Friday, April 19, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Pemimpin Wanita; Perspektif Ulama Timur Tengah

Megawati_Sukarnoputri_in_hijab_(cropped)Naiknya Megawati Sukarno Putri sebagai presiden RI menggantikan K.H. Abdurrahman Wahid menimbulkan banyak polemik, tidak hanya dalam skala lokal namun juga internasional. Para ulama Islam kembali mempertanyakan keabsahan presiden wanita menurut hukum Islam. Panglima laskar jihad Ja’far Umar Thalib dalam home page Laskar Jihad mengatakan bahwa ia tetap konsisten dengan keyakinannya atas larangan presiden wanita.

 

Sedangkan Dr. Hidayat Nur Wahid ketika diwawancarai radio BBC mengenai sikap Hamzah Haz atas terpilihnya Mega mengatakan, “Disana ada qoul qodim (yang mengharamkan larangan pemimpin wanita) dan qoul jadid (yang membolehkan pemimpin wanita)”. Perlu diketahui bahwa sebelumnya Hamzah Haz tergolong orang yang mengharamkan pemimpin wanita.

 

Sebenarnya ini bukanlah persoalan baru bagi umat Islam, sebagaimana Mega juga bukan pemimpin wanita pertama di duna Islam, namun mengingat Indonesia sebagai negeri muslim terbesar, seakan membangunkan para ulama untuk kembali membahas persoalan ini. Di sejumlah negeri muslim, wanita pernah menjadi kepala negara (Benazir Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh).

Sampai saat ini para ulama berselisih pendapat, sebagian mengharamkan dan sebagian lain membolehkan dengan syarat tertentu.

 

Boleh Dengan Syarat

 

Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Grand Syeikh Universitas al-Azhar, ketika menjawab pertanyaan wartawan pada kunjungannya ke Indonesia tahun 1999 mengatakan, “Islam tidak mengharamkan presiden wanita, meskipun Islam lebih mengutamakan laki-laki dibanding wanita”. Menurutnya, negara dipimpin oleh seorang laki-laki atau wanita itu tidak menjadi persoalan, yang terpenting adalah akhlak mulia, keimanan dan perhatian atas kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Sedangkan Dr. Abdul Mukti Bayumi, dekan fakultas ushuluddin Al Azhar mengtakan, ”Jika kelak Megawati memimpin negara secara absolut dengan pengambilan keputusan negara secara sepihak sebagaimana Buran putri kaisar Persia maka kepemimpinannya haram hukumnya. Dengan demikaian ia dapat di golongkan pada hadits Rasul saw:

 

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

 

Artinya: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita” (HR. Bukhari)”.

 

Adapun jika ia memerintah dengan sistem musyawarah dalam hal ini terdapat pembagian tugas antara MPR sebagai badan legeslatif, Presiden sebagai badan eksekutif dan Mahkamah Agung sebagai badan yudikatif, maka kepemimpinannya sah-sah saja. Presiden adalah bagian dari lembaga kenegaraan sehingga dapat terhindar dari kepemimpinan diktator. Dengan demikian ia tidak termasuk kedalam hadits Rasul di atas. Bentuk pemerintahan seperti ini tidak terdapat dalam sistem kekaisaran Persia. Berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia dimana MPR dapat menurunkan presiden Abdulrahman Wahid yang selanjutnya diganti dengan wakilnya Megawati Sukarno Putri. Dengan demikian presiden bukanlah satu-satunya lembaga yang mempunyai hak untuk membuat keputusan. Al-Quran sendiri mencantumkan kisah ratu Balqis karena ia menggunakan sistem musyawarah. Firman Allah:

 

قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّىٰ تَشْهَدُونِ ()قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ

 

Artinya:  ”Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku  (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).” Mereka menjawab, ”Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kau perintahkan”. (QS. An Naml: 32-33).

 

Maksudnya adalah bahwa ratu Balqis tidak akan memberikan suatu perintah sebelum bermusyawarah serta mendapat persetujuan dari mereka. Kitapun siap merealisasikan hadits sesuai dengan peristiwa turunnya hadits (asbabul wurud), karena i’tibar terletak pada keumuman lafadz bukan pada kekhususan sebab turunnya lafadz (al-ibrah bi umumil lafdhzi la bi khususi as-sabab). Jika sebab turunnya hadits nabi di atas adalah  peristiwa Buran putri kaisar Persia, maka hadits nabi layak direalisasikan pada peristiwa yang mirip seperti itu. Dan jika kondisinya lain maka hukumnyapun akan lain juga.

 

Menurut Dr. Yusuf Qardawi bahwa kaum muslimin dilarang mengangkat wanita sebagai imam al-udzma (khalifatul mukminin) sebagaimana ijma’ ulama yang mereka pahami dari hadits Rasul Saw.:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

 

Artinya: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita” (HR. Bukhari).

 

Hanya saja menurut beliau sejak khilafah Islamiyah digugurkan oleh Musthafa Kamal tahun 1924 umat Islam tidak memiliki khalifah. Negara-negara Islam saat ini tidak dapat disamakan dengan khalifah, namun lebih layak disetarakan dengan propinsi. Dalam masyarakat demokrasi, seorang pemimpin tidak memiliki kekuasaan mutlak. Presiden adalah satu dari sekian lembaga pemerintah sehingga  wanita sebagai presiden hanya bagian dari mereka saja. Ia hanyalah wakil dari partai,  jika partai menghendaki  turun ia harus turun.

 

Dr. Abdul Mahdi Abdul Qadir dosen hadits  Kairo melihat ada dua aliran penafsiran atas hadits shahih yang diriwayatkan imam Bukhari di atas. Aliran pertama memandang hadits secara tekstual (dzahiri) dimana perempuan tidak sah memimpin negara. Dalam hal ini imam Ali bin Abi Thalib berkata, ”Jika saja perempuan boleh menjadi seorang khalifah tentu Aisyah sudan menjadi khalifah”.  Aliran ini bersandar pada firman Alah:

 

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

 

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka ((laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…”(QS. An Nisaa’: 34).

 

Juga firman Allah,

 

وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى

 

Artinya: ”…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang laki-laki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya…( QS. Al Baqarah:282) 

 

Dua ayat di atas menunjukkan kelemahan seorang perempuan, bahwa perempuan itu lebih rendah dari laki-laki. Dalam hukum fiqih dikatakan, ”Tidak boleh seorang perempuan menjadi imam shalat laki-laki”. Inipun dapat dijadikan argumen perempuan dilarang menjadi imamah al udzma (khalifah).

 

Aliran yang kedua menganggap hadits di atas turun pada kejadia tertentu. Ketika Rasul Saw. mengatakan pada bangsa Persi:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

 

Artinya: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita” (HR. Bukhari)”,

 

Hadis ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan hukum larangan kepemimpinan wanita.

 

Namun Dr. Abdul Mahdi memilih aliran pertama. Menurutnya argumentasi aliran pertama lebih kuat dan lebih realis karena imamah al udzma memang dibutuhkan sikap kelaki-lakian dan kepribadian yang meiliki kemauan keras. Nampaknya dalam hal ini laki-laki lebih berkompeten dibanding perempuan. Bagaimanapun cerdiknya dan kuatnya seorang perempuan, namun tetap saja kaki-laki lebih kuat. Umat hendaknya memilih seorang laki-laki terpandai dan terbaik untuk diangkat menjadi immah al udzma. Dan tetap saja lelaki lebih layak dibanding perempuan.

 

 

Haram

 

Ketika mufti Mesir Dr. Nasir Farid diwawancarai mengenai hukum perempuan menjadi gubenur atau hakim, beliau menjawab, ”Islam sangat menganjurkan bagi siapa saja yang akan bertugas pada hal-hal yang berhubungan dengan kemaslahatan orang banyak diharuskan menguasai pengetahuan mengenai apa yang akan ia jalankan, ia harus bersikap adil, amanah, menjaga kehormatan, berakhlak mulia, berpikiran jernih serta memiliki pengalaman cukup. Jika perempuan memiliki sifat ini serta memenuhi syarat tehadap tugas yang akan dibebankan kepadanya, maka ia boleh saja diangkat menjadi gubenur ataupun pengacara. Untuk presiden ataupun hakim, mayoritas ulama mengharamkannya. Alasannya bahwa untuk menjadi presiden atau hakim harus memiliki sifat-sifat tertentu yang tidak dimiliki perempuan. Dalam kondisi haidh, nifas atau hamil, tentu akan mempengaruhi sikap mereka. Oleh karena itu Rasulullah Saw. bersabda:

 

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

 

Artinya: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita” (HR. Bukhari)”.

 

Namun menurut Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama lainnya membolehkan perempuan untuk diangkat sebagai hakim, dikiaskan dengan dibolehkannya mereka sebagai mufti.

 

 

Haram Menurut Ijmak

 

Menurut Dr. Rif’at Usman, dekan kuliah Syariah wal Qonun Universitas al-Azhar bahwa menurut syariah kepemimpinan Megawati Sukarno Putri tidak sah. Ia mengatakan, ”Ijma’ ulama dari masa awal periode Islam hingga saat ini mengharamkan seorang perempuan menjadi pemimpin negara. Ijma’ adalah hukum Islam independen yang dapat dijadikan argumen (dalil). Hal ini bersandar dari sabda Rasulullah s.a.w yang berbunyi

 

 لا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلالَةِ

Artinya: ”Umatku tidak akan bersatu dalam kesalahan”. Disamping ijma’ juga termasuk ke-3 sumber hukum Islam setelah quran dan sunnah.

 

Adapun ijma’ mengenai haramnya perempuan sebagai pemimpin negara disandarkan dari sabda Rasul SAW,

 

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

 

Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita” (HR. Bukhari).

 

Sejarah mengenai hadits ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Bakrah tidak hanya berlaku pada Buran putri kaisar Persia, karena dalam peristiwa Jamal, beliau pernah ingin bergabung dengan pasukan Zubair dan Thalhah untuk memerangi Ali bin Abi Thalib. Namun ketika beliau mengetahui bahwa Sayidah Aisyah berada diantara mereka segera mengurungkan niatnya. Selanjutnya beliau membacakan hadits Rasul Saw:

 

 لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ . قَالَ : لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ : لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً 

 

Artinya: Sungguh Allah SWT telah memberikan manfaat – dari kata-kata yang pernah kudengar dari Rasulullah SAW – pada saat perang Jamal, setelah semula hampir saja aku mengikuti tentara Jamal (yang dipimpin oleh Aisyah yang mengendarai unta) dan berperang di pihak mereka.- Lalu ia melanjutkan : -Ketika sampai berita kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda: -Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”.

 

Hadits ini jelas melarang perempuan sebagai pemimpin negara karena kepemimpinan dibutuhkan kemampuan akal, kekuatan jasmani serta mempunyai kemampuan kepemimpinen. Hal ini tidak terpenuhi dalam diri seorang perempuan, kalaupun ada sangat jarang. Adapun posisi Megawati Sukarno Putri sebagai  wakil, tidak dapat dijadikan argumen bahwa ia berhak menggantikan Abdulrahman Wahid menjadi presiden. Mestinya undang-undang di Indonesia mencantumkan bahwa yang berhak menjadi wakil presiden harus laki-laki.

 

Menurut Dr. Abdul Qadir Sayid Abdul Rauf bahwa ijma’ ulama mengharamkan wanita sabagai pemimpin negara, mentri, dan wali (gurbenur). Untuk menguatkan pendapat ini beliau mengutip sebuah hadits,”

 

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

 

Artinya: Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita” (HR. Bukhari).”

 

Hikmah dibalik pelarangan perempuan menjadi seorang pemimpin bukan pada kelebihan laki-laki dibanding perempuan, namun lebih karena tabiat perempuan itu sendiri. Perempua tidak mampu menjadi seorang pemimpin sebagai mana seorang laki-laki. Karena pemimpin dalam Islam bukanlah sekedar simbul saja, namun ia adalah seorang pemimpin masyarakat yang memiliki kekuasaan luas dan sangat bepengaruh pada masa depan rakyat. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan psikologis dan sifat sensitif seorang perempuan. Padahal perempuan memiliki tugas yang lebih mulia, yaitu menjadi ibu rumah tangga yang semestinya memberikan hak dan kewajiban kepada anak dan suami. Tentunya ini membutuhkan banyak waktu, dan hal ini akan banyak tersita jika seorang perempuan menjadi pemimpin negara.

 

Ijma Para Ulama Salaf

 

Mantan anggota DPR Mesir Syaikh Yusuf Albadri berkata, ”Ulama kontemporer berselisih pendapat mengenai hadits Rasul Saw.:

 

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

 

Artinya: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita” (HR. Bukhari).”

 

Sedangkan para ulama salaf sepakat  bahwa hadits di atas wajib diyakini kebenarannya sereta direalisasikan secara tekstual. Menurutnya hadits tersebut tidak hanya berlaku pada peristiwa tertentu, namun juga berlaku dalam peristiwa secara umum sebagaimana kita lihat dari bentuk (shighah) bahasa Arab. Kalimat dalam  hadits di atas menggunakan uslub perintah terkuat meskipun berbentuk jumlah khobariyah. Dan uslub seperti ini tidak asing bagi para ulama ushul sebagaimana mereka juga merealisasikan sejak masa turunnya wahyu hingga saat ini.

 

Selanjutnya beliau menambahkan, ”Islam tidak menjadikan perempuan sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri, artinya kepemimpinan atas dirinya terbatas. Ini adalah hukum Allah sejak zaman dahulu sehingga para nabi ataupun Rasul tidak dari kalangan perempuan.  Sebagaimana diketahui bahwa imamah al-kubra, yaitu pemimpin negara mencakup semua kepemimpinan, termasuk juga imamah ash-shughra atau imam shalat. Menurut Ijma’ ulama haram hukumnya bagi perempuan menjadi imam shalat. Jika imam as sughra diharamkan, bagaimana dengan imamah al kubra?”

 

Sayidah Asyifa Binti Abdullah pernah meminta kepada Rasulullah Saw. agar diizinkan adzan, namun Rasulullah Saw. melarangnya. Lalu beliau mengutus seorang laki-laki tua untuk beradzan serta memerintahkan Sayidah Asyifa untuk menjadi imam shalat bagi kaum wanita di rumahnya.

 

Selanjutnya Saikh Yusuf al-Badri mengutip perkataan Imam al-Mawardi; pengarang kitab al-ahkâm ash-shulthâniyyah yang berpendapat bahwa larangan pemimin wanita dalam Islam bersumber dari nash yang dikuatkan oleh pendapat para ulama. Perempuan pada dasarnya harus tertutupi, dan dalam posisi ia sebagai kepala negara memungkinkan ia untuk selalu bersama orang yang bukan muhrimnya (ikhtilât).

 

Bahkan para ulama memakruhkan berdagang dengan mereka serta mempersempit ruang gerak  selain tugas untuk merawat anak kecil. Ia hanya boleh menjadi saksi dalam perkara yang berhubungan dengan harta saja serta melarang mereka menjadi saksi dalam perkara hudud.

 

Warisan Sosial

 

Menurut dosen ilmu sosiologi universitas Zaqoziq Dr. Sayid Hanafi,  negara Arab serta negara Islam lainnya menolak presiden wanita karena selama ini hanya para kaum laki-laki yang selalu menjadi pemimpin. Rata-rata mereka enggan  dipimpin wanita meskipun ia mempunyai kemampuan yang cukup. Tentunya ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor warisan. Entah apakah larangan pemimpin wanita itu benar atau salah menurut syari’at. Hanya saja tradisi menolak pemimpin wanita memang ada dalam masyarakat kita.

 

Di samping susunan biologi wanita memang terkadang mempengaruhi arah pemikiran mereka. Wanita haid dan melahirkan, dan para ilmuanpun menyatakan bahwa urat syaraf wanita terpengaruhi oleh hal ini yang juga berpengaruh pada pengambilan keputusan.

 

Kehendak Rakyat

 

Dosen psikologi Universitas Ainu Al Syams Hamid Zahron mengatakan, rakyat Indonesia telah memilih Megawati melalui wakilnya yang duduk di parlemen. Sebelumnya ia duduk sebagai wakil presiden, dan ia berhak menjadi presiden menggantikan Abdulrahman Wahid yang gagal dalam mengendalikan roda pemerintahan serta dituduh melakukan tindakan korupsi. Ini adalah kehendak rakyat yang selayaknya dihormati oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah. Selanjutnya beliau menambahkan, ”Selama suatu negara menggunakan sistem demokrasi, yang berhak mengangkat pemimpin negara adalah rakyat. Dari sini tidak ada larangan jika suatu negara dipimpin oleh seorang perempuan. Rakyatlah yang akan menentukan apakah presiden akan terus memimpin negara atau berhenti. Selama rakyaat yang memilih Megawati, berarti ialah yang paling layak untuk memimpin negara.”

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

sixteen − 6 =

*