Thursday, April 25, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Sumber dan Alat Pengetahuan: Akal

akal (1)Kaum Rasionalis, selain alam tabi’at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yang berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada. 22

Islam sendiri sangat menghormati akal, bahkan dalam banyak ayat sering timbul pertanyakan “Apakah kamu tidak berakal”?. Dengan akal, manusia dapat merenungi alam semesta dan mencarikan solusi terhadap problematika yang sedang dihadapinya. Akal juga dapat mengantarkan manusia pada pengetahuan ketuhana, bahwa alam tidak datang secara kebetulan. (QS. al-Qoshos :71-72, QS. al-Dzâriyât: 21)

Namun demikian Islam tidak mentuhankan akal, artinya bahwa segala sesuatu dapat di pecahkan lewat akal. Karena bagaimanapun juga, akal manusia juga memiliki sisi-sisi kelemahan. Akal manusia tidak dapat menjangkau sesuatu yang berada diluar rasional seperti al ghoibiyah.

 

Aktivitas-aktiviras Akal23

 

Selain itu, akal juga memiliki aktivitas tertentu. Akal tidak jumûd yang hanya menerima apa adanya tanpa mengeluarkan reaksi. Sebagai suatu proses pengetahuan, akal akan selalu beraktivitas dan mengolah pengetahuan sesuai dengan kemampuan akal itu sendiri. Diantara aktivits akal adalah:

1.   Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general. Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif.

2.   Mengetahui konsep-konsep yang general. Ada dua teori yang menjelaskan aktivitas akal ini, pertama, teori yang mengatakan bahwa akal terlebih dahulu menghilangkan ciri-ciri yang khas dari beberapa person dan membiarkan titik-titik kesamaan mereka. Teori ini disebut dengan teori tajrîd dan intiza’. Kedua, teori yang mangatakan bahwa pengetahuan akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra dengan materi, perekaman benak, dan generalisasi.

3.   Pengelompokan Wujud. Akal mempunyai kemampuan mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, dan ke dalam aksdensi (yang sembilan macam).

4.   Pemilahan dan Penguraian.

5.   Penggabungan dan Penyusunan.

6.   Kreativitas.

Demikianlah aktivitas akal manusia. tentu saja, kemampuan aktivitas akal antara satu indivisu dengan individu lainya berbeda-beda tergantung dari kemampuan akal itu sendiri. Dengan ini pula pengetahuan dapat berkembang.

 

a.   Qiyâs (analogi) sebagai wujud mencari kebenaran melalui logika

 

Al-Qur’ân dan al-sunnah adalah dua teks yang terbatas, sementara problematika umat Islam tidak terbatas. Untuk itu para ulama Islam mencari solusi lain untuk dapat memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat setempat. Tentu saja dengan tetap berlandaskan pada dua teks tersebut. Dari sini para ulama dituntut untuk meletakkan landasan teoritis yang dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum. Maka peran akal atau ilmu logika menjadi sangat urgen. Muncullah apa yang kemudian disebut sebagai qiyâs (analogi). Analogi ialah menetapkan hukum (baca; predikat) atas sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu

Disini akan di bahas mengenai qiyas menurut ulama usul fiqh dan ulama kalam. Sengaja dibedakan antara keduanya karena dalam pemahasan ini ulama kalam memberikan beberapa tambahan yang tidak disepakati oleh ulama usul. Demikian juga sebaliknya, ulama usul memberikan tambahan yang tidak dipakai oleh ulama kalam.

 

1.   Qiyâs ushulî 

 

Sebelum masa al-Ghozâlى, para ulama kalam dan sebagian ulama usul menganggap bahwa qiyâs ushulî dapat mengantarkan ulama pada kebenaran. Qiyâs sendiri dilakukan melalui penelitian yang sangat mendalam dan menggunakan dua landasan penting, yaitu hukum illiyah, dan hukum ithrod.

Hukum illiyah adalah hukum kausalitas, dalam artian setiap sesuatu yang ma’lûl (musabab), pasti ada illahnya (sebab). Untuk mengetahui hukum kausalitas dapat kita saksikan melalui fenomena alam fisik. Contoh bahwa illah diharamkannya khomer karena memabukkan. Dengan demikian setiap sesuatu yang memabukkab hukumnya haram.

Sedangkan hukum ithrod adalah bahwa kejadian alam berjalan dalam satu kepastian hukum alam, artinya observasi pada suatu obyek dapat mencapai hasil tetap  atau menemukan hukum alam. Contoh: bumi berputar mengelilingi matahari atau bumi berputar pada porosnya. Peristiwa alam seperti ini sejak dulu hingga sekarang selalu berjalan tanpa adanya perubahan.24 Sebabnya adalah bahwa setiap kejadian alam sudah tersusun rapi dan teratur (nature is uniform). Dari sini timbul kesimpulan bahwa jika terjadi peristiwa alam dikarenakan oleh sebab-sebab tertentu, kemudian terjadi dalam peristiwa lain yang mempunyai penyebab sama maka akan menimbulkan nilai yang sama pula.

Mengenai Qiyâs, para ulama usul terbagi menjadi dua:

1.   Mereka yang berpendapat bahwa qiyâs dianggap sah bila terdapat sebagian kesamaan, artinya jika terdapat sifat-sifat ‘irdliyah pada dua bagian; asal dan cabang, maka kita menganggapnya telah memiliki sifat-sifat kesamaan. Qiâs seperti ini disebut sebagai qiyâs dlonni dan tidak dapat dijadikan sandaran dalam metodologi research.

2.   Mereka yang berpendapat bahwa qiyâs dapat dianggap sah jika terdapat illah yang sama antara asal dengan cabang. Qiyâs ini dianggap telah memenuhi standar ilmiah karena bertumpu pada hukum illiyah (the law of universal causation) dan ithrod (law of univormity of nature). Untuk itulah para ulama juga meletakkan landasan hukum yang dapat mengetahui kebenaran illah atau ithrod.

Qiyâs seperti ini tersusun dari beberapa unsur;

(1) asal, yaitu kasus parsial yang telah diketahui hukumnya.

(2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya,

(3) titik kesamaan antara asal dan cabang (illah)

(4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal.25

 

2.   Qiyâs al ghoib alâ al syâhid

 

Para ulama kalam kususnya dari kalangan asy’âriyah menggunakan Qiyâs al ghoib alâ al syâhid untuk menentukan kebenaran atas obyek yang belum jelas (majhul). Jika qiyâs usulî menganalogikan cabang karena mempunyai kesamaan illah dengan asal, maka qiyâs al ghoib alâ al syahid sebalikknya, menganalogikan asal dengan cabang karena dianggap memiliki kesamaan illah. Selain illah, para ulama usul menambahkan kesamaan lain seperti syarat, dalîl, had, hakekat.

Contoh kesamaan illah menurut ulama usul: jika dalam alam fisik kepandaian seseorang karena memiliki pengetahuan, maka hal ini juga berlaku pada alam ghoib. Hal ini dikarenaka adanya kesamaa illah sehingga memiliki nilai sama. Dengan artian bahwa sifat tertentu pada suat benda mengharuskan adanya mausuf.

Contoh kesamaan syarat menurut ulama usul: dalam alam fisik bahwa orang yang mempunyai sifat pandai disyaratkan harus hidup. Dan hal ini juga berlaku pada yang ghoib.

Contoh kesamaan dalil (bukti) menurut ulama usul: dalam alam fisik bahwa orang yang mempu membuat sesuatu membuktikan bahwa dia mempunyai sifat kemampuan (qudrah), demikian halnya dengan yang ghoib.

Contoh kesamaan had atau hakekat menurut ulama usul: jika dalam alam fisik seseorang dikatakan pandai karena memiliki pengetahuan, maka hal ini juga berlaku pada alam ghoib. Namun para ulama kalam berbeda pendapat mengenai had dan hakekat, apakah keduanya hanya perbedaan terminilogi namun mempunyai definisi yang sama, atau keduanya memiliki sefinisi sendiri- sendiri?

Qiyâs al ghoib alâ al syâhid sebagaimana yang digunakan para ulama kalam mendapatkan banyak kritikan. Pertama, kesamaan hakekat dianggap batil karena pengetahuan al hâdits (baru) berbeda dengan pengetahuan al qodim (lama). Bagaimana kita menganalogikan sesuatu yang jelas memiliki perberbedaan? Kedua, bahwa qiyâs seperti ini hanya akan menghasilkan nilai yang bersifat dlonî (meragukan) dan bukan qoth’î (yakin).

Inilah satu diantara landasan teoritis yang diletakkan para ulam usul dan ulama kalam dalam upaya mencari kebenaran. Meskipun terdapat banyak kritik terutama dari kalangan ulama muta’ahhirîn, namun setidaknya menunjukkan kepiaaian ulama Islam dalam menentukan hukum yang tidak terdapat dalam al Qur’ân maupun al sunnah.25

 

 

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

twelve + four =

*