Tuesday, April 16, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Syaikh al-Azhar; Asyariyah Tidak Mengkafirkan Syiah, Ibadiyah dan Zaidiyah

sheik ali jum'ah

Pagi ini saya membuka buku kumpulan makalah hasil seminar ke-5 para ulama alumni al-Azhar Cairo yang dilaksanakan dari tanggal 8-11 Mei 2011. Tema dari seminar alumni itu adalah, “Imam Abu Hasan al-Asyariy Imam Ahli Sunnah Wal Jamaah; Menuju Islam Moderat Untuk Menangkal Aksi Ekstrimisme.

 

Seminar tersebut dihadiri oleh para Ulama Azhar baik yang berasal dari Mesir maupun luar Mesir. Menurut syaikh al-Azhar Dr. Ahmad Thayib bahwa tujuan diselenggarakannya seminar tersebut ada tiga:

  1. Menyebarkan pemikiran moderat di kalangan umat islam.
  2. Menghormati sikap seimbang dengan menggunakan akal dan naql.
  3. Mencari titik temu antara kelompok Islam dengan melihat pada inti ajaran Islam yang sudah disepakati bersama.

 

Sebenarnya saya sudah membeli buku ini beberapa bulan yang lalu. Hanya saja baru pagi ini sempat membukanya. Buku ini membedah pemikiran Abu Hasan al-Asyari dari berbagai sisi, sejarah kehidupan beliau, ilmu kalam, politik, fikih, ushul fikih, yafsir dan lain sebagainya.

 

 

Saya tertarik dengan ulasan Syaikh Ahmad Tayib dalam mukadimah buku. Beliau memulai dengan pertanyaan sederhana, mengapa dilaksanakan seminar tentang Aabu Hasan al-Asyari? Bukankah beliau hidup ratusan tahun yang lalu? Apakah pemikiran beliau masih layak untuk dikonsumsi kita di zaman ini? Apakah ide reformasi pemikiran  yang ditelurkan oleh Sang Imam masih dapat dijadikan sebagai obat atas berbagai persoalan umat pada masa kini?

 

 

Menurut imam Azhar Dr. Ahmad Thayib bahwa lingkungan kehidupan  Imam Asyari dengan kehidupan kita saat ini banyak kmiripan. Imam Asyari hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang dalam “kekacauan” ideologi.  Umat islam banyak terpecah menjadi berbagai aliran pemikiran. Minimal ada dua kubu ideologi besar (kalam) yang saling bersaing dan keduanya cukup ekatrim, pertama mazhab kalam Hambali yang dianggap terlalu tekstual dan kedua mazhab kalam muktazilah yang terlalu rasional.

 

 

Persoalan menjadi semakin rumit ideologi (kalam) didukung dengan kekuatan politik. Bagi yang berada di pucuk kekuasaan, maka ia akan menghantam kelompok lain yang berbeda ideologi. Saat kalam muktazilah mendapat dukungan dari khalifah Abbasiyah, yaitu pada masa Makmun, Muktashim dan Watsiq, mereka memberangus kelompok lain, terutama kelompok Ahlu Sunnah. Para ulama pengikut Ahlu Sunnah yang tidak mau pindah ideologi ditangkap dan dipenjarakan. Sebagian mereka bahkan ada yang dibunuh. Salah satu ulama yang mendapat siksaan ini adalah Imam Ahmad Bin Hambal.

 

 

Kondisi berbalik di masak khalifah Mutawakil. Ia memberikan dukungan kepada kalam Ahlu Sunnah dan memberangus kalam Muktazilah.  Para ulama yang tidak sependapat dengan ideologi pemerintah dipenjarakan. Jadi yang terjadi seperti balas dendam terhadap ideologi lawan.

 

Dalam kondisi politik seperti ini, Abu Hasn Al-Asyari datang. Sebelumnya ia adalah pengikut kalam muktazilah. Ia paham betul dengan alur pemikiran mereka. Ia melihat bahwa terlalu mendahulukan akal dari nas, akan berakibat cukup fatal. Banyak kelemahan dari bangunan pemikiran kalam muktazilah. ia banyak memberikan kritikan cukup tajam terhadap pemikiran kalam muktazilah. Selain itu, ia juga memberikan kritikan tajam terhadap mereka yang terlalu ekstrim dalam memegang kalam Hambali.

 

Abu Hasan al-Asyari melihat bahwa sikap dua kutup yang saling bertentangan dan bahkan saling mengkafirkan hanya akan berdampak negatif kepada umat Islam secara keseluruhan. Mengkafirkan kelompok lain, tidak hanya berdampak pada sikap saling benci, namun juga penghalalan terhadap darah sesama muslim. Alangkah sedihnya jika antara sesama umat Islam saling berperang hanya karena perbedaan aliran pemikiran.

 

 

Imam Al-Asyari berusaha untuk mendamaikan dua kelompok tadi. Salah satu proyek pemikiran yang beliau lakukan adalah menghilangkan sifat menghakimi sesama muslim dengan label fasik, kafir dan sejenisnya selama mereka masih dalam wilayah ahlul qiblat

 

Dalam bukunya “Maqalatul Islamiyin”, beliau banyak mengkaji aliran kalam lain. Beliau memberikan kritikan tajam atas kelompok yang berbeda. Menariknya, beliau tidak menghukumi kafir bagi mereka yang berbeda pendapat kalam dengan beliau. Menurut Dr. Ahmad Thayib bahwa menjelang wafatnya beliau sempat berkata, “Saksikanlah bahwa aku tidak pernah mengkafirkam kelompok lain”.

 

 

Umat Islam saat ini terpecah belah menjadi banyak aliran. Sayangnya antara kelompok Islam mudah sekali mengkafirkan kelompok lain yang berbeda aliran. Banyak darah yang tertumpah gara-gara perbedaan pandangan terseut.

 

Kondisi ini jelas merugikan umat Islam. Umat tercabik-cabik. Padahal sesungguhnya ada titik temu antara mereka, yaitu masih sama-sama ahlul Qiblat. Mazhab kalam Asyari menurut Imam Akbar tidak pernah memberikan label kafir kepada kelompok lain yang berbeda, termasuk kepada kelomok Syiah dua belas, Ibadiyah (khawarij), Syiah Zaidiyah dan kelompok lainnya. Meurut Imam Akbar bahwa semua keompok Islam itu masih ahlul qiblah. Jika sikap toleransi kepada sesama kelompok Islam itu bisa terbina, maka perseteruan antar kelompok Islam bisa dihindari.

 

Al-Azhar sebagai bentang Ahlu Sunnah dengan mazhab Asyariyah mempunyai tanggungjawab moral untuk mengembalikan pandangan Islam yang moderat. Al-Azhar tetap akan konsisten dengan madzhab Asyarinya karena ia dianggap sebagai solusi alternatif terhadap persoalan perpecahan umat yang kian memburuk. Pertanyaannya, jika mazhab kama asyari sangat toleran hingga tidak mudah memberikan label kafir kepada aliran Islam yang masih ahlul qiblah, apakah aliran Islam lain juga akan bersikap sama terhadap paham kalam Asyari? Wallahu alam

 

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

three × 2 =

*