Thursday, April 18, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Pengertian Turâts dan Pembaharuan; Perspektif Hasan Hanafi (II)

ik

Turâts merupakan segala sesuatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam peradaban yang dominan, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus masalah penerima yang hadir dalam berbagai tingkatan Sementara pembaharuan merupakan penafsiran ulang atas tradisi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang baru. Turâts merupakan pijakan awal sebagai upaya pembaharuan dengan merubah tatanan sosial menuju kemodernan. Karena turâts merupakan bagian identitas suatu bangsa, maka ia menjadi tanggung jawab nasional.[1] Meski demikian, bukan berarti bahwa seluruh identitas umat berada dalam turâts. Identitas juga terkait dengan kemodernan. Menurut Hasan Hanafî, jika insan muslim hanya terpaku pada turâts, berarti ia menjadi manusia tertutup yang hanya memiliki identitas semu.[2]

 

Hasan Hanafî juga memberkan kritikan terhadap mereka yang selalu taklid kepada generasi salaf. Menurutnya, taklid merupakan pengingkaran terhadap peran akal dalam kehidupan. Bahkan taklid merupakan fenomena dari keterbelakangan. Generasi awal Islam adalah generasi terbaik. Mereka mampu membawa umat Islam pada titik kemajuan. Meski demikian, mereka adalah orang yang sangat menentang taklid.[3]

 

Tidak ada modernitas tanpa orisinalitas. Modernitas yang lepas dari nilai dan norma masa lalu berarti melepas identitas sendiri dan menukarnya dengan identitas yang lain. Turâts merupakan sarana dan modernitas merupakan tujuan. Turâts dapat dijadikan alat bantu untuk mencari solusi alternatif terhadap berbagai probematika yang sedang dihadapi umat Islam. Turâts dapat ikut andil menghapus segala sesuatu yang dapat menghambat kemajuan. Turâts tidak memiliki arti berharga jika dibiarkan mati dalam sejarah, namun ia akan hidup dan dapat menjadi spirit pembaharuan jika  disikapi secara kritis. Dengan demikian, ia dapat menjadi sarana untuk merubah manusia sebagai subyek pembaharuan.

 

Merubah pandangan hidup manusia merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam pembaharuan. Kegagalan pembaharuan di negara-negara ketiga dalam berbagai sektor kehidupan; perindustrian, pertanian dan lain sebagainya berangkat dari kegagalan mereka dalam membangun sumber daya manusia. Revolusi industri hanya akan berhasil jika didahului dengan revolusi kemanusiaan terlebih dahulu. Dan revolusi kemanusiaan dapat berangkat dari dalam; dari identits suatu bangsa yang tercermin melalui turâts masa lalu.[4]

 

Tidak ada turâts yang keluar dari lingkup sosial dan sejarah. Turâts selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi sosial politik tertentu dan pada waktu tertentu. Turâts tumbuh sebagai kelanjutan terhadap turâts sebelumnya. Turâts merupakan ekspresi pemikiran dalam kurun waktu tertentu. Turâts bukanlah hadiah yang turun dari langit, namun ia berjalan seiring dengan perjalanan sejarah dan terbentuk dalam ruang lingkup sejarah. Turâts menuliskan berbagai peristiwa dalam realitas sosial kemasyarakatan.[5]

 

Turâts sendiri dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu turâts secara materi dan turâts non materi. Turâts materi berupa peninggalan masa lalu, seperti kitab dan manuskrip yang terdapat di berbagai perpustakaan Islam yang tersebar di seluruh dunia. Turâts seperti ini belakangan mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pemikir Islam kontemporer. Banyak upaya untuk mengadakan revitalisasi turâts Islam dengan mencetak ulang buku peninggalan masa lalu tersebut, baik dilakukan tahqîq terlebih dahulu atau tidak. Revitalisasi kitab turâts juga nampak dalam berbagai seminar yang selalu mengangkat pemikiran dan wacana turâts klasik Islam, pengiriman delegasi ke berbagai perpustakaan internasional untuk kembali mengumpulkan turâts klasik untuk kemudian diadakan kajian dan disebarluaskan dalam berbagai jurnal keislaman.

 

Hanya saja, menurut Hasan Hanafî, revitalisasi turâts tidak hanya melakukan pencetakan ulang terhadap manuskrip masa lalu sesuai dengan tren masyarakat. Beliau sangat menyayangkan jika revitalisasi turâts terkesan “bisnis intelektual”. Jika maysarakat sedang tertarik dengan wacana tasawuf, maka yang dicetak dan disebarluaskan adalah berbagai buku seputar tasawuf. Jika masyarakat sedang mengimpikan terwujudnya tatanan negara ideal, maka yang diterbitkan adalah buku “daulah al-fâdhilah” karya al-Farabiy. Dan jika muncul wacana mengenai kemuduran umat yang disebabkan karena umat Islam jauh dari al-Qur’an dan Sunnah, maka diadakan pencetakan Mushaf dan kitab-kitab Hadis. Di sini revitalisasi turâts belum sampai pada misi dan visi yang diharapkan. Revitalisasi turâts baru sebatas pada upaya-upaya menghidupkan turâts sesuai dengan kebutuhan pasar. Jika demikian, maka kemodernan sebagaimana yang dicita-citakan masyarakan sulit tercapai.

 

Kerdua: turâts sebagai peninggalan sejarah yang berupa gambaran realita masa lalu. Maksudnya adalah bahwa berbagai buku dan manuskrip tersebut tidak datang dari ruang hampa. Turâts juga tidak independen lepas dari alam realita. Bahkan ia merupakan abstraksi terhadap kondisi sosio-kultural yang berkembng dalam sejarah masa lalu. Realitas itulah yang sesungguhnya sangat menentukan atas eksistensi turâts. Spirit generasi terdahulu, baik dari fase pembentukan peradaban, perkembangan maupun kemunduran dan kehancuran suatu peradaban dapat dilihat dari turâts yang ditinggalkan. Turâts masa lalu sesungguhnya adalah jawaban terhadap berbagai problematika yang sedang dihadapinya. Variasi fenomena realita berakibat pada variasi nilai turâts. Dengan demikian, turâts bukan kumpulan analisa dan abstraksi masa lalu yang statis, namun ia merupakan kumpulan dari berbagai wacana analisa dalam sosio-kultur dan sosio-historis tertentu. Perbedaan manusia dalam memandang realita kehidupan juga berimplikasi terhadap variasi turâts yang ditinggalkan.[6]

 

Dari sini maka turâts adalah wacana psikologis dalalam masyarakat. Nilai psikologis inilah yang sesungguhnya membentuk identitas suatu bangsa. Jika turâts adalah sebuah peninggalan masa lalu, maka nilai psikologi merupakan ruh yang diwariskan generasi terdahulu yang masih hidup dan berkembang dalam tatanan masyarakat Islam.

 

Jika peradaban lain berawal dari realitas yang kemudian membentuk suatu pemikiran, maka sesungguhnya nilai dan norma masa lalu adalah bagian dari realitas kehidupan umat. Hanya sayangnya, menurut Hasan Hanafi, banyak hal negatif yang berkaitan dengan sikap psikis umat, namun kemudian menjadikan agama sebagai jusifikasi. Hasan Hanafi memberikan beberapa contoh, seperti masyarakat Arab yang tunduk dan cenderung menyetujui kepemimpinan dengan cara pengangkatan oleh pemimpin sebelumnya, kemudian sebagai pembenaran menyandarkannya dengan nash al-Qur’an atau Sunnah, atau mengenai keterbelakangan umat dengan justifikasi qadha dan qadar, dan demikian seterusnya. Sikap negatif seperti ini diterima masyarakat secara turun-temurun tanpa ada sikap kritis, yang berakibat buruk dalam tatanan masyarakat Islam. Dengan kata lain, bahwa meski umat Islam saat ini hidup di abad XXI, namun secara psikologi sesungguhnya masih terbelakang dan hidup pada abad Islam klasik. Umat Islam masih terpengaruh dengan dualisme pemikiran dalam memandang dunia sebagaimana diwariskan oleh al-Kindi, percaya terhadap sistem Pyiramida dalam mengelompokkan status sosial masyarakat sebagaimana diwariskan oleh al-Farabi, serta bersikap pasrah terhadap takdir Tuhan sebagaimana diwariskan oleh para tokoh sufi.

 

Dari sini sesungguhnya eksistensi turâts masih ada dalam tatanan masyarakat Islam. Turâts masih mempengaruhi cara pandang mereka terhadap hidup dan kehidupan. Melihat kenyataan seperti ini, pembaharuan turâts menjadi suatu keniscayaan. Pembaharuan yang berangkat dari peninggalan tradisi masa lalu, namun kemudian menyesuaikan dengan konteks kemodernan. Revitalisasi turâts bukanlah pembelaan terhadap masa lalu, namun sesungguhnya menyikapi secara kritis terhadap realita masyarakat. Pembaharuan berarti memanfaatkan energi yang terpendam dalam masyarakat serta mengoptimalkan untuk merubah suatu tatanan baru yang lebih sesuai dengan realitas kontemporer. Revitalisasi turâts akan menghalau segala sesuatu yang dapat menghambat perkembangan dan kemajuan dalam masyarakat. Pembaharuan berarti merubah kebodohan dan kepercayaan umat terhadap tahayul, menjadi masyarakat yang rasional, menghilangkan taklid buta kepada sikap kritis.

 

Turâts dan pembaharuan megekspresikan sikap yang sudah selayaknya dilakukan. Masa lalu dan masa kini adalah dua komponen yang ada dalam psikologi sosial umat dalam menyikapi realitas sejarah masa lalu dan realitas kehidupan kontemporer. Mengadakan kajian kritis terhadap turâts berarti juga mengkaji pemikiran kita untuk menghadapi realitas kontemporer. Dengan kata lain, bahwa turâts dan pembaharuan menjadi suatu ilmu baru sebagai sebuah identitas untuk mengembangkan umat dalam menghadapi masa depan agar sesuai dengan harapan. Dengan berangkat dari turâts, maka umat tidak akan kehilangan identitas sebagai seorang muslim.[7]

 

Turâts dan pembaharuan juga sebagai wujud kritis tarhadap masa lalu.   Turâts dan pembaharuan tidak akan menutup diri, namun akan selalu terbuka dalam menghadapi berbagai wacana pemikiran Islam klasik, yang berarti memungkinkan untuk menerima  berbagai ide yang dahulu ditolak. Dengan kata lain, kebutuhan realitas kontemporerlah yang sangat menentukan pemilahan turâts terdahulu. Jika sebelumnya teologi Asy’âriyah yang cenderung menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan, maka bisa jadi saat ini kita mengambil teologi Muktazilah yang lebih banyak memberikan porsi terhadap peran manusia di muka bumi. Segala kemungkinan tersebut bukanlah hal mustahil dalam proyek turâts dan pembaharuan. Peradaban Islam klasik adalah peradaban yang memiliki berbagai wacana pemikiran yang sangat beragam yang dapat dimanfaatkan umat dalam mencari solusi alternatif.[8]

 

Secara singkat turâts dan pembaharuan dapat dilakukan meliputi tiga tataran, yatu:

  1. Menganalisa latar belakang pembentukan dan perjalanan turâts dari segi sosio-kultural dalam suatu peradaban.
  2. Menganalisa struktur psikologi masyarakat dan mengkaji lebih mendalam mengenai pengaruh peninggalan masa lalu dalam realitas kehidupan mereka.
  3. Menganalisa realitas sosial masyarakat yang melingkupi pembentukan turâts.

 

Penerapan tiga hal di atas, berarti mengadakan sebuah peralihan kajian dari analisa sosial menjadi analisa terhadap tingkah laku masyarakat. Artinya perpindahan analisa dari ilmu antropologi menuju ilmu psikologi sosial dalam masyarakat yang dapat diarahkan pada revolusi sosial dan politik.[9]

 

Dalam memandang turâts dan pembaharuan, terdapat tiga aliran besar. Hanya saja menurut Hasan Hanafî, ketiganya masih menyisakan banyak masalah. Solusi alternatif yang ditawarkan belum mampu membangkitkan umat dari keterpurukan. Tiga aliran tersebut adalah:

  1. Mereka yang hanya merasa cukup dengan turâts klasik. Kelompok ini cenderung membanggakan warisan masa lalu dan menganggap bahwa masa lalu adalah gambaran masa depan. Bagi mereka, generasi awal Islam adalah generasi terbaik, sehingga untuk sampai pada kemodernan, alernatif utama adalah kembali mengikuti langkah-langkah para pendahulu. Hanya kelemahan golongan ini adalah terlalu menyakralkan turâts tanpa ada sikap kritis terhadapnya. Mereka terjebak pada impian generasi awal, sementara lupa bahwa realitas sosial masyarakat Islam telah berubah
  2. Mereka yang berusaha memutuskan peradaban Islam dari realitas sejarah. Bagi golongan ini, umat Islam akan maju jika dapat melepas belenggu turâts. Kembali pada turâts berarti kembali ke masa lalu dan melanggengkan umat pada keterbelakangan. Bagi Hasan Hanafî, golongan seperti ini juga akan menimbulkan banyak masalah. Baginya, tidak ada bangsa yang dapat lepas dari tradisi masa lalu. Turâts merupakan identitas, dan melepas turâts berarti melepas identitas suatu bangsa.
  3. Mereka yang berusaha mengambil turâts klasik yang masih sesuai dengan konteks kekinian, serta menjadikan realitas kontemporer sebagai timbangan. Golongan ini berusaha menyingkronkan antara turâts klasik dan realitas kontemporer. Hanya dalam kenyataannya tidak sesuai dengan idealisme.

 

Pembaharuan model ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pembaharuan dari luar dan pembaharuan dari dalam. Pembaharuan dari luar adalah menjadikan nilai kemodernan yang berasal dari luar sebagai timbangan. Sementara pembaharuan dari dalam adalah menampakkan berbagai kemajuan yang diperoleh umat Islam klasik sebagai timbangan komodernan. Menurut Hasan Hanafi bahwa keduanya memiliki nilai negatif. Mereka yang menjadikan nilai luar biasanya akan menganggap bahwa budaya Timur klasik banyak terpengaruhi budaya luar. Dari sini mereka cenderung meletakkan Timur sebagai bagian dari Barat. Sementara pembaharuan dari dalam lebih memperlihatkan kemajuan peradaba Islam klasik, baik dari segi rasionalitas, sistem ekonomi, sistem musyawarah dan lain sebagainya. Pandangan kedua golongan tersebut masih sangat parsial dan tidak menyeluruh.

 

Bagi Hasan Hanafi, turâts adalah pandangan kita terhadap realitas sosial masyarakat, sementara pembaharuan adalah reinterpretasi terhadap turâts sehingga dapat diketahui mengenai elemen-elemen penting dalam realitas masyarakat kontemporer agar dapat dilakukan perubahan. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara sekaligus, baik dengan melihat turâts terlebih dahulu sebagai upaya memahami realitas kontemporer atau memahami realitas kontemporer terlebih dahulu baru kembali kepada turâts. Keduanya akan menghasilkan konklusi yang sama.[10]



[1] Dr. Hasan Hanafî, Al-Turâts, wa al-Tajdîd Mauqifunâ mi al-Turâts al-Qadîm, Al-Mu’assasah al-Jâmi’iyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, cet V, 2002, hal. 13.

[2] Dr. Hasan Hanafî, Humûm al-Fikri wa al-Wathan al-Turâts wa al-Ashru wa al-Hadâtsah, vol. I, Dâr Qabâ’ li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Kairo, 1998, hal. 344.

[3] Dr. Hasan Hanafî, Min al-Aqîdah ilâ al-Tsaurah, op. cit., hal. 26.

[4] Dr. Hasan Hanafî, Al-Turâts, wa al-Tajdîd Mauqifunâ mi al-Turâts al-Qadîm, op. cit., hal. 13

[5] Dr. Hasan Hanafî, Humûm al-Fikri wa al-Wathan al-Turâts wa al-Ashru wa al-Hadâtsah, op. cit., 344

[6] Dr. Hasan Hanafî, Al-Turâts, wa al-Tajdîd Mauqifunâ mi al-Turâts al-Qadîm, op. cit., hal. 15. Lihat juga, Dr. Hasan Hanafî, ibid, hal. 344.

[7] Ibid, hal. 20.

[8] Ibid., hal. 21-22.

[9] Ibid., hal. 26.

[10] Ibid., hal. 34.

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

ten − two =

*