Thursday, April 25, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Muhamamd Abduh Tuasikal: Banyak orang Muhammadiyah Ingin Melepaskan Ketaqlidan Karena ingin Ikuti Dalil

fhj

 

Beberapa waktu lalu saya kiriman dari pernyataan Ust. Muhammad Abduh Tuasikan yang berkata, “Ayo datang ke majelis ilmu saya, biar saling belajar. Saya punya majelis tiap malam Kamis di Panggang. Banyak orang Muhammadiyah yang sudah ingin melepaskan ketaqlidan karena ingin mengikuti dalil”

 

Saya baca tulisan di atas, serasa ada  yang aneh. Awalnya bagus, mengajak kita untuk saling belajar dan tukar ilmu pengetahuan. Sikap seperti ini sngat dianjurkan oleh Islam. Belajar bahwan menjadi salah satu ruhnya Islam, karena ayat pertama yang diturunkan Allah juga terkait dengan membaca.

Hanya yang mengganjal adalah tulisan lanjutan, “Banyak orang Muhammadiyah yang sudah ingin melepaskan ketaqlidan karena ingin mengikuti dalil”.  Ungkapan ini secara langsung menuduh Muhammadiyah dalam berijtihad tidak menggunakan dalil. Jika ijtihad tanpa dalil, lantas Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan apa? Benarkah bahwa selama ini Muhammadiyah tidak pernah menggunakan dalil?

 

Jika kita buka Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah dan Fatwa Tarjih Muhammadiyah, di kita akan mendapatkan bahwa dalam menjawab berbagai persoalan, Muhammadiyah selalu mencantumkan dalil, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah. Di Fatwa Tarjih, terkadang juga dicantumkan pendapat ulama dalam memahami dalil, sebelum kemudian Muhammadiyah memilih pendapat yang dianggap paling rajih.

 

Pertanyaannya, apakah kumpulan ayat al-Quran dan Sunnah nabi itu tidak dianggap dalil? Lantas, dalil apa yang dimaksudkan oleh Ust. Muhamamd Abduh Tuasikal?

 

Mungkin yang beliau maksudkan lebih mengerucut, yaitu terkait dengan puasa Arafah, seperti pernyataan beliau, “Dari dulu bukannya Muhammadiyah ngaku ikut wukuf Saudi untuk puasa Arafah. Sekarang kok berubah?”. Ust. Muhamamd Abduh Tuasikal, Anda bisa mengambil kesimpulan demikian dari mana? Bisakah Ust. Muhamamd Abduh Tuasikal   menyebutkan fatwa atau keputusan Majelis Tarjih terkait dengan permasalahan tersebut? Jika tidak, bearti Anda sudah memfitnah Muhammadiyah.

Atau mungkin yang lebih luas dari itu, yaitu ketentuan bahwa Muhammadiyah menggunakan menggunakan hisab wujudul hilal dalam system kalendernya, termasuk dalam menentukan awal bulan Ramadham, Syawal dan Zhulhijjah. Namun jika kita buka lagi putusan Muhammadiyah terkait dengan hisab wujudul hilal, ternyata di sana Muhammadiyah menyebutkan banyak dalil baik dari al-Quran dan Sunnah. Apakah kumpulan ayat al-Quran dan hadis nabi itu tidak dianggap dalil?

 

Bagi saya sendiri, tidak ada masalah Ust. Muhamamd Abduh Tuasikal mengadakan pengajian mingguan. Itu sangat terpuji dan dijunjung tinggi oleh agama Islam. Ust. Muhamamd Abduh Tuasikal memberikan pendapat dan menyebutkan dalilnya kepada jamaah juga sangat bagus dan perlu diapresiasi. Namun apakah untuk menarik simpati orang harus dengan “memfitnah” ormas lain?

 

Menurut saya, sikap Fitnah Ust. Muhamamd Abduh Tuasikal  ada dua kemungkinan, pertama karena Muhamamd Abduh Tuasikal tidak mengenal Muhammadiyah, HPT dan produk Tarjih. Dengan demikian, beliau berkesimpulan sesuai yang beliau ketahui saja. Padahal dalam agama, kita dilarang untuk memberikan fatwa diluar pengetahuan kita. Firman Allah:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)

 

Kedua, beliau tau tentang Muhammadiyah, HPT dan produk tarjih,  namun tidak menyampaikan sesuai dengan yang dirajihkan Muhammadiyah. Tujuannya untuk mencari simpati anggota agar ia dianggap sebagai ulama yang paling kompeten dan mahir dalam menentukan dalil. Sederhananya, beliau ingin mengangkat diri sendiri dengan cara menjatuhkan orang lain.

 

Saya kira, baik Muhammadiyah atau Muhamamd Abduh Tuasikal sama-sama menggunakan dalil. Hanya saja, perbedaan terletak pada sisi istidlalnya. Bisa saja dalilnya sama, namun jika istidlalnya berbeda, maka hasilnya akan berbeda. Atau, bisa saja ada lebih dari satu dalil, sehingga Muhammadiyah merajihkan yang ini, sementara Muhamamd Abduh Tuasikal merajihkan yang lain.

 

Baiknya, Muhamamd Abduh Tuasikal menghormati ijtihad Muhammadiyah daripada “memfitnah” Muhammadiyah. Untuk apalah kita mengangkat diri kita setinggi langit, namun di sisi lain, kita merendahkan orang lain. Ini bukan sikap seorang ulama dan hanya akan merugikan diri sendiri. Jadi, berhentilah kita memfitnah. Wallahu alam

Comments

comments

 border=
 border=

4 comments

  1. Sebaiknya tulisan seperti ini tidak perlu disebar2kan, lebih baik diskusi langsung dengan ustadznya. Dengan begitu akan lebih mudah mendapatkan titik temu, saya yakin ini cuma kesalahpahaman saja.

  2. Benar, seharusnya utamakan dengan dialog langsung dengan Ustadznya, semakin menambah fitnah. Sekedar Catatan: Sebagai orang awam, saya merasa Ormas M tidak mentaati Ulil Amri malah seperti isme baru di masyarakat tertentu, kerena perbedaan itu akan selalu menimbulkan mudharat, apalagi berulang-ulang.

    • Urusan hari raya adalah urusan keyakinan. Pemrintah tak perlu mencampuri. UUD 1945 telah menyatakan pemerintah memberi kebebasan dlm memeluk agamanya. Kelompok yang berdalil soal ulil amri mencoba mengajak pemerintah untuk meliupakan UUD 1945. Berdosa jika pemerintah UU yang dibuatnya sendiri.

  3. . Yang dimaksud menaati ulul amri adalah masalah peraturan / Undang undang yang telah dibuat pemerintah ( Ulul amri ) . Bukan masalah keyakinan , Bukan masalah keyakinan / masalah khilafiyah dalam agama .
    Kalo Umat islam tidak menaati peraturan / Undang undang pemerintah . Misal : Dimasa pandemi pemerintah mewajibkan menggunakan masker namun seorang menolak menggunakan masker dengan dalih kematian sudah diatur Yang Maha Kuasa . Itu salah satu yang tidak boleh . Tidak menaati pemerintah / Ulul Amri
    Tapi masalah Agama pemerintah menyatakan memberi kebebasan dalam memeluk agama ,
    Masalah di atas pemerintah TIDAK memerintahkan umat islam indonesia harus mengikuti fatwa pemerintah masalah penentuan hari raya . Nah kalo pemerintah memerintahkan atau mewajibkan untuk menaati ketetapan pemerintah masalah hari raya . Barulah seluruh umat islam indonesia wajib untuk mengikuti ketetapan penentuan hari raya oleh pemerintah . Namun sekali lagi pemerintah memberikan kebebasan beragama kepada warganya .
    Singkatnnya Masalah penentuan Hari Raya pemerintah sifatnya hanya membantu masyarakat . Dan ini sifatnya tidak “memaksa” ( berbeda dengan Hukum atau Peraturan Pemerintah yang kalau di pelajaran PKN sifatnya ‘Memaksa” alias harus ditaati )

Leave a Reply to enggar.wahyu Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

three + five =

*