Thursday, April 25, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Takwil

gfdsjk

Syariat Islam yang berupa teks, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah merupakan sarana untuk mengetahui apa yang diinginkan syariat sebagaimana tertuang dalam berbagai hukum mengenai tema tertentu. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui keadilan Tuhan sebagaimana terkandung dalam makna nash, atau juga dapat diketahui melalui hikmah yang berada di balik nash tersebut, di mana ketika makna nash diterapkan dalam alam realita akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia.

Sesungguhnya syariat sebagai perwujudan dari apa yang diinginkan Allah merupakan sarana untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan manusia. Maslahat tersebut hanya dapat terwujud bila mana hukum syariat dapat dipahami dan diterapkan dengan baik.

Ringkas kata bahwa jika nash berbentuk mufassar, secara makna sudah qâthi’u al-dalâlah, dan sumber dari nash tersebut juga pasti dari Allah[1], maka makna dari nash tadi persis sebagaimana dapat dipahami secara langsung dari apa yang tercantum dalam nash. Hal ini dikarenakan nash tersebut sudah tidak ada kemungkinan memiliki makna lain. Maka dapat dikatakan bahwa makna dari nash tersebut merupakan makna yang diinginkan oleh syariat secara pasti dan yakin. Dengan demikian, tidak ada lahan ijtihad lagi di dalamnya. Apa yang dikehendaki Allah nampak jelas dari makna nash yang sudah qath’iy tersebut. Ijtihad dalam nash qath’iy justru akan mengalihkan nash dari makna yang sesungguhnya kepada makna lain. Dengan kata lain, maka takwil di sini justru dapat mengeluarkan makna nash dari keadilan Tuhan. Karena di antara bentuk keadilan terwujud melalui nash yang sharîh dan qath’iy ini. Para ulama bersepakat (ijmâ’) bahwa hukum memberikan takwil pada nash mufassar adalah haram.

Dari sini para ulama ushul menentapkan satu kaidah yang sangat terkenal, yaitu:

لا اجتهاد في مورد النص المفسر أو القطعي

Artinya: Tidak ada ijtihad dalam nash-nash yang mufassar atau qath’iy.

 

Al-qath’iyât dalam nash-nash syariah sama sekali tidak masuk dalam ruang lingkup takwil. Allah Swt telah menerangkan secara jelas apa yang dimaksudkan oleh nash tersebut. Larangan melakukan ijtihad dalam nash mufassar dan qathiyât memiliki tujuan tertentu sebagaimana berikut:

  1. Nash tersebut berkaitan dengan hakikat kebenaran yang sudah pasti, seperti nash yang berkaitan dengan aqidah.
  2. Atau karena berkaitan dengan maslahat yang sangat mendasar dan tidak dapat mengalami perubahan sesuai dengan ruang dan waktu, seperti pembagian hukum waris dan hukuman bagi para penjahat besar sebagaimana yang sudah tercantum dalam nash.
  3. Atau karena nash tersebut merupakan suatu kaidah yang dapat memberikan gambaran metodologis dalam penetapan hukum, seperti:

الضرر الخاص يتحمل في سبيل ضرر عام

Artinya: Mudarat yang bersifat pribadi, dapat dikorbankan demi menghindari mudarat yang lebih umum.

الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف

Artinya: Mudarat yang lebih besar, dihilangkan dengan mudarat yang lebih ringan.

رفع الحرج

Artinya: Mengangkat kesulitan.

لا ضرر ولا ضرار

Artinya: Janganlah membuat mudarat pada diri sendiri dan pada orang lain.

 

Kaidah-kaidah di atas merupakan standar dan sebagai rumusan global atas beban hukum dalam syariat secara keseluruhan.

  1. Atau nash tersebut sharîh qath’iy karena berkaitan dengan landasan dasar etika.

 

Namun yang terpenting di sini adalah nash-nash qath’iyât yang berkaitan dengan penetapan hukum di luar kaidah-kaidah tasyrî’iyyah dan fiqhiyyah, di mana nash qath’iyât tersebut memberikan abstraksi dalam merumuskan metodologi ijtihad sehingga kesalahan ijtihad dapat dihindari. Kaidah-kaidah tersebut sesungguhnya telah menjadi kesepakatan para ulama.

 

Dari sini sebenarnya takwil -dalam pengertian para ulama ushul- sama sekali tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah sebagai peletak syariah karena telah memalingkan dari makna yang sesungguhnya. Apalagi ketika terjadi benturan dengan nash-nash yang mufassarah atau muhakkamah. Dalam nash-nash di atas, takwil sudah tidak berperan lagi, karena nash-nash tersebut sudah memiliki kejelasan makna dengan sendirinya. Takwil hanya berlaku pada nash-nash yang masih ada kemungkinan memiliki makna lain, yaitu pada nash yang al-zhâhir dan al-nash. Sebagaimana takwil juga akan berfungsi untuk menghilangkan benturan antara satu nash dengan nash yang lain dengan menentukan maksud dari tiap-tiap nash.[2]

[1]Al-Qur’an semuanya qat’iyyutstsubût, karena keberadaannya dari sisi Allah sudah pasti. Sementara Sunnah sebagian adalah qat’iyyutstsubût seperti hadits mutawâtir, dan sebagian lagi zhanniyyutstsubût, seperti hadits ahad dan masyhûr.

[2]Dr. Fathi Addarini, op.cit. hal. 163-166

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

15 + 13 =

*