Banyak yang mengirak bahwa penggunaan ilmu hisab untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah monopoli Muhammadiyah. Bahkan lebih seram lagi, penggunaan ilmu hisab oleh sebagian orang dianggap bidah dan tidak sesuai dengan sunnah. Apakah memang demikian? Benarkah ulama kita terdahulu tidak ada yang menggunakan hisab?
Jika kita mau melihat kembali kitab kuning, kenyataannya dari semua mazhab empat, ada para ulama yang menggunakan ilmu hisab. Dari pernyataan mereka bahkan secara sharih menyatakan, jika rukyat dan hisab bertentangan, maka didahulukan hisab. Berikut pernyataan pendapat ulama dari empat mazhab:
Kalangan Tabiin
Mutharrif bin Abdullah (w. 95 H), seperti yang dinukil oleh Imam Qurtubi dalam kitab Tafsirnya, dari Imam Abu Bakar bin Qutaibah, ketika menafsirkan hadis Rasulullah saw فاقدروا له, ia berkata, “Maksunya adalah dengan menjadikan posisi bulan sebagai argument mengenai datangnya bulan Ramadhand dan menetapkan bahwa bulan Ramadhan dapat ditentukan dengan perhitungan (hisab) posisi bulan tadi”. Dikutip dari Addawudi bahwa makna hadis فاقدروا له adalah “menentukan sesuai dengan posisi bulan”.
Imam Abu Walid bin Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid, dinukil dari perkataan Mutharrif bin Abdullah bahwa ia menafsirkan hadis فاقدروا له dengan mengatakan, “Jika hilal tidak nampak, maka digunakan hisab sesuai dengan perjalanan bulan dan matahari”.
Madzhab Hanafi
Dinukil dari al-Hafiz al-Aini dari mazhab Hanafi, dari kitab Umdatul Qari, dari Ibnu Qutaibah Addainuri (276 H) , sebagaimana juga yang dinukil oleh Imam Najmuddin Azzahidi al-Khawarizmi (658 H), beliau adalah salah seorang ulama besar mazhab Hanafi, ia berkata, “Tidak ada masalah (dalam menentukan awal bulan Ramadhan), berpegang kepada pendapatkan pakar astronomi”.
Madzhab Maliki
Imam Qarrafi yang bermazhab Maliki, dalam kitab al-Furuq menyatakan bahwa di kalangan mazhab Maliki, mengenai hukum penggunaan ilmu hisab, ada dua pendapat, sama juga yang terjadi di mazhab Syafii. Di kalangan mazhab maliki, ada yang berpendapat bahwa jika ada pakar astronomi yang menyatakan besok puasa, maka hendaknya ia berpuasa. Karena ia telah mengetahui datangnya bulan Ramadhan dengan dalil (argument) dan sebab. Jika yang memberitakan mengenai datangnya bul;an Ramadhan adalah seorang yang dapat dipercaya, maka perkataannya itu sudah dianggap sebagai bukti datangnya bulan Ramadhan.
Madzhab Syafii
Dalam kitab al-Ilmu al-Mansyur fi Itsbati Asyuhur, Qadhi Qudhah Imam Mujtahid Taqyuddin Assubki (756) yang bermazhab Syafii, “Jika rukyat bertentangan dengan hisab yang bersifat qat’iy, maka yang diambil adalah hisab”.
Dalam fatawanya, Imam Taqyuddin Assubki berkata, “Ada persoalan lain, yaitu tatkala secara hisab, hilal tidak memungkin untuk dirukyat sesuai dengan premis yang bersifat qat’iy. Dalam kondisi seperti ini, maka melakukan rukyat menjadi mustahil. Jika dalam kondisi seperti itu ada satu orang atau lebih menyatakan (bisa merukyat), maka berita yang ia sampaikan dianggap salah.
Meskipun ada dua orang yang mengaku melihat hilal, kesaksian dua orang tadi tetap tidak dapat diterima. Hal ini karena hisab bersifat qat’iy, sementara berita tentang (rukyat) bersifat zanniy. Zhan sendiri tidak dapat menolak qati, apalagi sampai mendahului qati, tentu lebih ini tidak bisa lagi.
Rukyat, syaratnya hilal mungkin untuk dirukyat dengan panca indera, masuk akal dan sesuai dengan syariat. Jika katakanlah secara hisab tidak mungkin dapat dirukyat, maka kesaksian orang yang menyatakan bisa merukyat secara otomatis tertolak. Karena bulan jelas tidak dapat dirukyat sementara syariat sendiri menyatakan tidak mungkin menerima sesuatu yang bersifat mustahil. Tidak ada nas syariat yang menyatakan bahwa setiap ada kesaksian dua orang, baik kesaksiannya benar atau salah, harus diterima.
Tidak ada nas yang menyatakan bahwa kesaksian mengenai rukyat tadi dapat berimplikasi kepada kewajiban melakukan ibadah puasa serta dapat menentukan berbagai hukum pada bulan Ramadhan. Tidak ada nas (hadis nabi) yang menyatakan, “Berpuasalah jika sudah ada orang yang memberitahu kepada Anda mengenai kewajiban berpuasa”. Jika ada nas seperti ini, maka kesaksian mereka akan kita terima secara mentah-mentah. Kenyataannya tidak ada nas seperti itu. Sewajarnya kita melakukan klarifikasi terhadap setiap berita yang sampai kepada kita sehingga kita dapat mengetaui kebenaran berita tersebut.
Sering terjadi bahwa seseorang mengaku meluihat hilal, padahal sesungguhnya ia belum melihatnya, atau ia merasa melihat hilal, adahal bukan hilal. Atau matanya merasa melihat sesuatu padahal itu juga bukan hilal.
Bisa saja seseorang melakukan kesaksian telah melihat hilal, kemudian setelah beberapa hari kemudian, terbukti kesaksiannya itu salah. Atau bisa saja ada orang bodoh merasa bahwa mengajak orang untuk melakukan ibadah puasa, akan mendapatkan pahala, sehingga ia melakukan perbuatan itu. Atau ada orang yang ingin membuktikan bahwa ia adalah orang yang dapat dipercaya, maka kesaksiannya tersebut dijadikan sebagai sarana untuk dirinya sehingga ia bisa dekat dengan pemerintah. Semua ini mungkin terjadi dan pernah kita lihat dan kita dengar.
Bagi pemerintah, jika ada pakar astronomi yang dapat dipercaya dan menyatakan bahwa secara hisab tidak munkin untuk melakukan rukyat, hendaknya pemerintah tidak menerima kesaksian mereka dan tidak memutuskan hukum dengannya. Hendaknya yang digunakan adalah kaidah istishab (dengan menyatakan bahwa bulan itu masih lanjutan bulan sebelumnya), karena istishab adalah dalil syari yang bsa digunakan, kecuali ada bukti lain yang menunjukkan kesalahan pernyataan pertama.
Imam Mujtahid Abu al-Fath Ibnu Daqiq dalam kitab Syarhul Umdah menyatakan, “Pendapatku sebagai berikut, “Jika secara hisab menunjukkan bahwa hilal telah terlihat di atas ufuk, sehingga jika tidak ada penghalang seperti awan, hilal dapat dilihat dengan mata, maka dinyatakan kewajiban puasa telah tiba. Ini karena ada sebab syari yang menunjukkan datangnya bulan baru. Rukyat hilal bukanlah suatu kewajiban. Jika sudah ada bukti jelas bahwa hari ini merupakan bulan Ramadhan, maka wajib berpuasa, meksi hilal tidak nampak dan meski tidak ada orang yang meyatakan telah melihat hilal.
Kesimpulannya, penggunaan hisab untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal bukanlah perkara baru yang dibuat-buat oleh Muhammadiyah. Ulama terdahulu, baik dari kalangan tabiin, ulama madzhab Syafii, Maliki dan Hanafi, ada yang membolehkan ilmu hisab. Wallahu a’lam