Thursday, April 18, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Menyikapi Kritik Teks Ala Syahrur

syahrur

Bagaimana pendapat Ust. Tentang pernyataan berikut ini:

Ternyata kita kalah dengan pemikir liberal. Gelombang arus Filsafat Islam Kontemporer sejak 1990 sepertinya sedang menuju ke sana. Para pemikir Islam Kontempores dengan gaya khas “Kritiknya”, mendedahkan bahwa “Khazanah keilmuan Islam selama ini diperlakukan dalam kerangka repetisi (pengulangan), bukan progresi”.

Sebuah pengantar dari Kitab ‘Al Kitab wa Al Quran: Qira’ah Mu’ashirah, karya Muhammad Syahrur.

 

Wahyudi Abdurrahim, Lc

Kita harus hati-hati dengan berbagai pemikiran modern yang terkesan bombastis namun tanpa punya landasan metodologis yang kuat. Pendapat di atas seakan progresir, namun sesungguhnya sangat berbahaya.

 

Jika kita membaca turas islam, atau pemikiran yang ada dalam kitab kuning, kita mesti cermat. Ada pembacaan yang memang harus dilakukan secara berulang-ulang dan tidak boleh berubah. Ia adalah wilayah yaitu wilayah qat’iyat atau ats-tsawabit.

 

Para ulama ushul mengatakan bahwa yang disebut dengan tsawabit adalah ayat-ayat qatiyyat yang mempunyai satu makna saja. Karena ia sekadar satu makna, maka tidak ada tafsiran lain selain apa yag langsung kita pahami dari nas.

 

Tsawabit ini sering juga disebut dengan istilah qat’iyyat, atau ayat-ayat al-Quran yang sifatnya qat’iy. Qat’iyyat ini dibagi menjadi tiga macam, pertama terkait dengan akidah, kedua terkait dengan akhlak dan ketika terkait dengan muammalah dunyawiyyah.

 

Di antara ayat qat’iy yang terkait dengan akidah contohnya adalah surat al-ikhlas:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿

Artinya: 
1). Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa
2). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
4). Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia

 

Ayat ini disebut dengan tsawabit atau qat’iyyat. Bahwa Allah hanya satu, tidak bisa ditafsirkan ulang. Sejak kapanpun, dalam kondisi apapun, bagaimanapun perubahan dunia, tidak dapat merubah konsep keesaan Allah. Jadi, ayat tsawabit dalam akidah ini sama sekali tidak bisa dirubah.

Atau ayat-ayat yang terkait dengan alam ghaib seperti surg, neraka, kiamat dan lain sebagainya. . Ia adalah urusan akidah yang tidak bisa ditafsirkan ulang. Ia adalah ayat-ayat yang tsawabit atau qatiyyat.

 

Kedua:  terkait dengan ibadah mahdha seperti perintah shalat dan haji:

 

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. (qs. Al-Baqarah: 83)

 

 

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 110)
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron: 97).

 

Ketiga:  terkait dengan muammalah dunyawiyah, contoh ayat waris:

 

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوۡلَـٰدِڪُمۡ‌ۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِ‌ۚ;

Artinya: Allah perintahkan kamu mengenai (pembagian harta pusaka untuk) anak-anak kamu, yaitu bagian seorang anak lelaki menyamai bagian dua orang anak perempuan….(Q.S. An-Nisa: 11).

Siapapun yang membaca ayat ini langsung paham bahwa bagian laki-laki menyamai dua bagian perempuan. Atau 2 banding 1. Ayat ini tidak bisa dipahami dengan makna lainnya. Karena ia hanya mempunyai satu makna saja, maka ini yang disebut dengan ats-tsawabit atau al-Qat’iyyat.

 

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)”. (An-Nûr:2)

 

Kata seratus, tidak mempunyai makna lain selain 100. Ia hanya mempunyai satu makna saja. Jadi iya sifatnya qat’iy.

Keempat: Dalam akhlak:


لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan mizan (neraca, keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Qs. al-Hadid/57: 25)

 

Ayat di atas memerintahkan kita berlaku adil. Di ayat lain Allah berfirman:

 

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ )النحل : 90

 

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Qs. an-Nahl: 90)

 

Ayat di atas memerintahkan kita untuk selalu berbuat adil kepada siapapun juga. Meski dunia berubah dan masyarakat semakin modern, keadilan tidak bisa diganti dengan kezhaliman. Karena ia sifatnya pasti dan tidak bisa dirubah, maka ia disebut dengan ats-tsawabit tau al-Qat’iyat.

 

 

 

 

Ada ayat-ayat yang punya makna musytarak atau banyak makna. Ia adalah wilayah zhanniyat. Atau ayat-ayat yang masih punya penafsiran berbeda di kalangan para ulama. Contoh zhanniy:

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

Artinya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. Al-Nisa: 93).

 

Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang sengaja membunuh wajib melakukan kafarat. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat, apakah kafarat tersebut merupakan  tuntutan atas pembunuhan, ataukah tuntutan atas keteledorannya sehingga mengakibatkan pada pembunuhan seseorang?. Perbedaan muncul dari perbedaan pemahaman  ulama, terutama dengan keberadaan hadits Nabi yang berbunyi:

رفع عن أمتى (اٍثم) الخطأ و النسيان وما استكره عليه

Artinya: Telah diangkat (dihapuskan) dosa umatku dari kesalahan, lupa dan perbuatan yang dipaksa.

 

Syafi’iyah menganggap bahwa pembunuh secara tidak sengaja harus kafarat, sementara Hanafiyah menganggap bahwa ia tidak wajib kafarat. Persoalan juga muncul dari perbedaan pandangan mereka, apakah makna hukuman merupakan makna yang ghalib ataukah ibadah. Bagi Syafi’iyah, makna hukuman lebih ghalib, berbeda dengan Hanafiyah yang menganggap bahwa makna ibadah dalam ayat di atas lebih ghalib.

 

Ada juga persoalan yang terkait dengan maslahat manusia sesuai ruang waktu dengan melihat pada maslahat manusia. Tentu tetap mengacu pada kerangka maqashid syariah. Contoh terkait menikahi kitabiyah yang secara nas dibolehkan al-Quran dengan firman Allah:

 

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

 

Artinya: (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” (QS. al-Maidah: 5)

 

Artinya, wanita kitabiyah yang muhshanat boleh dinikahi. Hanya saja kita harus melihat pada kondisi keberagamaan individu dan juga masyarakat. Kondisi keberagamaan ini sangat penting karena terkait dengan maqashid syariah, yaitu melindungi agama (hifz ad-din). Jika dalam suatu masyarakat banyak terjadi proses kristenisasi seperti di Indonesia dan menikahi wanita ahli kitab dapat menimbulkan mudarat yang lebih besar karena berpotensi menarik seorang suami kepada agama lain, maka menikahi wanita ahli kitab hukumnya haram. Hal ini dengan mengambil kaedah sad adz-zhariah.
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

 

Menangkal mafsadah harus didahulukan daripada untuk mendapatkan suatu maslahat.

 

Menikah dengan kitabiyah dapat berpotensi menimbulkan mafsadah bagi eksistensi agama. Sementara agama masuk dalam kebutuhan primer syariat atau yang disebut dengan adh-dharuriyat. Meski ia mengandung maslahat, namun jika ditimbang antara maslahat dengan mafsadah, jauh lebih banyak mafsadahnya. Untuk itu, maka pernikahan beda agama ini harus di tutup.

 

 

Terkait perubahan fatawa ini, pernah disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab I’lamul Muwaqqiin sebagai berikut:
تغير الفتوى واختلافها بحسب تغير الازمنة والامكنة والاحوال والنيات والعوائد

 

Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat

 

 

Ada juga yang harus ibtikar, atau mengadakan hal-hal baru yang belum pernah ada sebalumnya. Hal ini terutama terkait dengan berbagai sarana  ibadah, muammalat dan lainya. Contoh berkreasi dalam pengembangan ekonomi umat, kreasi dalam kemajuan tegnologi modern, dan lain sebagainya. Hal ini penting karena tugas manusia di dunia sesungguhnya adalah untuk membangun peradaban. Manusia dicipta mengemban amanah sebagai khalifatullah di bumi. Jadi Umat Islam harus berkemajuan.

 


وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.”

 

Tentu saja ini bukan tugas ringan. Ini adalah amanat yang sagat berat. Untuk itulah manusia diberi bekal yang tidak dimiliki banyak makhluk Allah di muka bumi ini, yaitu akal pikiran. Dengan bekal akal ini, manusia sanggup menerima beban syariat. Dengan akal pula, manusia dapat menyerap berbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk menundukkan alam raya. Inilah mengapa setelah ayat di atas, berlanjut dengan ayat yang terkait dengan bekal ilmu pengetahuan bagi manusia ini.

 

وَعَلَّمَ ءَادَمَ الأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَآءِ هَؤُلآءِ إِن كُنتُم صَادِقِينَ {31} قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ {32} قَالَ يَآءَادَمُ أَنبِئْهُم بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّآ أَنبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ {33}

“Dia mengajar kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian memaparkannya kepada para malaikat, lalu berfirman : “Sebutkanlah kepadaKu nama-nama benda itu, jika kamu ‘orang-orang’ yang benar.” Mereka berkata : “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman : “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini !” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman : “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan kamu sembunyikan?”

 

Peradaban manusia di antaranya dapat dibangun dengan memanfaatkan berbagai sumber alam yang ada. Allah sendiri telah menyerahkan alam raya seisinya, baik yang ada di langit, bumi, daratan dan lautan kepada manusia. Firman Allah:

 

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu  Al-Jatsiyah: 13

 

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ

Artinya: Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. QS. Luqman: 20
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya : Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-An’am: 165)

 

 

 

Di sini kita harus membaca secara kritis, membaca ayat-ayat kauniyah sehingga dapat kita manfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia. kita membaca teks kauniyah dengan melakukan berbagai terobosan baru untuk meguatkan tugas besar sebagai khalifatullah. Inilah tempat kita berfikir progresif dan tidak mengulang-ulang pembacaan teks masa lalu.

 

Dalam kondisi ini, jika kita sekadar pengulangan, maknanya adalah bahwa kita kembali ke belakang. Kita menjadi manusia kolot yang tidak menerima realitas kehidupan manusia modern. Kita berada di zaman unta, sementara Barat telah terbang menjelajahi angkasa luar.

 

Inilah tempat kita berfiki maju dan progresif. Menafsiran butuh standard an dhawabit yang jelas. Ada aturan baku yang tidak dapat dilanggar. Perfikir progresif bukan di wilayah teks tsawabit atau qat’iyyat. Karena jika tsawabit atau qat’iyyat yang dikritik lalu ditafsirkan ulang, yang terjadi adalah bencana. Agama dapat berubah sesuai ruang waktu. Ini artinya kitga akan menafsirkan ulang makna Tuhan, malaikat, surga, neraka, kiamat, kenabian, shalat, puasa, zakat, haji, kejujuran, kedermawanan dan lain sebagainya. Jika sudah demikian, maka hancurlah agama ini. Bangunan dasar keagamaan akan runtuh. Kita bisa terjatuh menjadi manusia yang membuat agama sendiri sesuai prespektif masing-masing. Wallahu a’lam

 

 

================
Telah dibuka pendaftaran Pondok Almuflihun untuk Tahfez dan Ngaji Turas Islam. Informasi lebih lanjut, hubungi Ust Toyib Arifin (085868753674). Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan Pondok Modern Almuflihun, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899 web: almuflihun.com

 

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

seventeen + 12 =

*