Sunday, April 28, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Dalilul Huduz, Bearti Muhammadiyah Menafikan Pendapat Para Filsuf

Jika kita baca Himpunan Putusan Tarjih BAB Iman, kita akan menemukan kalimat berikut ini:

اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ آُلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.

 

Sebelumnya pernah kami sampaikan bahwa untuk membuktikan adanya Tuhan sebagai Sang Pencita alam raya, Muhammadiyah menggunakan dalilul hudus. Argumen tadi diperoleh melalui nazhar terhadap alam raya yang terbukti bahwa ia sifatnya baru dan makhluk. Oleh karena ia makhluk, tentu ia membutuhkan zat yang menciptakan, yaitu Allah. Selain itu, juga sudah kami sampaikan mengenai pendapat Ibnu Taimiyah yang berbeda dengan apa yang dirajihkan oleh Muhammadiyah seperti termuat dalam HPT.

 

Apa yang termaktub dalam HPT Muhammadiyah, sesungguhnya berbeda dengan pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa alam itu qadim. Yang dimaksudkan para filsfuf di sini adalah Arestoteles dan para filsuf muslim yang banyak terpengaruhi oleh pemikiran Aresto seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi dan lain sebagainya.  Pemikiran para filsuf tersebut berpijak kepada argumen illat ma’lul.

 

Illat ma’lul artinya bahwa bahwa setiap benda yang wujud, membutuhkan sesuatu yang mengadakan (illat). Wujud dari sesuatu yang mengadakan tadi, tentu juga membutuhkan hal lain (illat) untuk mewujudkannya. Hal ini akan berlangsung secara berkelanjutan.

 

Para filsuf beranggapan bahwa tidak mungkin, sesuatu yang wujud, akan membutuhkan wujud lain untuk mewujudkannya secara berantai dan tiada batas akhir. Maka wujud benda-benda itu, tentu akan sampai pada titik ahir yang wujudnya, ada dengan sendirinya dan tidak bermula. Ia disebut dengan illat pertama atau sebab terahir. Ia adalah Tuhan Yang Maha Esa.

 

Menurut para filsuf, benda-benda selain Tuhan, dianggap sebagai mumkinul wujud. Dikatakan mumkinul wujud, karena wujud dari benda tersebut, muncul dari ketiadaan dan berasal dari wujud yang abadi dan bersifat azal. Wujud abadi tadi, mereka sebut dengan wajibul wujud, yaitu wujud yang harus ada dan tidak akan pernah sirna. Ia dianggap sebagai zat yang qadim, karena ia tidak bermula.

 

Sementara itu, ma’lul adalah wujud benda yang muncul karena adanya sebab pertama. Ma’lul tidak akan ada, manakala tidak ada illat. Jadi, keberadaan ma’lul tadi sangat bergantung dengan keberadaan illat. Wujud alam raya, sangat bergantung kepada adanya wujud Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa adanya Tuhan, alam raya tidak akan wujud. Tuhan sebagai illat teahir.

 

Bagaimanakah relasi antara wujud yang qadim dengan alam raya? Menurut para filsuf bahwa relasi keduanya, sifatnya aksiomatis. Bagi mereka, keberadaan illat, secara otomatis mengharuskan adanya ma’lul. Adanya matahari, secara otomatis mengharuskan adanya sinar. Adanya api, secara otomatis mengharuskan adanya panas. Adanya es, secara otomatis mengharuskan adanya dingin. Jadi, keberadaan ma’lul selalu melekat pada illat. Sifat yang muncul pada ma’lul, juga melekat pada illat.

 

Sebagaimana disampaikan tadi, bahwa illat sifatnya qadim. Wujud ma’lul sifatnya aksiomatis dengan adanya illat. Karena illat qadim, maka ma’lul menjadi qadim. Karena Tuhan qadim, maka alam raya juga harus qadim. Inilah argumen para filsuf yang beranggapan bahwa alam raya sifatnya qadim.

 

Terkait argumen illat ma’lul, sering juga dijadikan sebagai argumen keberadaan Tuhan Yang Maha Esa oleh para ulama kalam mutaakhirin seperti al-Iji, Al-Jurjani, Ar-Razi dan lain sebagainya. Meski demeikian, terdapat perbedaan mendasar antara para ulama kalam dengan para filsuf, yaitu terkait relasi antara illat dengan ma’lul.

 

Bagi ulama kalam, hubungan antara illat dengan ma’lul tidak bersifat aksiomatis. Illat boleh ada tanpa adanya ma’lul. Namun adanya ma’lul, mengharuskan adanya illat. Karena hubungan keduanya tidak aksiomatis, maka mereka tetap dapat mempertahankan argumen alam hadis (baru) meski dengan hujah illat ma’lul itu. Illat tetap wajibul wujud dan ma’lul menjadi mumkinul wujud. Ma’lul wujud dari ketiadaan dan berasal dari kehendak mutlak Tuhan.

 

Ulama kalam konsisten dengan keberadaan illat yang tidak harus ada ma’lul. Ini juga alasan mengapa ulama kalam menolak hubungan sebab akibat. Ini juga alasan ulama Asyari yang juga dirajihkan oleh Muhammadiyah dengan teori al-kasbnya dan bahwa tidak ada hubungan antara al-kasb dengan nilai dan sesuatu yang dihasilkan.

 

Bagaimana dengan Muhammadiyah? Jika kita lihat teks HPT Muhammadiyah di atas, kita melihat bahwa Muhammadiyah menggunakan dalilul hudus yang berimplikasi pada anggapan bahwa alam itu hadis. Alam muncul dari ketiadaan, kemudian wujud atas kehendak Allah, dan kelak akan fana. Apa yang disampaikan oleh Muhamamdiyah seperti yang termuat dalam manhaj tarjih di atas, sekaligus sebagai tanggapan kepada para filsuf yang menganggap bahwa alam itu qadim. Wallahu a’lam.

====================
Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan Pondok Modern Almuflihun, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

2 × two =

*