Thursday, April 25, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Hukum Zhâhir

dsag
  1. Lafazh zhâhir memungkinkan adanya takwil. Yang dimaksudkan dengan takwil di sini adalah, memalingkan dari makna zhâhir, menuju makna lain yang dimaksud. Seperti mengkhususkan suatu lafazh yang masih bersifat umum (takhshîsu’l ‘âm), atau memberikan batasan (qayat) jika lafazh tersebut berbentuk mutlak, atau kemungkinan lafazh tersebut merupakan ungkapan metafor (al-majâz), bukan ungkapan yang sesungguhnya (al-haqîqah), atau bentuk-bentuk takwil lainnya.
  2. Selama tidak ada indikator yang menunjukkan pada makna lain, maka lafazh tersebut wajib dilaksanakan secara zhâhir. Karena pada dasarnya tidak boleh memalingkan lafazh dari makna zhâhir, terkecuali ada indikator yang menunjukkan pada makna lain.

Contoh:

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah: 275).

 

Dari zhâhir ayat tersebut menunjukkan bahwa segala macam jual beli hukumnya halal. Namun kemudian ada ayat lain yang memberikan spesifikasi (tahshîsh) bahwa tidak semua jual beli halal. Namun ada sebagian jual beli yang hukumnya haram, seperti jual beli minuman keras, jual beli sesuatu yang bukan menjadi hak miliknya, atau lain sebagainya sebagaimana diterangkan oleh syariat.

  1. Jika kemudian ada dalil yang menunjukkan bahwa lafazh tersebut memiliki takwilan tertentu, maka makna lafazh berubah dari makna secara bahasa (lughâwiy) kepada makna lain yang sesuai.
  2. Dalil tersebut pada dasarnya dapat menuntun para mujtahid dalam berijtihad dengan akal kepada makna sebenarnya yang dimaksudkan oleh nash. Para mujtahid tidak diperkenankan berpegang pada makna secara bahasa (lughâwiy) yang nampak dari lafazh tersebut, dan kemudian mengabaikan apa yang dimaksud syariat sebagaimana tertera dari lafazh.
  3. Maka, lafazh zhâhir meski terdapat kejelasan makna yang langsung dapat dipahami dari lafazh secara langsung, namun sesungguhnya makna yang dimaksud bukanlah makna secara zhâhir, namun makna lain, karena ia masih ada kemungkinan takwil.[1]
  4. Memungkinkan adanya perubahan (nashkh) pada masa Rasulullah Saw., karena tidak ada nashkh setelah wafatnya Nabi.[2]

[1] Dr. Fathi Addarini, op. cit., hal. 46-47

[2]Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 340

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

fourteen − eleven =

*