Saturday, May 18, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Islam Inklusif; Skeptisitas atas Doktrin Agama

kaabaInklusif mengidentifikasikan sebagai sikap terbuka, toleran dan mau menerima orang lain. Sementara ekslusif adalah tertutup, jumud dan rigit. Inklusifisme berusaha menggapai kesatuan agama-agama. Berbeda dengan eksklusifisme yang berusaha untuk menjadikan agama-agama yang banyak itu sebagai salah satu facet dari agama yang satu. Maka berkembanglah apa yang sering disebut sebagai inklusif pluralis dan inklusif teologiis.

Inklusif pluralis menyeru pada keterbukaan atas agama-agama, dan mempercayai bahwa ada banyak jalan menuju keselamatan. Menurut paham ini, inklusif pluralis bertujuan untuk menggiring pengikutnya pada arah realitas pengalaman baru yang menempatkan agama sebagai kekuatan moral membendung kekerasan dan terorisme. Hal itu bisa dimulai dengan membuka wacana keberagamaan yang memberi ruang kebebasan individu untuk memilih dan mengembangkan keyakinan pribadinya. Langkah selanjutnya adalah mendorong penerimaan atas keragaman organisasi keagamaan yang berfungsi sebagai unit yang kompetitif (competitive units).

Jika ini pun sudah cukup kukuh, kerja sama antar agama menjadi sesuatu yang niscaya. Dengan demikian, -masih menurut mereka- diharapkan lahir model keberagamaan yang inklusif dan terbuka, menjamin kebebasan agama dan meminimalisasi intervensi negara. Karena itu, perlu membangun kesadaran dan kepekaan terhadap kemajemukan serta keragaman. Maka formalisasi agama tertentu dalam suatu negara harus di tolak. Formalisasi agama bearti megedepankan atau menganaktirikan suatu agama terhadap agama lainnya.

Sementara inklusif teologis lebih mengedepankan aspek teologis sebagai pijakan dalam pengembangan keterbukaan dan toleransi. Menurut Sukidi, teologi inklusif dikatakan sebagai alternatif dari teologi eksklusif yang menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama menjadi monopoli agama tertentu. Karena itu, dalam perspektif “teologi inklusif,” klaim bahwa hanya agamanya saja yang benar dan menjadi jalan keselamatan, adalah teologi yang salah.

Hampir semua agama formal (organized religion), memiliki klaim keselamatan, “Hanya agama sayalah yang memberikan keselamatan, sedangkan agama Anda tidak dan bahkan menyesatkan.”

“Klaim-klaim keselamatan seperti itu bersifat latent dan terkadang juga menifes, terekspresikan keluar, ke berbagai tradisi agama-agama, sehingga mengakibatkan perang (keselamatan) antar agama. Padahal, bukankah klaim keselamatan itu tidak saja mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius atas terjadinya konflik atas nama agama dan Tuhan?” (alIslam.or.id, 04/26/2002)

Sebenarnya embrio ideologi inklusif pluralis bermulai dari pada Konsili Vatikan II tahun 1963-1965 yang merevisi prinsip extra ecclesium mulla salus ke arah teologi inklusif. Konsili ini menyebutkan bahwa keselamatan tidak lagi menjadi monopoli umat Kristiani dengan keharusan mengeksplisitikan iman kepada Yesus Kristus. Keselamatan juga terdapat dalam agama lain yang memiliki doktrin agama yang berbeda. Dengan demikian, Gereja Kristen mengakui adanya keselamatan di luar Kristen, yang menurut teolog Katolik yang berhaluan inklusif, seperti Karl Rahner, disebutnya sebagai Anonymous Christian.

Hemat penulis, pemahaman terhadap teologi inklusif-pluralis akan sangat berbahaya. Bahkan penulis menganggap bahwa pemahaman dan bahkan keyakinan terhadap aliran ini dapat menggiring umat Islam pada keraguan terhadap agamanya sendiri.

Paling tidak ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama; kaitannya dengan implikasi teologi inklusif pluralis terhadap keyakinan akan kebenaran agama (aspek teologis). Kedua; kaitannya dengan formalisasi syariat Islam (aspek politis). Ketiga; kaitannya dengan kepentingan luar yang berusaha memandulkan kebangkitan Islam diseluruh penjuru dunia (aspek konspirasi global)

Untuk yang pertama, bahwa pemahaman terhadap teologi inklusif pluralis mengajak agar pemeluk agama meyakini agamanya adalah benar. Namun di sisi lain, ia juga harus percaya bahwa di luar agamanya juga ada kebenaran lain. Klaim seperti ini jelas-jelas mengaburkan ajaran Islam. Sebagai seorang muslim sudah selayaknya kita menganggap bahwa hanya agama kitalah yang paling benar sementara agama lain semuanya salah. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”(Ali lmran: 19, 85).

Dari sini memungkinkan kita untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan apa yang tertera dalam kitab suci, dan sesuai dengan apa yang dicontohkan nabi. Bagaimana mungkin seorang muslim mampu melaksanakan ajaran agamanya dengan baik jika ia sendiri masih meragukan akan kebenaran agama yang ia anut?

Benar bahwa Islam memerintahkan kepada umatnya untuk menyebarkan agamanya kepada orang lain yang berada di luar Islam. Namun di sisi lain, Tuhan juga melarang umat Islam untuk memaksakan agamanya kepada orang lain. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:256).

Jika kita mau membuka lembaran sejarah masa lalu, ayat di atas tidak hanya sekedar slogan kosong, namun juga terealisasikan dalam realitas empiris. Sejarah Madinah, dan juga kekhalifahan setelah wafatnya Rasul saw, menjadi bukti kuat akan kebenaran ayat tersebut. Bahkan Rasul sendiri menganggap bahwa orang yang menyakiti kafir dzimmi dianggap telah menyakiti hati Rasul. Betapa Islam sangat toleran terhadap agama lain.

Perluasan kekuasaan pada masa Islam awal memang bertujuan untuk menyebarkan dakwah Islam. Namun demikian, tidak sampai pada pemaksaan atas keberagamaan. Di sana ada tiga pilihan, masuk Islam, membayar jizyah atau perang. Dengan demikian, selain faktor dakwah, faktor politik juga sangat dominan. Dan kenyatannya, agama lain dapat hidup rukun di bawah naungan pemerintahan Islam. Islam sendiri memberikan hak penuh kepada pemeluk lain untuk melaksanakan ibadahnya sesuai dengan apa yang ia yakini. Tidak hanya dalam beribahah, mereka juga mempunyai hak dan kewajiban lain dalam tataran politik, sosial, pendidikan dll.

Bahkan jika kita mau realistis, konflik antar agama sering dimulai dari agama lain yang ingin memaksakan ajarannya terhadap pemeluk-pemeluk Islam. Kristenisasi yang lebih mengedepankan pada doktrin “paksaan”, dan bukan dialog terhadap umat Islam sudah dapat dijadikan sebagai bukti kongkrit.

Jadi, jika menurut mereka bahwa diantara penyebab konflik yang terjadi di masyarakat adalah keyakinan terhadap teologi eksklusif perlu dipertanyakan kembali. Kekerasan antar agama lebih disebabkan karena pemaksana terhadap agama tertentu kepada orang lain. Jika demikian adanya, akan menimbulkan reaksi dari orang yang dipaksa untuk memberikan perlawanan. Di sinilah terjadi konflik antar agama.

Keyakinan terhadap paham teologi inklusif pluralis juga terkesan aneh. Di satu sisi, kita menganggap bahwa agama kita adalah benar. Namun di sisi lain, kita juga dituntut untuk membenarkan doktrin agama lain. Apakah hal ini tidak menimbulkan keyakinan yang kontradiksi? Sebagai contoh, kita meyakini bahwa Tuhan hanya satu. Tuhan tidak beranak dan juga tidak diperanakkan. Sementara di sisi lain, kita juga meyakini kebenaran trinitas, meyakini dewa-dewa, meyakini ruh-tuh halus, dan demikian seterusnya.

Maka, paham teologi inklusif pluralis hanya akan menumbuhkan sikap skeptis kita dalam beragama. Kita dapat memilih mana saja agama yang kita sukai. Semua agama adalah upaya manusia untuk menyembah, pasrah dan tunduk kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, secara tidak langsung tiap manusia akan beragama dan menyembah Tuhan seperti yang ia yakini. Dan hal ini justru akan berakhir dengan penafian secara mutlak terhadap kebenaran agama serta menciptakan agama baru menurut perspektif masing-masing.

Kedua; kaitannya dengan aspek politik. Ideologi inklusif pluralis menentang formalisasi agama tertentu dalam suatu negara. Hal ini menurut mereka karena bertentangan dengan nilai agama itu sendiri, bahwa semua agama adalah benar. Maka formalisasi agama bearti pemaksaan terhadap satu kebenaran terhadap kebenaran lain.

Menurut paham politik demokrasi, bahwa tiap kelompok berhak untuk memberikan suara dalam kancah politik. Tiap orang berhak untuk berkompetisi agar apa yang menjadi keyakinannya dapat diterapkan dalam tataran politik. Maka hukum yang berlaku nantinya adalah suara mayoritas. Siapa yang mendapat suara terbanyak, bearti pendapat merekalah yang lebih dapat diterima oleh masyarakat banyak.

Jika memang demikian adanya, maka tidak ada alasan bagi paham teologi inklusif pluralis untuk menolak terhadap formalisasi agama tertentu. Jika katakanlah Islam sebagai agama mayoritas dalam suatu negara memenangkan pemilu dan menuntut agar syariat Islam diterapkan secara penuh, baik dalam tataran politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dll maka sebagai konsekuensi logis negara yang menganut paham demokrasi untuk merealisasikan apa yang dikehendaki rakyat. Dan hal ini tidak hanya berlaku bagi kaum Islamis, namun juga bagi penganut paham lainnya. Hanya saja yang perlu diperhatikan nantinya adalah hak dan kewajiban kaum minoritas dalam suatu negara.

Kenyataannya, banyak negara yang mengaku sebagai negara demokrsi, namun jika sudah berkaitan dengan Islam, mereka akan berpaling dari landasan struktural suatu negara. Apa yang terjadi di Aljazai, Turki, Mesir dan Tunisia adalah bukti nyata. Padahal dengan jelas negara ini menyatakan sebagai penganut paham demokrasi.

Dengan paham anti formalisasi agama dalam kancah politik, bearti teologi inklusif menentang proses demokratisasi suatu negara yang tujuan akhirnya adalah memandulkan Islam agar tidak dapat masuk dalam kancah politik.

Ketiga; kaitannya dengan konspirasi global. Menurut Huntington, bahwa dunia ini hanya dua, yaitu The West and The Rest (Barat dan yang lainnya, yaitu yang bukan Barat). Namun demikian, bahaya yang paling besar pasca keruntuhan Unisoviet akan datang dari dunia Islam.

Barat menyadari bahwa Islam bukanlah agama yang hanya berkaitan interaksi antara manusia dengan Tuhan. Islam sebagai ideologi mampu menjadi poros peradaban. Kemajuan Islam klasik dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lain adalah pengaruh doktrin agama dalam kehidupan mereka.

Apa yang terjadi di masa lalu mungkin saja terjadi di masa mendatang. Jika saat ini umat Islam kembali kepada pemahaman komperhensif dan universal terhadap ajaran agamanya, tidak mustahil Islam akan kembali berjaya dengan membentuk suatu peradaban Islam modern.

Tentu saja Barat tidak akan membiarkan hal ini begitu saja. Kebangkita perdaban Islam bearti mengancam terhadap eksistensi peradaban Barat modern yang materialistik. Bahkan mungkin dapat menggantikan posisi perdaban Barat. Islam dapat dijadikan sebagai solusi alternatif atas krisis global yang sedang melanda tatanan dunia internasional saat ini.

Untuk itu harus ada upaya antisipasi dalam rangka membendung kebangkitan Islam di seluruh dunia. Banyak cara yang ditempuh oleh dunia Barat, baik dengan jalan politik, ekonomi, sosial budaya dll. Barat berusaha menguatkan hegemoninya dalam setiap lini kehidupan dunia. Dan paham ideologi inklusif pluralis dapat dijadikan sebagai salah satu senjata untuk meruntuhkan gerkan Islam tersebut.

Ternyata, paham teologi inklusif pluralis tidak sederhana. Paham ini berkaitan erat dengan eksistensi kita sebagai umat Islam. jika memang demikian adanya, apakah kita masih menerimanya?

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

ten − 5 =

*