Friday, April 19, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Pembagian Mafhûm Mukhâlafah.

fdsafgsaTerjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul mengenai jumlah bagian dalam mafhûm muhâlafah. Perbedaan tersebut timbul akibat dari perbedaan mereka dalam memberikan batasan ikatan pada nash atau ungkapan dalam nash. Mazhab Maliki membagi mafhûm mukhâlafah menjadi 13 bagian, sementara imam al-Zarkasyi membagi menjadi 11 bagian. Al-Amidi membagi menjadi 10 bagian, sementara imam al-Ghazali membagi menjadi 8 bagian. Meskipun terjadi perbedaan dalam jumlah bagian, namun terdapat bagian-bagian yang sudah menjadi kesepakatan ulama, yaitu mafhûm shifah, mafhûm syarth, mafhûm ghâyah, mafhûm ‘adad, mafhûm laqab dan mafhûm hasr.[1] Di awah ini penulis hanya akan menyebutkan beberapa bagian, yaitu:

 

  1. Mafhûm shifah, yaitu memberikan ketetapan hukum dalam bunyi (manthûq) suatu nash yang diikat  dengan sifat tertentu yang terdapat dalam lafazh, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan ketetapan hukum.

Contoh:

وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مِّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ

Artinya: “Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita mereka yang beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki”. (QS. A-Nisâ: 25).

 

Diperbolehkannya mengawini wanita-wanita budak dalam ayat tersebut diikat dengan keimanan (الْمُؤْمِنَاتِ ). Oleh karena itu, wanita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal dinikahi.[2]

 

  1. Mafhûm syarth ialah menetapkan kebalikan ketetapan hukum tergantung pada syarat dalam nash, atau bersama dengan syarat jika syarat tersebut tidak terwujud[3].

Contoh

وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Artinya: “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan”. (QS. Al-Thalaq: 6).

 

Ayat di atas memberikan keterangan mengenai kewajiban nafkah kepada istri yang telah dicerai dan tengah menjalani masa iddah. Hanya saja, kewajiban nafkah diikat dengan lafazh حَمْلٍ (hamil) Dengan demikian ketetapan hukum pada mafhûm mukhâlafah adalah bahwa jika istri yang dicerai tidak sedang hamil, suami tidak wajib memberikan nafkah kepadanya. Dan dengan mafhum al-syarth, nash dapat dipahami bahwa suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istri yang telah dicerai dengan talaq raj’i atau sedang hamil.

  1. 3.      Mafhûm ghâyah ialah memberikan ketetapan hukum yang berbeda di luar tujuan nash (ghâyah) bila hukum diikat dengan tujuan tertentu (ghayah).

Contoh:

فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalakkannya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (QS. Al-Baqarah: 230).

 

Ayat di atas memberikan penjelasan mengenai larangan menikah dengan wanita yang telah talaq tiga. Hanya saja, ketetapan hukum diikat dengan lafazh  حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ  (hingga dia kawin dengan suami yang lain). Jika istri itu telah menikah dengan laki-laki lain, baru kemudian ia boleh menikah lagi oleh suami sebelumnya.[4]

 

  1. Takhshîsh (mengkhususkan) dengan sifat yang mungkin hilang.

Contoh sabda Rasulullah Saw.:

فى الغنم السائمة زكاة

Artinya: “Dalam kambing yang digembalakan (wajib) zakat”.

Mafhûm mukhâlafah dari hadits di atas adalah bahwa kambing yang tidak digembalakan tidak wajib zakat.[5]

 

  1. Mafhûm laqab ialah menyebutkan suatu ketetapan hukum yang ditentukan (ditakhshîsh) dengan jenis atau macamnya sehingga hukum menjadi positif (mutsbit) pada masalah yang terdapat dalam nash dan negatif (manfiy) pada masalah yang tidak disebutkan dalam nash.

Contoh sabda Rasulullah Saw:

لي الواجد ظلم يحل عقوبته

Artinya: “Memperlambat pembayaran hutang bagi orang yang telah mampu membayarnya adalah suatu perbuatan zhalim yang halal (boleh) dikenakan sangsi (hukuman).

 

Hadits di atas dapat diambil mafhûm mukhâlafah bahwa orang yang memperlambat pembayaran utang karena belum mampu membayarnya tidak termasuk dalam kategori zhalim yang boleh untuk dikenakan sangsi hukuman.[6]

 

  1. Mafhûm ‘adad ialah menetapkan kebalikan dari ketetapan hukum yang diikat dengan bilangan tertentu bilangan tersebut tidak terpenuhi. Atau menggantungkan ketetapan hukum dengan hitungan tertentu.

Contoh:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. (QS. Al-Nûr: 4)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa batasan hukuman qadaf adalah 80 kali dera. Karena batasan itu telah ditetapkan oleh Allah, maka tidak boleh ada yang menambah atau mengurangi.[7]

 

  1. Mafhûm hasr ialah menafikan segala sesuatu yang tidak tercakup dalam ungkapan nash.

Contoh sabda Rasulullah Saw.:

اٍنما الأعمال بالنيات

Artinya: “Hanya saja (setiap) perbuatan itu dilandasi dengan niat”. (HR. Bukhari).

 

Mafhûm mukhâlafah dari hadits di atas adalah bahwa tidak dianggap sah setiap perbuatan yang tidak disertai dengan niat.[8]

 

Komparasi m



[1] Ibid. hal. 130

[2] Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hal. 142

[3] Ibid. hal. 143

[4]  Ibid.

[5] Ibid. hal. 133

[6] Ibid. hal. 141

[7] Dr. Muhammad Salim abu ‘Ashi, op. cit., hal. 173

[8] Ibid., hal. 173, Dr. Wahbah Zuhaili, op. cit., 377

mbagian mafhûm mukhâlafah. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul mengenai jumlah bagian dalam mafhûm muhâlafah. Perbedaan tersebut timbul akibat dari perbedaan mereka dalam memberikan batasan ikatan pada nash atau ungkapan dalam nash. Mazhab Maliki membagi mafhûm mukhâlafah menjadi 13 bagian, sementara imam al-Zarkasyi membagi menjadi 11 bagian. Al-Amidi membagi menjadi 10 bagian, sementara imam al-Ghazali membagi menjadi 8 bagian. Meskipun terjadi perbedaan dalam jumlah bagian, namun terdapat bagian-bagian yang sudah menjadi kesepakatan ulama, yaitu mafhûm shifah, mafhûm syarth, mafhûm ghâyah, mafhûm ‘adad, mafhûm laqab dan mafhûm hasr. Di awah ini penulis hanya akan menyebutkan beberapa bagian, yaitu: 1. Mafhûm shifah, yaitu memberikan ketetapan hukum dalam bunyi (manthûq) suatu nash yang diikat dengan sifat tertentu yang terdapat dalam lafazh, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan ketetapan hukum. Contoh: وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مِّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ Artinya: “Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita mereka yang beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki”. (QS. A-Nisâ: 25). Diperbolehkannya mengawini wanita-wanita budak dalam ayat tersebut diikat dengan keimanan (الْمُؤْمِنَاتِ ). Oleh karena itu, wanita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal dinikahi. 2. Mafhûm syarth ialah menetapkan kebalikan ketetapan hukum tergantung pada syarat dalam nash, atau bersama dengan syarat jika syarat tersebut tidak terwujud . Contoh وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ Artinya: “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan”. (QS. Al-Thalaq: 6). Ayat di atas memberikan keterangan mengenai kewajiban nafkah kepada istri yang telah dicerai dan tengah menjalani masa iddah. Hanya saja, kewajiban nafkah diikat dengan lafazh حَمْلٍ (hamil) Dengan demikian ketetapan hukum pada mafhûm mukhâlafah adalah bahwa jika istri yang dicerai tidak sedang hamil, suami tidak wajib memberikan nafkah kepadanya. Dan dengan mafhum al-syarth, nash dapat dipahami bahwa suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istri yang telah dicerai dengan talaq raj’i atau sedang hamil. 3. Mafhûm ghâyah ialah memberikan ketetapan hukum yang berbeda di luar tujuan nash (ghâyah) bila hukum diikat dengan tujuan tertentu (ghayah). Contoh: فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ Artinya: “Kemudian jika si suami mentalakkannya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (QS. Al-Baqarah: 230). Ayat di atas memberikan penjelasan mengenai larangan menikah dengan wanita yang telah talaq tiga. Hanya saja, ketetapan hukum diikat dengan lafazh حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ (hingga dia kawin dengan suami yang lain). Jika istri itu telah menikah dengan laki-laki lain, baru kemudian ia boleh menikah lagi oleh suami sebelumnya. 4. Takhshîsh (mengkhususkan) dengan sifat yang mungkin hilang. Contoh sabda Rasulullah Saw.: فى الغنم السائمة زكاة Artinya: “Dalam kambing yang digembalakan (wajib) zakat”. Mafhûm mukhâlafah dari hadits di atas adalah bahwa kambing yang tidak digembalakan tidak wajib zakat. 5. Mafhûm laqab ialah menyebutkan suatu ketetapan hukum yang ditentukan (ditakhshîsh) dengan jenis atau macamnya sehingga hukum menjadi positif (mutsbit) pada masalah yang terdapat dalam nash dan negatif (manfiy) pada masalah yang tidak disebutkan dalam nash. Contoh sabda Rasulullah Saw: لي الواجد ظلم يحل عقوبته Artinya: “Memperlambat pembayaran hutang bagi orang yang telah mampu membayarnya adalah suatu perbuatan zhalim yang halal (boleh) dikenakan sangsi (hukuman). Hadits di atas dapat diambil mafhûm mukhâlafah bahwa orang yang memperlambat pembayaran utang karena belum mampu membayarnya tidak termasuk dalam kategori zhalim yang boleh untuk dikenakan sangsi hukuman. 6. Mafhûm ‘adad ialah menetapkan kebalikan dari ketetapan hukum yang diikat dengan bilangan tertentu bilangan tersebut tidak terpenuhi. Atau menggantungkan ketetapan hukum dengan hitungan tertentu. Contoh: وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. (QS. Al-Nûr: 4) Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa batasan hukuman qadaf adalah 80 kali dera. Karena batasan itu telah ditetapkan oleh Allah, maka tidak boleh ada yang menambah atau mengurangi. 7. Mafhûm hasr ialah menafikan segala sesuatu yang tidak tercakup dalam ungkapan nash. Contoh sabda Rasulullah Saw.: اٍنما الأعمال بالنيات Artinya: “Hanya saja (setiap) perbuatan itu dilandasi dengan niat”. (HR. Bukhari). Mafhûm mukhâlafah dari hadits di atas adalah bahwa tidak dianggap sah setiap perbuatan yang tidak disertai dengan niat. Komparasi m

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

three × 5 =

*