Thursday, April 25, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Mengapa Harus Ibnu Taimiyah?; Jawaban atas Tanggapan Tulisan Tentang Quraisy Shihab  

mquraishshihab

Mengenai tulisan saya sebelumnya, “Belajar Dari Ibnu Taimiyah; Studi Kasus Prof. Dr. Quraisy Shihab”, ada yang memberikan tanggapan sebagai berikut:

 

 

Di luar itu, saya gagal memahami mengapa harus diambil contoh Ibn Taymiyah yang sebenarnya adalah salah satu ulama kemudian yang banyak belajar dari Imam Ghazali walau dalam beberapa hal Ibn Taymiyah tidak sejalan dan cenderung tidak sedalam pemahaman Imam Ghazali.

Boleh saja sih kita mengagumi satu sosok alim, tapi tidak berarti kita tidak boleh kritis dan membenarkan atau meluruskannya bila ia ternyata salah atau menyimpang.

 

 

Jawaban saya adalah sebagai berikut:

  1. Mengapa Ibnu Taimiyah?

Kebetulan saja yang  terbesit di otak saya waktu itu adalah Ibnu Taimiyah. Sebenarnya bisa sj mengambil contoh lain seperti al ghazali dg sampel kitab Tahafut al-Falasafah, Ibnu Rusyd dg sampel kitab Tahafut Attahafut, Imam Amidi dengan dg kitab Abkarul afkar fi Ushuludin, Qadhi Abdul Jabar dengan al-Mughninya. Toh gaya mereka dalam memberikan kritikan terhadap ulama lain yang berseberangan dengan pemikirannya, modelnya sama. Mereka mengkritik pemikiran lawan setelah membaca alur pemuikirannya secara komprehensif, baru kemudian memberikan kritikan secara ilmiah dan sistematis. Mereka tidak melakukan bacaan parsial.

 

  1. Terkadang ketika membaca atau mendengar pendapat yang berbeda, karena kekurangan kita dalam menelaah kitab kuning, kita langsung menganggap bahwa pendapat tersebut kontraversi dan bertentangan dengan nas, lalu dengan mudah segera memvonis orang tadi sesat. Padahal pendapat tadi sesunggnya sudah ada dalam kitab kuning, di mana ulama dulu tidak memfatwakan sesat.

Contohnya

  1. Manusia tidak akan masuk surga dg amalnya adalah pendapat mayoritas ulama kalam, dari kalangan asyariyah, salafiyah dan maturidiyah.
  2. Muzanni dari kalanhan Syafiiyah dan Imam Thanari membolehkan wanita menjadi imam shalat bagi makmum laki laki.
  3. Imam Hanafi pernah membolehkan shalat dengan bahasa Persia bagi yang tidak mampu berbahasa Arab.
  4. Imam Hanafi menyatakan bahwa shalat Jumat di sebuah wilayah, cukup dilaksanakan di satu tempat yang ada kantor pengadilannya saja. Atau 1 kabupaten, hanya 1 masjid saja untuk shalat Jumat. Selebihnya shalat zhuhur biasa.
  5. Imam Hanafi membolehkan wanita nikah tanpa wali
  6. Ibnu Hazm mewajibkan wanita hamil agar tidak ber puasa tanpa ia harus qadha dan kafarat.
  7. Ibnu Hazam menyatakan bahwa beronani di siang hari pada bulan Ramadhan tidak membatalkan puasa.

 

Masih banyak lagi contoh-contoh, jika kita angkat saat ini, maka akan dianggap sebagai pendapat yang kontraversi.

 

  1. Tulisan saya bukan menolak sikap kritis, namun justru sebaliknya menjunjung tingi sikap kritis. Hanya saja, kritis yang ilmiah dan setelah membaca pemikiran yang lain secara komperhensif, bukan parsial. Apalagi hanya berdasarkan sumber kedua baik FB atau media.
  2. Tulisan saya juga saya maksudkan agar kita berhati-hati dalam memberikan vonis sesat, syiah, agen zionis dan lain sebagainya kepada lawan pemikiran kita. Karena sikap kita tadi akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah kelak. Wallahu a’lam

 

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

seventeen − 14 =

*