Friday, April 19, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Mengenal Kelompok Kajian Markaz Ushuli

 sdApakah Marka ushuli? Barangkali masih banyak yang asing dengan nama “Markaz Ushuli” ini. Ia hanya sekadar kelompok kajian sederhana, yang baru beberapa waktu terbentuk. Sejak berdiri pada tanggal 7 Maret, baru melaksanakan kajian selama empat kali; pertama kajian ushul fikih dalam kitab Al-Mustasfa karya Imam Ghaali, kedua, filsafat hukum Islam perspektif Ibnu Rusd, ketiga lanjutan dari kajian sebelumnya tentang filsafat hukum Islam, dan keempat dasar-dasar ilmu falak. Secretariat Markaz Ushuli bertempat di Karangkajen Yogyakarta.

Anggota kelompok kajian Markaz Ushuli terdiri terdiri dari para alumni PCIM Cairo. Mereka melakukan halaqah ilmiah seminggu sekali, yaitu tiap hari Ahad. Jadwal kadang bisa berubah sesuai dengan kondisi anggota. Tempat diskusi di Markaz Ushuli Karangkajen Yogyakarta, atau kadang berpindah di rumah anggota sesuai dengan kesepakatan.

Mengapa ada Markaz Ushuli? Sejarahnya sebagai berikut; Anggota PCIM Cairo tatkala masih di Mesir mereka sering berkumpul dan berdiskusi bersama. Sekian tahun di Mesir, budaya diskusi ini menjadi kebiasaan.

Tatkala mereka pulang ke tanah air, rasa ingin bertukar ilmu pengetahuan dengan sesama mereka, masih ada. Sesungguhnya, antar sesama mereka, saling tukar informasi keilmuan, sudah menjadi hal lumrah, baik melalui group atau ketika bertemu bersama. Hanya saja, mereka belum membuat kajian secara rutin dan dengan jadwal secara lebih tersruktur.

Dari sekian alumni yang pulang ke tanah air, ternyata banyak yang berkumpul di Yogyakarta. Mereka rata-rata sudah disibukkan dengan aktivitas pribadi, baik mengajar di perguruan tinggi, seperti PUTM, UAD, UMY, Pondok Pesantren seperti Muallimin, atau karena mereka melanjutkan studi di beberapa perguruan tinggi. Meski demikian, karena mereka masih di satu  wilayah, jadi untuk bertemu masih memungkinkan.

Berangkat dari sana, terpikirlah untuk membentuk halaqah ilmiah mingguan dengan mengkaji berbagai tema-tema keiskaman. Dengan demikian, mereka masih bisa tukar informasi keilmuan secara lebih resmi dan dalam majelis ilmu yang lebih rapi.

Mengapa tidak mengatasnamakan Muhammadiyah? Hal itu karena kelompok kajian ini tidak berangkat dari struktur Muhammadiyah. Ia lebih merupakan kultur semata, yaitu kesamaan niatan ingin menimba ilmu. Kajian ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas keilmuan anggota masing-masing. Karena faktor kultural ini, maka mereka  tidak mengatasnamakan Muhammadiyah.

Apakah ini tidak menyalahi struktur organinasi Muhammadiyah? Tentu saja tidak. Toh mereka bergerak karena faktor kultural dan memang tidak terikat dengan struktur Muhammadiyah. Bahkan sejatinya, semakin banyak kajian ilmiah seperti ini, akan semakin baik, meski tidak atas nama Muhammadiyah.

Mengapa mereka membuat kajian di Yokyakarta dan tidak di tempat lain, seperti di Jawa Barat yang konon pernah ada dan sekarang mati suri? Mengapa tidak kesana saja untuk ihyaul mawat, menghidupkan sesuatu yang telah mati?

Tidak semudah itu. Mereka ini berdomisili di Yogya. Mereka terikat dengan keluarga dan lembaga tempat mereka mengabdi. Tidak mungkin mereka “bedol desa” dan hijrah semua ke tempat lain. Di Yogya pun, toh mereka berkontribusi di Muhammadiyaj, baik secara resmi atau tidak.

Persoalannya, kita ini terlalu terbiasa dengan sistem organisasi. Dengan demikian, segala sesuatu harus atas nama organisasi. Padahal sejatinya tidak demikian. Gerakan kultural dan struktural, dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi. Lagi pula tidak ada aturan bahwa kita harus bergerak dengan struktur organisasi. Apalagi, gerakan kita memang tidak atas nama organisasi, jadi perjalannya pun bisa lebih lues dan fleksibel.

Apakah nama Markaz Ushuli menihilkan kajian yang sudah ada? Apalagi dengan nama mencantumkan kata “Yogyakarta”? Tentu saja tidak. Karena ini hanya sebuah nama. Banyak majelis taklim dengan nama masing-masing, seperti Majelis Rasulullah, Majelis Dzikir dan lain sebagainya. Toh kelompok pengajian lain yang datangnya lebih dulu, tidak ada yang memprotes. Toh ini karena hanya nama yang bisa saja berubah sesuai kebutuhan. Hanya saja, nama mencerminkan filosofis kelompok yang mempunyai makna tertentu.

Mengapa namanya Markaz Ushuli? Itu juga berangkat dari keinginan bersama untuk menjadi para ulama yang menguasai berbagai piranti ijtihad. Untuk itulah, tema yang dikaji beragam, baik ushul fikih, fikih, falak, tafsir dan lain sebagainya.

Apakah ini tidak elitis dan “sektarian”? Tentu tidak. Memang selama ini, baru mantan aktivis PCIM yang bergabung. Namun kajian selalu dibuka untuk umum. Siapapun yang berminat dipersilahkan untuk bertukar informasi di majelis ini. Untuk itulah, beberapa kali pertemuan, selalu disebarkan undangan umum. Hanya saja, realitanya belum ada yang tertarik mengikuti kajian, selain para mantan aktifis PCIM tadi.

Halaqah ilmiah seperti ini, selayaknya harus selalu didukung bersama. Apalagi di kalangan Muhammadiyah belum membudaya. Halaqah ilmiyah ini juga dapat menjadi solusi alternatif bagi kader muda, untuk menimba ilmu. Ia sekaligus menjadi tawaran bagi mereka, supaya tidak mencari halaqah serupa yang diselenggarakan oleh partai politik.

Jika kita tidak memberikan alternatif, jangan disalahkan jika banyak simpatisan maupun kader yang mencari tempat lain. Kita harus mampu menampung keinginan anggota yang haus ilmu pengetahuan.

Tidak seharusnya segala sesuatu yang digerakkan kader, harus resmi terpaut dengan struktur organisasi. Blog Sangpencerah.com, yang pembacanya cukup lumayan dan selalu update, juga tidak terpaut secara struktural oleh organisasi. Demikian juga dengan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), atau blog pribadi penulis almuflihun.com. Jika semua aktivitas kader harus atas nama organisasi, banyak potensi yang mungkin tidak tersalurkan.

Saya kira Persyaruikatan tidak memberikan aturan sekaku itu. Kader dipersilahkan beraktivitas meski atas nama pribadi. Silahkan juga mengabdikan kemampuannya di Muhammadiyah, meski tidak resmi atas nama Muhammadiyah atau struktur Muhammadiyah.

Tidak perlu pula kita mempertanyakan tentang kualitas keilmuan seseorang. Mereka semua para santri yang masih belajar. Mereka tidak pernah mengklaim sebagai ulama. Para penuntut ilmu itu, nilainya sangat mulia di sisi Allah. Akhirnya, marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan. Fastabiqul Khairat wallahu mustaan.

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

6 − one =

*