Jika tradisi suatu daerah mengucapkan akad tidak fasih, sebagai contoh zawaj berubah jadi (Jawâj), sehingga terjadi kesalahan dalam ungkapan lafal akad tersebut, maka kesalahan tersebut dapat dimaklumi dan akad pun dianggap sah. Contoh, jika wali mengatakan, “Jawwaztuki binti hâdzihi” (aku nikahkan anakku ini), kemudian orang yang melamar menjawab, “qabiltu hâdza al-jawâz” (aku terima pernikahan ini). Demikian juga jika dalam ucapan ijab terdapat kesalahan dalam i’rab atau dalam struktur kalimat, maka ijab kabul tetap dianggap sah. Sebagaimana jika seorang wali mengatakan “zawajtu laka binti aw zawajtu binti ilaika” (aku nikahkan anak putriku kepadamu). Nikah dianggap sah, selama tidak merusak makna. [1]
Contoh lain:
“Aku neeekahkan anakku dengan mahar seperangkat alat shalat.” Wali tidak menggunakan ungkapan nikah, tapi neeekah. Meski secara bahasa salah, namun maksud dari akad tersebut dapat dipahami sehingga akad dianggap sah.