Friday, April 19, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Sandaran Sadd al-Dzarî`ah

fgsgfSadd ad-Dzariah menggunakan hujah al-Quran, Sunnah dan jufa ijmak ulama. 

1.      Al-Quran

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah:104)

 

Wajhu al-dilâlah:

 

Orang-orang Yahudi menggunakan lafal رَاعِنَا  untuk mencela atau mengumpat Rasulullah Saw.. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin untuk mengucapkan lafal ini agar dapat terhindar dari ungkapan yang kiranya dapat mencela RasulullahSaw.. Larangan menggunakan sarana tersebut adalah sadd al-dzarî`ah. [1]

 

وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُون

 

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An`âm:108)[2]

 

Wajhu al-dilâlah:

 

Allah melarang orang-orang mukmin mengumpat sembahan orang-orang musyrikin, padahal mengumpat Tuhan mereka merupakan bentuk dari upaya untuk meninggikan Allah dan merendahkan keyakinan mereka. Hal ini untuk menghindari agar kaum musyrikin tidak membalas dengan mengumpat Allah Swt.. Ini merupakan bukti bahwa sarana yang sesungguhnya dibolehkan, menjadi terlarang jika dapat berakibat pada munculnya perkara yang diharamkan.

 

  1. 2.      Sunnah
    1. Nabi Muhammad Saw. tidak membunuh orang-orang munafik meski keberadaan mereka sangat nampak dan cukup membahayakan dalam masyarakat Madinah. Bahkan mereka menjadi sumber fitnah di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini untuk menutup kemungkinan agar tidak dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. membunuh sahabatnya sendiri yang kemudian dapat dijadikan sebagai sarana bagi orang-orang kafir untuk memfitnah Rasul. Selain itu, juga dapat menguatkan posisi mereka; mengajak orang lain untuk tidak mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw..
    2. Nabi Muhammad Saw. melarang orang yang meminjamkan barang, menerima hadiah dari orang yang dipinjami sebagai upaya untuk menutup kemungkinan terjadi perbuatan riba dengan justifikasi hadiah.
    3. Rasulullah Saw. tidak memotong tangan pencuri pada waktu perang supaya dia tidak bergabung kepada golongan kaum musyrikin.[3]

 

  1. 3.      Ijmak Sahabat

 

Para sahabat bersepakat mengenai pembukuan mushaf al-Quran meski Rasulullah Saw. sendiri tidak pernah melakukannya. Pembukuan mushaf merupakan upaya untuk menjaga agar syariah Islam tidak hilang, selain juga untuk menghindari terjadinya perbedaan kaum muslimin dalam kitab sucinya sendiri. Perbedaan yang menjurus pada perpecahan dilarang oleh syariah. Maka melaksanakan sesuatu yang dapat menutup kemungkinan terjadinya perpecahan menjadi wajib.

 

4. Kajian Induktif

 

Para ulama ketika mengkaji nas-nas syariah melihat bahwa syariah selalu menutup segala sesuatu yang kiranya dapat menjurus pada tindak kerusakan. Dari sini mereka mengambil kesimpulan, bahwa segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sarana menuju perbuatan yang dilarang maka hukumnya haram. Kesimpulan ini diambil setelah mereka mengadakan kajian induktif terhadap nas-nas al-Quran atau Hadis. Bahkan mereka menganggap bahwa untuk mengetahui larangan pada sarana yang dapat mengantarkan pada perbuatan haram tersebut tidak perlu menggunakan qiyâs atau lainnya.[4]

 

 



[1] Ibid.

[2] Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 22.

[3] Imam Abu Zahrah, op. cit., hal. 260 et seq.

[4]Eli Warti Maliki, op. cit., hal. 26. Lihat juga, Prof. Dr. Zainul `Abidin al-Abdi Muhammad Nur, Ra’yu’l Ushûliyyîn fi’l Mashâlihi’l Murslah wa’l Istihsân min Haitsu’l Hujjiyyah, Dâru’l Buhûts li al-Dirâsât al-Islâmiyyah wa Ihyâ’i al-turâts, vol. II, Dubai, 2004. hal. 323 et eqq.

 

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

three + 15 =

*