Thursday, April 25, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Hukum Akad Nikah dengan Syarat

Maksud sywiwit-heri-7arat di sini adalah ketika salah seorang dari kedua mempelai dalam akad nikah meminta syarat tertentu.

Menurut Madzhab Hanafi bahwa syarat dibagi menjadi tiga; pertama, syarat yang benar. Kedua, syarat yang salah. Ketiga, syarat yang batil.

Keterangan, sebagai berikut:

  1. Syarat dari para mempelai dianggap sah manakala memenuhi kriteria sebagai berikut:
    1. Syarat yang berkaitan dengan akad, seperti; syarat seorang istri kepada suaminya yang meminta agar seorang suami memberi nafkah bagi dirinya.
    2. Syarat yang menguatkan akad, seperti; seorang istri meminta mahar kepada suaminya.
    3. Syarat yang dibolehkan oleh syariat meskipun tidak ada hubungannya dengan akad atau tidak menguatkan akad, seperti; seorang istri meminta dibolehkan cerai jika dia minta cerai dari suaminya.
    4. Syarat akad yang sesuai dengan tradisi, seperti; pemberian mahar sebelum akad nikah.

2. Syarat dari para mempelai yang dianggap tidak sah, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Syarat yang tidak berkaitan dengan akad.
  2. Syarat yang tidak menguatkan akad.
    1. Syarat yang tidak dibolehkan oleh syariat meskipun tidak ada hubungannya dengan akad atau tidak menguatkan akad.
    2. Syarat akad yang tidak sesuai dengan tradisi.

 

3. Syarat-syarat yang batil, yaitu akad nikah dengan syarat-syarat yang dilarang oleh syariat. Atau memberikan syarat dengan mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.[1]

 

Jika akad nikah disertai dengan syarat tertentu, syarat tersebut bisa jadi berkaitan dengan akad nikah, atau tidak ada kaitannya sama sekali dengan akad nikah. Syarat tersebut bias saja mempunyai manfaat bagi kedua mempelai, atau justru bertentangan dengan syariat dan tidak memberikan manfaat apapun bagi mempelai. Tentu saja, setiap persoalan tersebut mempunyai ketetapan hukum sendiri. Lebih detailnya sebagai berikut:

  1. Syarat yang harus dipenuhi

Yaitu apabila wali atau suami mengajukan syarat yang baik bagi istrinya seperti: “Setelah menikah saya akan menafkahimu”. Syarat seperti ini harus dipenuhi oleh suami.

  1. Syarat yang tidak boleh dipenuhi.

Yaitu apabila suami mengajukan syarat kebalikan dari syarat di atas, seperti: “Setelah saya menikahimu, saya tidak mau menafkahimu” atau “Setelah saya menikahimu, saya tidak mau berhubungan badan denganmu” atau “Setelah saya menikahimu, saya akan menafkahi dengan hasil pekerjaan haramku”.

  1. Syarat yang berguna bagi istri.

Yaitu syarat yang memberikan manfaat bagi isti, seperti, “Setelah saya menikahimu, saya akan pergi ke negerimu”.  Menurut Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa syarat seperti ini, tidak mempengaruhi sah tidaknya akad pernikahan. Artinya dengan syarat ini, pernikahan tetap dianggap sah, walaupun suami tidak menepati janjinya tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa syarat tersebut harus ditepati. Jika tidak ditepati, hukum nikah menjadi rusak. Dalil dari pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifa, dan sebagian ulama lain sebagai berikut:

 

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ , وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

Artinya: “Setiap syarat yang bertentangan dengan kitab Allah (al-Qur’an) maka ia batal, meskipun sampai seratus syarat.” (HR. Bukhari).



[1]                      Dr. Fikriyah Ahmad Said, op. cit., hal. 108-111

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

2 × 3 =

*