Saturday, April 20, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Kata Perintah Setelah Larangan (Al-Amru Ba’da al-Nahy)

trasPara ulama berbeda pendapat mengenai posisi makna kata perintah (al-amr) yang diletakkan setelah ungkapan kalimat yang sebelumnya melarang atau mengharamkan suatu perbuatan. Sebagian berpendapat bahwa ketetapan hukum yang dapat diambil adalah al-ibâhah (menunjukkan makna boleh). Mereka menyandarkan pendapat ini pada beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah:

وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ

Artinya: “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu”. (QS. Al-Maidah: 2).

 

Lafazh فَاصْطَادُواْ (berburulah) tercantum dalam nash setelah sebelumnya perburuan tersebut diharamkan.

Hanafiyah berpendapat bahwa kata perintah (al-amr) yang terletak setelah suatu perbuatan dilarang atau diharamkan, maka makna yang terkandung di dalamnya adalah li’l wujûb (menunjukkan makna wajib). Sebagaimana kata perintah (al-amr) yang terletak dalam suatu kalimat tanpa didahului oleh kata larangan (al-nahy), yang juga memiliki makna wajib pula.

Menurutnya, pendapat pertama yang mengatakan bahwa ketetapan hukum dari kata perintah (al-amr) setelah larangan (al-nahy) adalah ibâhah, tidak dapat diterima. Hal ini didasari pada pandangan mereka bahwa mencari karunia Tuhan di muka bumi, dan juga mengadakan perburuan adalah perbuatan yang dibolehkan syariat demi kemaslahatan manusia. Jika perbuatan ini dianggap sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan, maka bagi siapa saja yang meninggalkannya akan menanggung dosa. Tentu saja tidak demikian. Jadi, ketetapan hukum dari kata perintah (al-amr) yang tidak disertai dengan indikator (qarìnah) adalah li’l wujûb (menunjukkan makna wajib), lepas apakah lafazh tersebut didahului oleh larangan ataukah tidak. Jika kata perintah (al-amr) dibarengi dengan indikator (qarînah) tertentu, maka makna yang terkandung di dalamnya akan menyesuaikan dengan indikator (qaînah) tersebut.

Menurut mazhab Hanbali, kata perintah (al-amr) setelah larangan (al-nahy) hanya berfungsi untuk menggugurkan larangan tersebut serta mengembalikan suatu perbuatan kepada hukum semula sebelum terdapat larangan. Jika sebelumnya adalah mubâh, maka ia akan kembali kepada mubâh, dan jika sebelumnya adalah wajib maka ia akan kembali kepada wajib.[1]

 

 

[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 295-296

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

2 + 6 =

*