Tuesday, April 23, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Jawaban Imam Amidi atas Kewajiban Pertama Bagi Mukalaf

ilustrasi-_110822161940-182

Jika ragu-ragu dengan eksistensi Allah adalah wajib, bearti ragu-ragu, merupakan sebuah perintah. Padahal manusia agar dapat ragu dengan eksistensi Allah, ia harus tahu terlebih dahulu tentang pengetahuan perintah Allah. Sementara, pengetahuan perintah Allah dan ragu-ragu, adalah dua hal yang kontradiktif. Jadi pendapat di atas gugur.

Kewajiban ragu-ragu tadi, juga bisa jadi atas perintah syariat, atau akal. Jika pengetahuan ragu-ragu itu dari akal, maka akan terjadi kontradiksi. Karena akal tidak akan memerintahkan sikap ragu. Jika pengetahuan ragu-ragu itu dari syariat, maka akan menimbulkan problem, persis seperti problem perintah ragu-ragu dari akal.

ini sebenarnya juga berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, mengenai pandangan ahlul fitrah yang menganggap bahwa untuk makrifat Allah, harus didahului dengan ketiadaan makrifat. Disini yang dipertanyakan adalah bahwa untuk nazar, harus didahului dengan ragu-ragu. Karena antara ragu dan makrifat saling bertentangan. Jawaban detailnya bisa dirujuk ke belakang.

Menurut imam Amidi bahwa sifat ragu-ragu, berada di luar jangkauan manusia. Karena ia diluar jangkauan mukallaf, maka ia tidak wajib. Dengan kata lain, ragu bukanlah kehendak manusia. Sementara suatu kewajiban, hanya bisa dibebankan kepada mukallaf manakala ia dapat mengerjakannya. Ia adalag perkara yang masih dalam kemampuan mukallaf. Keculali jika manusia memang ingin selalu ragu. Bearti itu menjadi kehendaknya.

 

Tentang kewajiban pertama bagi mukallaf, imam Amidi mengatakan: Jika yang dimaksudkan keterangan mengenai kewajiban pertama itu sendiri, maka maksudnya adalah makrifah. Jika yang dimaksudkan keterangan mengenai kewajiban pertama, adalah hal lain yang terkait dengan makrifah, maka ia adalah keinginan untuk melakukan nazar atau sikap selalu ragu mengenai Tuhan. Dengan demikian, jika kewajiban pertama adalah nazar, atau sarana menuju nazar, kemudian dalam hidupnya dia mempunyai waktu untuk melakukan nazar atau untuk dapat mengetahui mengeai eksistensi Allah namun tidak ia lakukan, maka ia kafir.

Contoh: umur 50 tahu, dari baligh hingga mati tidak kenal Allah, maka matinya kafir. Namun jika dia bru saja balig langsung mau nazar dan keburu mati, maka ia dimaafkan. Ia seperti matinya anak kecil yang belum mendapatkan beban taklif.
Contoh, pas baligh, langsung mati. Dia dianggap seperti matinya anak-anak yang belum baligh. Jika dia baru saja menjadi seorang mukallaf (habis balig) namun dia tidak sempat nazar, tidak berusaha melakukan nazar dan meninggal, maka dia dihukumi kafir. Contoh: dari baligh hingga meninggal tidak kenal Allah, maka ia mati kafir. Ini dapat dikiaskan dengan seorang perempuan yang seharusnya puasa tapi tidak puasa, di siang hari, dia haid, maka ia tetap berdsoa karena tidak puasa. Tentang mereka yang belum menerima dakwah Islam, lalu meninggal sebelum kenal Allah, akan dibahas kemudian.

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

five × two =

*