Para fuqaha berpendapat bahwa ijab kabul dengan menggunakan selain bahasa dianggap sah. Menurut Imam Syafi’i dan Ibnu Qudama, seperti termaktub dalam kitab al-mughnî bahwa bagi yang menguasai lafal ijab kabul dengan bahasa Arab, maka dia harus menggunakan ijab kabul dengan bahasa Arab. Jika tidak, maka nikahnya diangap tidak sah.
Sementara itu, Abu Hanifah membolehkan akad nikah dengan selain bahasa Arab, walaupun mempelai mahir berbahasa Arab. Hal ini karena ungkapan ijab kabul adalah ungkapan khusus yang hanya diucapkan ketika pernikahan saja.[1]
Menurut Abdul Karim Zaidan, bahwa ijab Kabul dapat diucapkan dengan bahasa apapun. Islam adalah agama yang mudah sehingga diharapkan tidak mempersulit sesuatu yang sudah dimudahkan oleh Islam. Ijab dan kabul sesungguhnya dimaksudkan agar kedua mempelai, ketika menikah saling memahami dan saling merestui, dan bukan karena unsur keterpaksaan. Ungkapan ijab kabul sesungguhnya adalah bukti dari kerelaan kedua mempelai tersebut.[2]
Menurut madzhab Hambali, jika kedua mempelai paham berbahasa Arab, maka hendanyak ungkapan akad nikah dilafalkan dengan bahasa Arab. Jika kedua mempelai tidak paham bahasa Arab, maka ungkapan akad nikah boleh dilafalkan dengan bahasa selain bahasa Arab.
Sebagian fuqaha mengatakan jika kedua mempelai mahir dan paham bahasa Arab, maka tidak boleh akad diucapkan dengan ungkapan selain bahasa Arab. Pendapat yang dianggap rajih adalah pendapat Hanafi yang mengatakan bahwa hukum akad dengan selain bahasa Arab dianggap sah, meski kedua mempelai paham bahasa Arab, selama bahasa tersebut dapat dipahami oleh saksi dan yang lainnya.[3]
Gambaran Masalah | Pendapat Madzhab/Ulama | Catatan | Hukum |
Lafal Ijab Kabul dengan Menggunakan Selain Bahasa Arab
| Imam Syafi’i dan Ibnu Qudama | Jika mempelai bisa bahasa arab | Tidak sah |
Imam Syafi’i dan Ibnu Qudama | Jika mempelai tidak bias bahasa Arab | Sah | |
Abu Hanifah, Abdul karim Zaidan | Meski mempelai bisa bahasa Arab | Sah | |
Madzhab Hambali | Jika mempelai bisa bahasa Arab, hendaknya menggunakan bahasa Arab | Sah |
[1] Al-Sayyid Sabiq, Fikihu al-Sunnah, al-Fathu li’l I’lâm al-‘Arabiy, cet. III, Kairo vol II, hal. 322
[2] Ibid., hal. 323
[3] Dr. Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal. 90