Thursday, April 18, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Kabil dan Habil; Proses Pergulatan Anak Manusia

hqdefault (1) 

Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil, “Sesungguhnya Allah hanya menerima korban dari orang-orang yang bertaqwa”.

 

Buku yang berjudul Kun Ka Ibni Adam karya Jawdad Sa’id merupakan pengantar terhadap problematika yang sedang dihadapi umat manusia sebagai anak cucu Adam. “Jadilah kamu seperti anak Adam,” dalam riwayat lain dikatakan, “Jadilah kamu sebaik-baik anak Adam,” adalah dua hadits nabi yang didajikan penulis sebagai judul buku ini. Penulis sengaja memilih hadits tersebut karena ia menganggap bahwa dalam menghadapi berbagai permasalahan, manusia tidak lebih seperti Qabil yang lebih mengedepankan jalan kekerasan dari pada jalan damai. Qabil memilih untuk membunuh Habil. Ia menyangka bahwa dengan pembunuhan ini, segala urusan akan selesai. Namun menurut Habil, pembunuhan bukanlah solusi yang baik. Ia lebih mempu mengendalikan diri dan berfikir secara jernih. Maka ketika Qabil hendak membunuhnya, ia berkata, “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu”.Dengan ini pula manusia dapat menepis tuduhan Malaikat bahwa penciptaan manusia hanya akan menimbulkan pertumpahan darah. Manusia mempunyai sisi positif lain dan bukan hanya untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Tuhan memberikan amanat kepada manusia agar menundukkan alam semesta. Karena segala ciptaan Tuhan di jagad raya ini hanya diperuntukkan demi kemaslahatan manusia. Menundukkan alam bearti mencari rahasia alam sehingga dapat dimanfaatkan manusia dalam pembangunan peradaban. Manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi diciptakan untuk saling bekerja sama dalam membangun kehidupan yang serasi dan harmonis.

Namun dalam perjalanan sejarah, manusia tidak pernah lepas dari sifat-sifat Qabilisme. Manusia mempunyai sifat ego yang selalu merasa bahwa dirinya lebih tinggi dari orang lain. Manusia terkadang mencontoh iblis ketika di perintah Tuhan untuk bersujud menghormati Adam, Iblis menolak dan mengatakan bahwa ia jauh lebih baik dari Adam dengan logika bahwa ia diciptakan Tuhan dari api, sementara manusia diciptakan dari tanah. Dengan ini pula seringkali manusia menjadikan dirinya sebagai timbangan atas kebenaran orang lain. Maka muncullah orang-orang seperti Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan yang maha tinggi. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, Fir’aun memaksakan kehendaknya kepada siapa saja, sehingga ketika para ahli sihir mengikuti jalan kebenaran, ia mengancam akan membunuh mereka secara kejam.

Langkah Fir’aun tersebut sampai saat ini belum enyah dari muka bumi. Barat yang saat ini memegang tampuk peradaban menganggap dirinya sebagai poros peradaban, sehingga bangsa lain adalah bangsa marjinl yang harus berputer mengikuti arus peradaban Barat. Sebenarnya pemikiran seperti ini bukanlah pemikiran baru. Sebelumnya bangsa Yunani membagi dunia menjadi dua, yaitu bangsa oikoumene (berperadaban) dan bangsa diluar oikoumene (diluar peradaban). Kepercayaan seperti ini berlanjut pada masa Romawi, imeperalisme klasik dan iperalisme modern saat ini. Pasar bebas dan slogan globalisasi tidak lain adalah bentuk pemaksaan peradaban Barat di dunia internasional yang dianggapnya tidak berperadaban. Dalam teori evolusi Darwin dikatakan bahwa bapak manusia adalah kera yang selalu berevolusi hingga menjadi manusia sempurna. Menurut pandangan Darwin, manusia sempurna adalah manusia yang berambut perang (baca: Barat). Dalam artian, bangsa selain Barat  adalah bangsa yang tidak sempurna. Disini nampak sekali sifat rasialisme Barat.

Sifat sombong dan angkuh sebagaimana Fir’aun dalam sekala besar akan berdampak negatif pada perjalanan hidup umat manusia. Pembantaian dan pengusiran bangsa Yahudi di tangan Fir’aun selalu ada dalam perjalanan sejarah. Dahulu ashhabul ukhdud di bakar hidup-hidup, nabi Muhammad beserta para sahabat terpaksa harus hijrah dua kali, jutaan rakyat Indian dibantai oleh kolonial Inggris dan saat ini bangsa Palestina juga mengalami nasib yang sama.

Sikap Fir’aunisme juga nampak dalam lebaga internasional seperti PBB. Di sana tidak ada kesetaraan hukum dan demokrasi. Ketentuan hukum PBB hanya dimonopoli oleh lima negara besar; Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Cina dan Rusia. Selain itu, mereka juga memiliki keistimewaan berupa hak VETO.0 Bahkan saat ini dapat dikatakan bahwa PBB adalah alat Amerika untuk memaksakan kehendak politiknya di dunia internasional. Amerika berhak memberikan sanksi ekonomi, mengangkat dan menurunkan pemimpin negara tertentu meskipun dengan jalur militer dibawah payung PBB.

Bagi penulis buku ini, ia menganggap manusia mulai menyadari bahwa problematika yang dihadapi umat manusia tidak dapat dipecahkan dengan tindakan anarkis. Manusia mulai mencari jalan lain yang lebih baik dan tidak mengorbankan nilai kemanusiaan. Karena dengan ini pula, manusia dapat melepaskan hukum rimba dengan hukum yang lebih manusiawi. Sejarahlah yang mengajarkan manusia bagaimana ia menyikapi perbedaan. Bagaimana mereka bertindak untuk membangun manusia agar terhindar dari jurang kehancuran. Pada akhirnya mereka menemukan solusi terbaik yaitu perdamaian. Dengan ini pula, manusia akan mampu membangun peradaban dengan tanpa mengorbankan manusia lainnya.

Berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun bangsa Eropa mengalami perang saudara. Satu sama lain berambisi untuk menyatukan Eropa dibawah kekuasaannya dengan jalan militer. Namun semuanya gagal. Dan baru pada abad XX Eropa dapat bersatu tanpa melalui jalur pertempuran. Demikian juga dengan permasalahan Arab Israel. Setelah mengalami berbagai pertempuran yang merugikan kedua belah pihak pada akhirnya bangsa Arab pun memilih jalan damai.1

Namun sebenarnya stetemen diatas perlu kita tinjau ulang. Benarkah manusia telah menemukan jalan kebenaran? Benarkah manusia saat ini telah menyadari bahwa Qabilise bukanlah solusi terbaik?.

Benar bahwa Uni Eropa dapat bersatu melalui jalan damai dan bukan dengan ekspansi militer. Namun satu atau dua kasus tidak dapat dijadikan sebagai landasan umum umat manusia seutuhnya. Toh kesatuan Eropa lebih karena unsur politik atau biasa kita sebut dengan maslahat bersama antar sesama negara Eropa. Bahkan jika kita tinjau kebelakang, Uni Eropa tidak lebih dari Alat Amerika untuk membendung keberadaan PAKTAWARSAWA. Terbukti dalam perjanjian Maastricht dikatakan bahwa kerjasama militer bersama antar sesama negara Eropa harus sesuai dengan persetujuan NATO.2

Sementara dalam realitas sosial pun dapat kita saksikan bagaimana sikap Eropa dan Amerika terhadap negara ketiga. Mereka tidak segan-segan membantai ribuan orang untuk mencapai keuntungan pribadi. Negara Afrika meskipun mereka sudah lepas dari imperalisme Barat, namun secara politik mereka masih berada dalam cengkeraman Barat. Kudeta militer di comores pada tahun 2000 ternyata di dalangi oleh Bob Benard, salah seorang intelijen Perancis yang ditugasi khusus untuk membunuh presiden……. comores. Pada tahun 1961, intelijen Amerika berhasil memperalat Tshombi untuk membunuh Batrice Lumumb, salah seorang pemimpin pergerakan kemerdekaan Kongo.3 Belum lama ini, kita menyaksikan pambantaian yang dilakukan Amerika di Afganistan dengan  dalih perang melawan terorisme. Di Irak, lebih dari satu juta orang meniggal semenjak embargo ekonomi PBB yang telah ditunggangi kepentingan Amerika. Belakangan ada berita bahwa Amerika akan kembali menghancur leburkan Bagdad. Bukankah ini adalah bentu-bentuk Qabilisme?

Kondisi di dalam tubuh dunia Islam pun sebagaimana diakui sendiri oleh penulis tidak lebih baik. Memang tidak ada pembantaian besar-besaran seperti yang dilakukan bangsa Barat, namun setidaknya sikap Qabilisme masih dijadikan sebagai solusi awal. Dalam banyak kasus, dunia Islam masih menggunakan sistem diktator. Pesan agama yang mengatakan bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama” belum sepenuhnya direalisasikan.4 Benar bahwa disana ada toleransi antar agama. Namun tidak ada paksaan dalam agama tidaklah memiliki arti sesempit itu. Tidak ada paksaan dalam agama bearti tidak boleh memaksa kehendak orang lain baik secara ideologi, pemikiran dan lain sebagainya. Dunia Islam belum siap menghadapi perbedaan. Di bidang politik, para opisisi sering mendapat tekanan politik bahkan terkadang dipenjarakan tanpa ada proses hukum. Seringkali kita mendengar para aktifis gerakan ikhwanul muslimin di tangkap karena dianggap merong-rong terhadap keberadaan pemerintah yang sah tanpa meberikan bukti nyata. Pemerintah belum siap menghadapi pebedaan pemikiran dengan berdialog secara terbuka. Namun perbedaan pemikiran sering dibalas dengan kekuatan kekuasaan.

Tentu saja hal ini akan berdampak negatif. Mereka yang merasa mendapat tekanan politik karena tidak adanya kebebasan berpendapat akan menempuh jalan lain. Maka ideologi khowarij yang sebenarnya sudah menjadi wacana masa lalu dijadikan sebagai pijakan ideologi mereka. Seringkali kita mendengar pembunuhan para politisi karena didasarkan pada perbedaan persepsi politik. Jika saja dunia Islam sadar mengenai prinsip tidak ada paksaan dalam agama dan pemerintah mau mendengar perbedaan dan keluhan mereka, tentunya bentuk-bentuk radikalesme dapat diminimalisasikan.

Untuk kasus Arab Israel yang belum terselesaikan hingga saat ini adalah akibat kesalahan kolektif seluruh bangsa Arab. Kekalahan perang tahun 1948, 1957 dan 1967 tidak lain karena perpecahan dalam tubuh bangsa Arab itu sendiri. Jika pada tahun 1977 preseden Anwar Sadat mengunjungi Israel dengan menawarkan perdamaian, hal ini bukanlah semata-mata karena keikhlasan presiden Anwar Sadat, namun karena unsur politik. Mesir siap menempuh jalur diplomatik dengan syarat Israel bersedia mengembalikan seluruh semenanjung Sinai. Pada akhirnya, Sadat mendapat kecaman dari bangsa Arab dan dianggap telah berkhianat. Dengan prinsip perdamaian tersebut, akhirnya Sadat mati terbunuh pada tahun 1982.5 Namun apakah dengan jalan diplomatik persoalan Israel sudah selesai? Sampai saat ini PM Israel Ariel Saron masih membantai rakyat Palestina, sementara itu bangsa Arab hanya dapat mengeluarkan kecaman dan kutukan. Amerika dan negara-negara Eropa lainya yang mengaku selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia juga tidak melakuakn tindakan kongret.

Menurut pengakuan penulis, bahwa faktor dominan yang menyebabkan permasalahan Arab Israel belum tuntas sampai saat ini adalah akibat kesalahan bangsa Arab sendiri. Mereka adalah satu rumpun, satu bahasa, satu agama dan bahkan secara geografispun saling berhubungan, namun demikian tidak ada unsur kesepakatan, bahkan terkesan saling mencurigai. Pada tahun 1990 terjadi pertempuran antar sesama negara Arab, sungguh sangat ironis. Sampai saat ini, bias perang teluk masih terasa. Kecurigaan antar sesama negara Arab sulit untuk dihilangkan, hingga ada fameo yang mengatakan bahwa Arab telah sepakat untuk tidak sepakat. Arab melupakan permasalahan mendasar dengan Israel dan membuat masalah baru dalam tubuh mereka sendiri. Jika saja antara sesama negara Arab saling pengertian dan dapat menjalin kerjasama dalam berbagai segmen kehidupan secara harmonis, tentu dunia internasional akan menghormati bangsa Arab. Uni Eropa akan membantu Arab dan Amerika akan meninggalkan Israel sebagaimana Inggris meninggalkan Hongkong. Jika hal ini telah terwujud, cukup dengan mengatakan, “Kami tidak menerima keberadaanmu di sini wahai Israel”, maka Israel akan segera enyah dengan sendirinya.6 Namun semua ini hanya sekedar mimpi. Bangsa Arab masih mengedepankan emosi, bukan rasional. Jika kedepan tidak ada perubahan dalam sikap dan cara pandang antar sesama negara Arab, persoalan yang ada adalam tuuh bangsa Arab sulit untuk dapat diselesaikan. Dan yang mendapat keuntungan adalah Israel bersama sekutunya. Ternyata Arab masih mengedepankan sikap Qabilisme dari pada Habilisme. Dan hal ini tidak hanya problematika Barat ataupun negara Arab, namun problematika umat manusia seluruhnya.

Sebenarnya, Qabilisme dapat dihindari jika manusia mau belajar dari sejarah. Sikap Fir’aunisme pada akhirnya akan mengalami kehancuran. Islam sendiri banyak menganjurkan kepada umatnya agar selalu mengkaji sejarah. Dalam kitab suci, sedidkit sekali Tuhan berbicara mengenai wudu ataupun hukum warits. Tuhan lebih sering menceritakan kisah-kisah terdahulu, bahkan dapat dikatakan bahwa sepertiga dari isi kandungan kitab suci berupa sejarah. Ini menunjukkan bahwa sejarah mempunyai nilai khusus dalam pandangan Tuhan. Sejarah bukanlah sekedar cerita masa lampau yang hanya berguna untuk menghibur anak kecil, namun sejarah adalah gambaran dari kehidupan umat manusia. Dari sejarah kita akan mengetahui bagaimana suatu peradaban lahir, berkembang kemudian hancur. Dari sejarah pula kita dapat mengambil pelajaran berharga agar kesalahan masa lampau tidak terulang dalam perjalanan hidup kita. Sejarah adalah realitas masa lalu yang dapat dijadikan sebagai timbangan kebenaran. Sejarah bukanlah kebohongan dan kepalsuan sebagaimana yang dikatakan oleh Nietzhe, karena sejarah bukanlah kejadian masa lalu yang ditulis oleh para sejarawan. Namun sejarah adalah kejadian itu sendiri, dan kebenaran sejarah dapat diketahui melalui dampak yang ditimbulkan dari proses perjalanan sejarah.

Tuhan telah meletakkan ketentuan hukum dalam sejarah. Dan tugas manusia adalah menyingkap ketentuan hukum Tuhan tersebut. Karena ketentuan Tuhan tidak akan pernah berubah, maka manusia dapat mengkaji ketetuan Tuhan untuk dijadikan sebagai landasan perjalanan sejarah masa depan. Dengan demikian, sejarah dimasa mendatang dapat dibentuk manusia sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Karena manusia adalah subyek dan bukan obyek sejarah.

Nampaknya umat Islam kurang menyadari urgensi sejarah. Kandungan Al-Qur’an yang penuh dengan sejarah kurang mendapat tanggapan serius. Mengenai faktor yang menyebabkan umat Islam awal menjadi poros peradaban serta faktor keruntuhan peradaban Islam  dan keterpurukan kita saat ini sehingga menjadi bangsa marjinal  hanya dapat diketahui melalui sejarah.

Meniali sejarah secara kritis untuk dijadikan sebagai pijakan masa depan adalah satu upaya untuk merubah kepribadian umat Islam. Saat ini umat Islam terkesan lemah dan kurang serius dalam mengejar ketertinggalan. Pada dasarnya, umat memiliki potensi untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Kita memiliki turots yang dapat dikembangankan dalam realitas kontemporer. Bukan bearti kita berlebihan dalam menilai turots atau terlalu bangga dengan sejarah kegemilangan umat Islam, namun yang kita inginkan adalah dalam mengejar ketertinggalan umat Islam tidak kehilangan identitas. Selama ini modernitas terkesan dengan westernitas. Boleh kita mentransfer hal positif dari bangsa lain dengan catatan tidak bertentangan dengan nilai dan norma Islam.

Tidak hanya sejarah Islam yang layak dikaji, namun seluruh sejarah umat manusia. Jika saat ini Uni Eropa dapat bersatu tanpa ekspansi militer, membentuk kerjasama ekonomi bersama dengan lambang satu mata uang Euro dan parlemen bersama, mengapa kita tidak mengambil pelajaran dari mereka? Mengapa sesama dunia Islam masih sering terjadi pergulatan politik bahkan militer. Sejarah mencatat bahwa perpecahan menghalangi kemajuan. Ketenteraman dan kedamaian adalah syarat utama pembangunan peradaban.

Dunia Islam selayaknya mencatat sejarah kehancuran Uni Soviet. Kediktatoran dan pemaksaan kehendak selamanya akan menimbulkan tekanan poltik dan berdampak negatif. Namun demikian dalam menjalankan roda pemerintaham sebagian dunia Islam masih menggunakan sistem ini. Dunia Islam masih mengedepankan sifat Qabilisme dari pada sifat Habilisme.

Sebagai penutup, bahwa pergulatan antara Qabil dan Habil, antara yang benar (al rusyd) dengan yang salah (al ghay) akan selalu terjadi dalam perjalanan umat manusia. Ironisnya, manusia lebih mengedepankan sikap Qabilisme dari pada Habilisme. Kebenaran pada akhirnya memang akan mengalami kemenangan, namun siapa yang mau membela kebenaran? Jika sebagian besar umat manusia lebih memilih sikap Habil, dunia tidak akan pernah menemukan kerdamaian. Tuhan mengangkat hukuman yang sejatinya ditimpakan kepada kaum Nabi Yunus, namun karena mereka kembali kepada kebenaran, hukum Tuhan berubah.

Konon, manusia saat ini hidup pada zaman modern. Namun Qabil masih sering dijadikan sebagai idola hidup. Maukah kita menjadi penolong Habil, mengedepankan rasional dari pada emosi, menjauhkan sikap anarkis dan pemaksaan kehendak? Merubah tatanan dunia dapat dimulai dengan perubahan pada diri kita sendiri. Wallau a’lam

 

And Note

1 Kun Ka Ibni Adam, Jawdat Sa’id hal 11-12

2 Kaifa Nasna’ Al Mustaqba., Roger Garaudi hal. 81

3 Akhbar Al Khaweadits edisi Kamis 27 September 221

4 op cit hal. 57.

5 www. Tempointeraktif.com, Edisi :18 September 2001, Terorisme dan Kebijakan Politik AS di Timur Tengah; Smith Alhadar

6 Kun Ka Ibni Adam, Jawdat Sa’id hal 11-12

 

 

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

nine − 1 =

*