Friday, April 26, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Sadd az-Zhariah dan Realitas Kontemporer

AcehHampir semua madzhab menggunakan kaidah dzaî`ah kecuali Ibnu Hazm dan pengikut madzhab Zhâhîriyyah. Imam Ahmad dan Imam Malik terkenal dengan ulama yang paling banyak menggunakan dzarî`ah,  baru setelahnya adalah Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah. Hanya saja, dua Imam terakhir ini tidak menerima dzarî`ah secara mutlak. Mereka juga tidak menganggap dzarî`ah sebagai sumber hukum yang independen. Dzarî`ah masuk dalam landasan lain yang telah ditetapkan seperti qiyâs dan istihsân.

 

Meksi demikian, tidak boleh berlebihan dalam mengambil dzarî`ah. Terlalu bersikap hati-hati dapat melarang seseorang untuk tidak melakukan suatu perkara yang sesungguhnya dibolehkan atau diwajibkan, dengan alasan takut jatuh dalam perbuatan zhalim. Contoh: orang yang dapat dipercaya karena memiliki sifat `adâlah tidak mau menjadi wali bagi harta anak yatim atau harta wakaf karena takut terjatuh pada perbuatan maksiat atau tuduhan negatif dari orang lain. Jika hal ini dilakukan, tentu banyak amanah yang akan terbengkalai.

 

Dzarî`ah juga akan menimbulkan masalah jika dilaksanakan tanpa batasan yang jelas. Bahkan menurut hemat penulis, banyak persoalan yang sesugguhnya dapat disikapi dengan cara lain, namun karena sikap hati-hati yang berlebihan pada akhirnya menutup banyak perbuatan yang sesungguhnya dibolehkan. Tentu saja ini berimplikasi negatif, karena akan mengharamkan perkara yang sesungguhnya dihalalkan syariah.

 

Sebagian ulama Islam, terutama dari kalangan Wahabiyyah mengharamkan beberapa cabang ilmu pengetahuan karena dianggap bidah dan sesat menyesatkan. Ilmu filsafat dituding sebagai cabang ilmu yang dapat menjurus pada sikap atheis. Untuk itu, sarana menuju sikap atheis harus ditutup. Maka keluarlah fatawa mengenai haramnya belajar ilmu filsafat. Demikian juga dengan ilmu logika yang dianggap akan berakibat pada rasionalisasi seluruh teks-teks agama. Tidak hanya sampai di situ, ilmu balâghah dengan berbagai cabangnya; bayân, badî’ dan ma`âniy, juga dilarang karena anggapan bahwa cabang ilmu tersebut hanya akan dijadikan sebagai alat untuk mengotak-atik dan memberikan takwilan pada nas al-Quran. Lebih jauh lagi, mereka tidak hanya mengharamkan cabang ilmu, namun juga melarang bacaan pemikiran tertentu karena dianggap telah melenceng dari nilai-nilai keislaman. Lebih naif lagi, sikap mereka cenderung arogan sehingga sangat mudah melontarkan berbagai tudingan dan tuduhan negatif; murtad, kafir, kaki tangan Zionis, antek-antek Amerika dan lain sebagainya.

 

Persoalan muncul karena ketetapan hukum tersebut didasari dari sikap subyektif mereka dalam memandang nas al-Quran ataupun Hadis. Kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran sebagaimana yang mereka pahami. Pendapat yang lain adalah sesat dan salah yang harus diperangi. Sadd al-dzarî`ah pada akhirnya hanya sebagai justifikasi untuk memberangus pemikiran yang berbeda.

 

Menurut hemat penulis, berbagai cabang ilmu yang diharamkan tersebut sesungguhnya bebas dari tudingan mereka. Ilmu pengetahuan bersikap netral. Ia baru akan menjadi ilmu yang berdampak negatif, ketika diterapkan dan direalisasikan secara salah oleh empunya. Secara sederhana, pengguna ilmu tersebut yang memiliki tangung jawab mutlak terhadap dampak negatif yang ditimbulkan, bukan pada esensi ilmu. Ilmu pengetahuan bagaikan senjata yang akan berdampak positif jika digunakan oleh orang shalih. Namun ia akan dapat menghancur-leburkan umat manusia manakala dikendalikan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

 

Sadd al-dzarî`ah yang berlebihan tidak hanya menimpa pada ilmu pengetahuan, bahkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan banyak perbuatan diharamkan dengan justifikasi kaidah sadd al-dzarî`ah. Wanita muslimah dilarang pergi ke masjid, menuntut ilmu, bekerja dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya dengan alasan sadd al-dzarî`ah. Menurut mereka, wanita keluar rumah, baik untuk belajar atau lainnya akan berdampak pada perbuatan ikhthilâth yang diharamkan syariah. Untuk itu, sarana yang dapat mengantarkan wanita pada perbuatan terlarang juga harus dilarang.

 

Dzarî`ah sebagaimana boleh ditutup, ia juga dapat dibuka. Kaidah ini akan berdampak positif bagi kelangsungan peradaban Islam modern jika diterapkan secara proporsional. Sikap berlebihan pada akhirnya hanya akan merugikan diri sendiri. Maka yang dibutuhkan adalah sikap moderat dan seimbang serta mampu memandang berbagai persoalan secara komprehensif. WalLâhu a`lam.                                                  

Comments

comments

 border=
 border=

2 comments

  1. afwan ustadz, apakah ada contoh penerapan saddu adz dzari’ah dalam jual beli??

    • dilarang menjual senjata api atau panah atau sejenisnya, di kawasan yang sedang terjadi perang saudara. karena dikhawatirkan untuk digunakan membunuh lawannya.

Leave a Reply to muh aswin Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

2 + 4 =

*