupan, diantaranya adalah:

a. Kebebasan berpolitik

Kebebasan politik dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, pertama bebas mendapatkan hak untuk mengemban amanah politik, atau mendapatkan jabatan dalam kancah politik. Kedua: bebas untuk mengeluarkan pendapatnya dalam memberikan pengawasan terhadap jalannya politik suatu bangsa.

Pemimpin dan kepemimpinan adalan sesuatu yang sangat urgen. Namun pemimpin bukanlah orang yang memiliki hak mutlak untuk menentukan jalannya roda pemerintahan sesuai dengan kepentingan pribadi. Pemimpin, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun sesungguhnya hanyalah wakil rakyat yang ditugasi untuk mengatur kelangsungan kehidupan bernegara demi kepentingan agama dan dunia sekaligus. Maka acuan dasar seorang pemimpin adalah etika ketuhanan sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan Assunnah. Kepentingan bangsa dan negara jauh di atas kepentingan prinadi. Jaminan kesejahteraan rakyat menjadi tanggung jawab yang tidak ringan. Ia juga harus bersikap adil terhadap siapapun tanpa memandang keturunan ataupun jabatan individu. Karena tugas seorang pemimpin yang sedemikian berat, maka Islam meberikan jaminan syurga bagi seorang pemimpin yang mampu bersikap adil.

Rakyat sebagai warga yang mengakat seorang pemimpin berhak untuk mengawasi dan meluruskan perjalanan politik negara agar selalu sesuai dengan cita-cita agama. Dalam Islam, pengawasan tersebut disebut sebagai amal ma’ruf dan nahi munkar. Pengawasan ini tentunya akan efektif jika negara memberikan jaminan kebebasan kepada warganya untuk mengeluarkan pendapatnya sebagaimana mestinya. Kediktatoran dan pengekangan terhadap indifidu atau kelompok tertentu sungguh bertentangan dengan tujuan awal pemerintahan.

b. Kebebasan berfikir

Disamping kebebasan berpolitik, Islam juga memberikan jaminan terhadap kebebasan berfikir. Dengan ini, maka ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan pesat. Implikasi selanjutnya adalah perkembangan peradaban Islam itu sendiri.

Kebebasan berfikir dalam Islam dapat dilacak dari sejarah perkembangan Islam masa lalu. Berbagai aliran pemikiran, dari fiqh, ilmu kalam, filsafat sampai pada ilmu-ilmu eksakta dapat tumbuh subur dalam naungan pemerintahan Islam. Bahkan dalam fiqh, satu permasalan terkadang mempunyai puluhan ketetapan hukum yang berbeda-bed, bergantung kepada pandangan dan argumentasi mujtahid. Berbagai madzhab fiqh dapat eksis, sementara toleransi terhadap pandangan ulama lain yang berbeda tetap dapat dijaga. Dalam ilmu kalam berkembang berbagai aliran, dari Muktazilah yang memberikan porsi akal di atas nash, sampai pada aliran Alhlusunnah yang menempatkan nash di atas akal manusia. Perkembangan intelektual Islam klasik tersebut tidak akan lepas dari kebebasan berfikir yang mendapatkan jaminan penuh dalam al-Quran (QS. al-An’âm:50, al-Baqarah: 219-220).

c. Kebebasan beragama

Selain hak mendapatkan kebebasan berfikir, Islam juga memberikan jaminan hak untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Tugas umat Islam hanya menyampaikan dengan argumentasi logis kepada pemeluk lain, namun kepuusan sepenuhnya berada dalam pribadi masing-masing. Islam tetap akan menghormati mereka, meski mereka tidak seagama (QS al-Kâfirûn: 6, Yûnus: 1). Bahkan Islam meberikan berbagai hak kepada pemeluk lain dalam naungan negara Islam.

d. Kebebasan sipil

Yang dimaskud dengan kebebasan sipil adalah kebeasan seorang individu untuk mendapatkan pengakuan dirinya, baik ia sebagai individu atau sebagai kelompok. Ia berhak untuk tinggal di wilayah tertentu, menekuni pekerjaan tertentu dan berpergian ke tempat tertentu. Sebagaimana ia juga berhak untuk menggunakan harta yang ia miliki sesuai dengan kepentingannya sendiri, berhak untuk melakukan transaksi jual beli, akad perjanjian terhadap bisnis tertentu dll.

Islam memberikan kebebasan dan tanggung jawab penuh atas perbuatasn individu kepada yang bersangkutan. Jika individu melakukan pelanggaran, maka hanya yang bersangkutan saja yang berhak untuk menerima hukuman (QS. al-Baqarah: 286).

Tentu saja hak-hak tersebut diatur oleh pemerintah agar tidak disalahgunakan sehingga dapat mengganggu terhadap eksistensi hak orang lain. Sementara acuan perundangan dalam pemerintahan Islam adalah al-Quran dan Assunah.

Hak asai manusia dan tendesi politik global

Pada tahun 10 Desember 1948, Piagam Hak Asasi Manusia (HAM) dideklarasikan PBB. Setelah peristiwa itu, PBB menyeru kepada negara anggota untuk mensosialisasikan piagam tersebut agar dapat direalisasikan dalam tiap-tiap negara. Bentuk sosialisasi dapat berupa pengajaran HAM bagi siswa, atau juga pembentukan lembaga-lembaga tertentu yang dapat mengatur dan mengawasi penerapan piagam dalam satu negara tertentu.

Piagam Hak Asasi Manusia tersebut sungguh mengagungkan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah negara-negara dunia mengakui terhadap hak yang dimiliki tiap individu. Meski jika kita runut, sebenarnya pasal-pasal yang terkandung di dalamnya tidak asing dalam dunia Islam. Jauh sebelum itu, Islam telah mengakui hak-hak yang dimiliki tiap manusia.

Namun dalam perjalanannya, pelaksanaan HAM tidak luput dari alur politik negara-negara besar. Sesuatu yang dianggap sebagai tuntutan hak dalam satu negara, namun di lain pihak dianggap sebagai pemberontak dan teroris.

Bagi rakyat Palestina, perlawanan terhadap penjajah Israel adalah tindakan yang dapat dibenarkan. Mereka menuntut haknya agar tanah Palestina yang selama ini direbut bangsa Israel dikembalikan. Namun perlawanan mereka justru dianggap sebagai tindakan teroris, baik bagi Israel sendiri atau Amerika. Pengusiran jutaan warga Palestina, pembantaian tiap saat yang tidak membedakan antara anak-anak, wanita dan orangtua, membumi hanguskan rumah penduduk dan penghancurkan hasil tanam warga Palestina tidak pernah mendapatkan kecaman dari dunia internasional. Upaya menghancurkan masjid suci al-Aqsha dengan membuat terowongan bawah tanah juga tidak dianggap menyalahi hak kebebasan beragama. Bahkan peristiwa tersebut dibenarkan dan dilindungi oleh negara adidaya Amerika.

Apa yang terjadi di bumi Palestina juga tidak jauh berbeda dengan kejadian di Irak dan Afganistan. Amerika dengan kekuatan yang dimilikinya dapat membunuh dan menghancurkan apa saja tanpa ada kecama dunia internasiona. Dengan dalih perang melawan terosis, Amerika berhak untuk interfensi terhadap kedaulatan negara lain.

Amerika dengan mudah mengecam dan mencatat negara tertentu atas pelanggaran HAM. Sementara tudingan pelanggaran tersebut hanya tindakan politik untuk menekan negara bersangkutan agar mengikuti jalur politik Amerika. Hal ini sangat kentara terhadap tudingan Amerika atas pelanggaran HAM di beberapa negara seperti Suria, Sudan, Iran dan Kuba.

HAM yang digembar-gemborkan PBB tidak lebih dari kepentingan politik global. Tatanan dunia yang hanya satu kutub diarahkan untuk mengikuti jaur politik Amerika. Dari sini maka HAM menjadi kabur. HAM yang semestinya merupakan nilai dan norma yang sangat dijunjung manusia menjadi onggokan sampah ketika berhadapan terhadap tatanan politik yang berbeda. Jika memang demikian, apakah Piagam Hak Asasi Manusia yang berada dalam naungan PBB masih dapat dipertanggungjawabkan? (Wahyudi Abdurrahim )

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

fourteen − nine =

*