Thursday, April 25, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Ini Lhoo Contoh Perbedaan Ijtihad Semantik Dengan Maqashidi

dfshh

Sebelumnya pernah saya sampaikan mengenai ijtihad semantic dan ijtihad maqashidi. Dalam tulisan tersebut saya sampaikan mengenai berbagai perbedaan mendasar antara ijtihad semantic dam maqashidi. Namun timbul pertanyan, bagaimanakah contoh praktis dari model ijtihad tersebut:

Contoh Sederhananya, sebagai berilut:
Firman Allah:

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [al-Maidah/5: 5]

Perhatikan lafal berikut:
Secara sharih, Allah menghalalkan umat Islam menikahi Kitabiyyah yg muhshanat dari kalangan ahli kitab baik Yahudi ataupun Nasrani. Apalagi di ayat di atas secara jelas menggunakan kata حِلٌّ

Jika kita menggunakan ijtihad semantic maka hokum menikahi wanita yhudi dan nasrani yg muhsanat adalah boleh. Fatwa ini berlaku di berbagai negara baik Timur Tengah, Eropa maupun Amerika.

Namun apakah hukum ini berlaku di Indonesia? Ternyata tidak. Para ulama besar di Indonesia mengharamkan laki-laki muslim menikahi wnaita nasrani apalagi yahudi. Mengapa?

Kita lihat ciri khas ijtihad maqashidi:
Bergerak dari konteks, lalu teks lalu kesimpulan hokum.
Konteks di Indonesia, ternyata berbeda dengan konteks di timur tengah, eropa atau amerika. Di Indonesia, terjadi kristenisasi luar biasa. Salah satu sarana kristenisasi adalah dengan melakukan nikah beda agama. Jadi pernikahan ini, kebanyakan sekadar jebakan agar pasangan pindah ke agama lain. Ini bearti membahayakan bagi eksistensi agama suami.

Di tambah lagi dengan Kristenisasi yang luar biasa. Umat Kristen melakukan berbagai macam cara untuk memurtadkan umat Islam. Pernikahan ini mencari sarana efektif bagi mereka untuk mengkristenkan umat Islam.

Dalam maqashid syariah disebutkan bahwa menjaga agama hukumnya wajib. Segala perbuatan yang kiranya bisa melunturkan keberagamaan harus dicegah. Pernikahan antar agama ini menjadi sarana efektif untuk meluturkan keberagamaan seseorang. Untuk itu ia juga harus dicegah.

Selain itu, kita menggunakan kaedah sad- dzariah yaitu menutup pintu kemudaratan. Artinya, pernikahan beda agama sangat berpotensi untuk dijadikan sarana seseorang keluar dari agama Islam. untuk itu pintu menuju ke sana harus ditutup rapat-rapat. Salah satunya dengan mengharamkan pernikahan beda agama ini.

Juga kaedah lain, yaitu
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menangkal mafsadah harus didahulukan daripada untuk mendapatkan suatu maslahat.

Menikah dengan kitabiyah ini menimbulkan mafsadah bagi eksistensi agama. Sementara agama ini masuk dalam kebutuhan primer syariat atau yang ddisebut dengan adh-dharuriyat. Meski ia mengandung maslahat, namun jika ditimbang antara maslahat dengan mafsadahnya jauh lebih banyak mafsadahnya. Untuk itu, maka pernikahan beda agama ini harus di tutup.

Apakah ini tidak menyalahi hokum agama? Apakah merubah fatwa ini diperbolehkan? Jawabnya adalah kaedah berikut, seperti yang dinyatakan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab I’lamul Muwaqqiin:
تغير الفتوى واختلافها بحسب تغير الازمنة والامكنة والاحوال والنيات والعوائد
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat

Melihat kaedah tadi, maka perubahan fatawa ini tidak dianggap menyalahi hokum syariat. Bahkan ia sendiri bagian dari hukum syariat. Hal itu karena hokum syariat selalu melihat maslahat hamba, seperti pernyataan Ibnul Qayyim dalam kitab I’lamul Muwaqqiin mengatakan, “Landasan dan pondasi hukum syariat adalah maslahat hamba baik di dunia maupun di akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya rahmah, semuanya mengandung maslahat, dan semuanya mengandung hikmah. Semua persoalan yang keluar dari jalur keadilan menuju kezhaliman, dari rahmah kepada sebaliknya, dari maslahat menuju mafsadat, dan dari hikmah menuju kesia-siaan, maka itu bukan lagi bagian dari syariat, meski itu sudah ditakwil”.

Dalam kitabnya, Iz Ibnu Abdussalam dalam kitab Qawaidul Ahkam berkata, “Mendahulukan maslahat yang kemungkinan besar akan didapatkan dari mafsadah yang kemungkinan kecil akan muncul merupakan perbuatan baik yang terpuji. Menutup mafsadah yang kemungkinan besar akan muncul, dari maslahat yang kemungkinan kecil akan muncul itu perbuatan baik dan terpuji” Jadi, inilah yang menjadi alas an mengapa pernikahan dengan wanita Kristen di Indonesia di haramkan.

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

4 × 2 =

*