Friday, March 29, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Muhammad Rafiq; Kritik Terhadap Ibnu Sina Lebih Bersifat Politis

325014_3556985367986_2081015679_o

 

 

Beberapa waktu lalu, berseliweran whatsapp yang menyatakan bahwa Ibnu Sina Syiah. Oleh karenanya, tidak perlu mengambil ilmu apapun yang berasal dari beliau. Ia adalah kafir sebagaimana yang dilontarkan al-Ghazali. Berikut tanggapan Muhamamd Rafiq, pemikir muda Muhammadiyah yang sekarang duduk di Mejelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.

 

Al-Zahabi seorang biografer yang moderat.  Hanya memang beliau tidak suka filsafat. Ini logis karena memang belum ada ahlul asar yg filosof. Untuk menilai Ibnu Sina, saya pribadi lebih cenderung kepada pendapat Ibnu Rusyd. Dia mengkritik Ibnu Sina, tetapi tdak mengkafirkannya. Ibnu Rusyd menyayangkan kenapa al-Ghazali sampai mengkafirkan para filosof termasuk Ibnu Sina, yang kemudian diambil mentah-mentah oleh ulama sesudahnya.

 

Al-Ghazali sendiri mengambil mantiq dari para filosof. Bahkan menyebut mantiq sebagai ilmu yang wajib diketahui dan sebagai kriteria kebenaran. Yang disayangkan adalah bahwa al-Ghazali hanya baca filsafat dari Ibnu Sina, itupun hanya dari kitab al-Syifa. Padahal pendapat Ibnu Sina adalah masalah ijtihadiyah yang tidak secara sarih disebut dalam al-Quran.

 

Pakem yang ‘dilanggar’ oleh Ibnu Sina bukanlah ayat-ayat yang bersifat qat’i, tetapi doktrin resmi mazhab Asyariah. Pendapat yang ditampilkan dalam kutipan di atas yang banyak menyesatkan Ibnu Sina adalah pendapat para ahli hadis yang memiliki keterbatasan dalam diskursus filsafat. Konsen para ahli hadis adalah bagaimana menukil sebuah informasi secara verbatim dan akurat, bukan bernalar diskursif-filosofis. Sementara kritik al-Ghazali yg paling substantif ke para filosof juga dianggap tdak memadai.

 

Kalo mau menggunakan kacamata al-Jabiri, kritik kepada para filosof, khususnya Ibnu Sina lebih bersifat politis. Teori al-Jabiri, al-Ghazali digunakan oleh khalifah al-Mustazhir sebagai alat untuk meruntuhkan (secara intelektual) imperium Fatimiyah yang epistemenya Irfani.

 

Saya barusan memverifikasi penilaian al-Zahabi (dalam Mizanul I’tidal) terhadap Ibnu Sina. Yang dikutip di atas adalah potongan pendek dari narasi yang panjang. Kenapa tidak ditampilkan utuh bagaimana al-Zahabi menceritakan Ibnu Sina? Kenapa tebang pilih? Misalnya ada cerita bahwa Ibnu Sina menekuni al-Quran pada usia 10 thun, cerita bahwa setiap beliau tidak faham kitab Metaphysic Aristoteles Ibnu Sina salat dulu, cerita bahwa Ibnu Sina menulis kitab Fikih al-Hasil wal Mahsul 20 jilid, cerita dia mengkhatamkan al-Quran setiap tiga hari sekali. Ibnu Sina menulis al-Falsafah al-Masyriqiyyah yang kata al-Jabiri pakai gaya berfikir kaum sufi. Semua itu tidak dikutip oleh al-Ghazali.  Al-Ghazali hanya konsen dengan kitab al-Syifa.

 

Kata Ibnu Rusyd, sisi kesamaan Ibnu Sina dan al-Ghazali atau sisi positif filsafat, mestinya diakui dulu. Bukan asal memberikan serangan saja. Menurut al-Jabiri itu bukti bahwa al-Ghazali pernah menjadi alat negara. Itu bukti bahwa dalam setiap pengetahuan dan diskursus keilmuan, selalu ada kepentingan penguasa. .

 

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

eighteen − eleven =

*