Makna Ijab Kabul
Ijab adalah ucapan pertama dari pihak laki-laki, sedangkan kabul adalah jawaban dari pihak perempuan.[1] Ungkapan akad nikah tersebut sering disebut dengan shîgah, dan isi dari pada shîgah adalah ijab kabul.[2]
Makna ijab menurut madzhab Hanafi adalah ucapan pertama dari kedua mempelai dan kabul adalah ucapan kedua setelah lafal ijab.[3]
Syarat -syarat Ijab dan Kabul (Shîghah)
1. Lafal akad dalam satu tempat
Jumhur ulama mengatakan bahwa ungkapan lafal kabul harus terucap setelah lafal ijab, walaupun tempatnya berbeda. Shîgah (ungkapan ijab Kabul) tetap sah, jika lafal ijab dan kabul langsung terucap, tidak ditunda dengan pekerjaan atau dengan perbincangan lainnya.
Ini juga berlaku pada ketetapan hukum tentang lafal ijab kabul melalui telepon, internet, atau alat komunikasi lainnya. Selama diucapkan secara langsung dan tidak diselingin dengan sesuatu, maka hukumnya sah.
Tentang lafal ijab kabul yang diucapkan secara langsung (tidak diselingi dengan perbuatan lain), ada perbedaan pendapat. Apakah lafal ijab kabul termasuk salah satu dari syarat shîghah atau tidak? Madzhab Maliki, Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa lafal ijab kabul secara langsung bukan termasuk syarat shîghah, sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa lafal ijab kabul secara langsung adalah salah satu dari syarat shîghah. Jumhur ulama banyak merajihkan pendapat pertama.
Gambaran masalah | Madzhab | Hukum |
Ijab kabul yang diucapkan secara langsung | Madzhab Maliki, Hanafi dan Hambali | Bukan termasuk syarat shîghah |
Madzhab Syafi’i | Termasuk syarat shîghah |
- Shîghah (ungkapan ijab dan kabul) harus terdengar dan dapat dipahami. Bagi orang buta dan tuli, jika lafal akad nikah dilakukan dengan surat atau bahasa isyarat, selama dapat dipahami maka hukum lafal akad tetap sah.
- Perkataan mujib tidak ditarik kembali sebelum lafal kabul terucap.
4. Kesepakatan dalam mengucapkan lafal ijab kabul.
5. Lafal ijab kabul harus bersifat mutlak, tidak terikat.[4]
[1] Dr, Abdul Karim Zaidan., Op. Cit., hal . 80
[2] Ibid., hal 81
[3] Dr, Fikriyah Ahmad Said, hal. 73
[4] ]Dr. Fathiyah Mahmud al-Hanafi, Op. Cit., hal. 103-106