Saturday, April 20, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Hukum Muqayyad

WP-Word-MuslimJika lafazh dalam kalimat diikat dengan sifat tertentu, maka ketetapan hukum berlaku pada ikatan lafazh dalam kalimat tersebut. Tidak dibenarkan membuang sifat suatu lafazh dalam ungkapan kalimat jika tidak terdapat dalil yang dapat dijadikan sebagai argumentasi.[1] Contoh ketetapan hukum pada kafarat zhihâr dalam ungkapan ayat berikut:

فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا

Artinya: “Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak) maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur”. (QS. Al-Mujâdilah: 4).

 

Lafazh فَصِيَامُ  (puasa) diikat denganشَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ  (dua bulan berturut-turut). Dari ungkapan ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ketetapan hukum yang berlaku adalah puasa yang dikerjakan secara berurutan. Jika puasa tidak dilakukan secara berurutan maka orang tersebut belum dianggap memenuhi kafarat dzihâr.

Secara ringkas, bahwa lafazh dalam kalimat yang diikat dengan sifat tertentu, akan menghasilkan ketetapan hukum sesuai dengan ikatan dalam lafazh, terkecuali jika terdapat ungkapan lain yang dapat dijadikan sebagai argumentasi untuk merubah status hukum dari muqayyad menjadi muthlaq.[2]

 



[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 284

[2] Dr. Wahbah Zuhaili, op. cit., hal.209

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

14 + fourteen =

*