Thursday, April 18, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Hajiyat Terdapat Dalam Urusan Akidah, Muammalat dan Akhlak

Sebelumnya telah kami sampaikan terkait hajiyat dalam tinjauan maqashid syariah. Juga sudah kami sampaikan terkait beberapa kaedah yang umum digunakan para ulama ushul sebagai sandaran hukum tersebut. Kita akan lanjutkan pada ruang lingkup hajiyat.
Hajiat yang berupa keringanan hamba, diberikan Allah kepada para hamba-Nya yang merasa keberatan atau kesusahan dalam menunaikan hukum syariat. Keringanan tersebut, mencakup semua urusan, baik akidah, ibadah, muammalah dan juga akhlak. Untuk mudahnya, saya akan memberikan beberapa contoh sebagai berikut:

Dalam urusan akidah, dibolehkan mengucapkan ungkapan kekafiran, apabila ia diancam akan dibunuh. Diceritakan bahwa Yasir ayahnya Ammar beserta istinya mendapatkan siksaan luarbiasa dari orang kafir. Mereka baru akan dilepaskan manakala mereka mengucapkan ungkapan yang menjurus kepada kekafiran. Mereka berdua tetap bersikukuh dengan keimanannya. Pada akhirnya, keduanya dibunuh. Mereka berdua adalah dua orang pertama yang syahid di jalan Allah dalam Islam.

Sementara itu, anaknya yang bernama Ammar, tidak kuat dengan siksaan. Dia memilih untuk mengucapkan kekafiran. Hanya saja, hatinya tetap beriman kepada Allah swt. Ia melakukan takiyah untuk menyelamatkan jiwanya. Jika bukan karena takiyah ini, maka nasibnya akan sama dengan kedua orang tuanya. Ia akan mati dibunuh orang kafir.

Para sahabat ada yang mendengar tentang Ammar yang mengucapan kekafiran, mereka mengadukan peristiwa ini kepada rasulullah saw. Mereka mengira bahwa Ammar telah murtad. Namun apakah yang disampaikan rasul?
“إن إيمان عمار من مفرق رأسه إلى قدمه، وإن الإيمان في عمار قد اختلط بلحمه ودمه
Sesungguhnya keimanan Ammar penuh dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Sesungguhnya iman Ammar telah menyatu dengan darah dagingnya.
Dari sini lalu turun ayat berikut:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Dengan cerita dan ayat ini, secara jelas bagi seorang muslim untuk mengambil rukhsah dalam urusan akidah. Boleh ia mengucapkan kekafiran tatkala ia diancam atau disiksa akan dibunuh, namun dengan hati tetap beriman kepada Allah swt.

Kedua terkait dengan ibadah. Contohnya sangat banyak, di antaranya adalah bahwa seorang yang melakukan safar, boleh shalat jamak dan qashar. Orang safar dan orang lanjut usia yang sudah tidak kuat berpuasa juga boleh tidak berpuasa. Terkait hal ini dapat dilihat dari nas berkut:

وَاِذَاضَرَبْتُمْ فِى اْلاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلَوٰةِ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا اِنَّ اْلكفِرِيْنَ كَانُوْالَكُمْ عَدُوًّامُّبِيْنًا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qoshor sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. An Nisa’: 101)
‘Aisyah ra berkata:
أَنَّ الصَّلاَةَ أَوَّلُ مَافُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ،فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِوَأُتِمَّتْ صَلاَةُ الحَضَرِ
“Pertama kali sholat diwajibkan adalah dua raka’at, maka tetaplah sholat musafir dua raka’at dan shalat orang yang muqim (menetap) sempurna (empat raka’at).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Ibnu ‘Abbas ra berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَالعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَاْلعِشَاءِ
“Apabila dalam perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Zhuhur dengan Asar serta Maghrib dengan ‘Isya’.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan sesiapa yang sakit atau bermusafir, hendaklah menggantikannya pada hari-hari lain.” (QS. Al-Baqarah: 184).
Juga hadis nabi berikut:

كان رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم في سفرٍ ، فرأى زِحامًا ورجلاً قد ظُلِّلَ عليه ، فقال: ما هذا. فقالوا: صائمٌ, فقال: ليس من البرِّ الصومُ في السفرِ
Rasulullah ﷺ bermusafir, lalu beliau melihat orang ramai berdesak-desakan dan seorang lelaki sedang berteduh. Lalu beliau bertanya: “Ada apakah?” Orang ramai menjawab: “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Lalu baginda berkata: “Bukanlah suatu kebaikan seseorang berpuasa ketika bermusafir.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam muammalah ketika kita ingin membeli barang, wujud barang dan takarannya harus jelas. Tidak diperkenankan membeli barang yang wujud dan takarannya belum jelas, sesuai dengan hadis berikut:

قَدِمَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ : مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun. maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memesan kurma, maka hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan dan tempo yang jelas (diketahui oleh kedua belah pihak).” [Muttafaqun ‘alaih]

Meski demikian, Rasulullah saw membolehkan transaksi pesanan itu. Para ulama menyebutnya dengan istilah salam. Hadisnya sebagai berikut:
من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Barangsiapa memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran, timbangan serta tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]

Dalam akhlak pun, boleh mengambil rukhsah. Di antaranya adalah dibolehkannya berbohong untuk mendamaikan dua orang yang sedang berseteru. Dalilnya sebagai berikut:
أَنَّ أُمَّهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِى مُعَيْطٍ وَكَانَتْ مِنَ الْمُهَاجِرَاتِ الأُوَلِ اللاَّتِى بَايَعْنَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَقُولُ « لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِى خَيْرًا ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِى شَىْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.
Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin ‘Abi Mu’aythin, ia di antara para wanita yang berhijrah pertama kali yang telah membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan dia antara pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih).”
Ibnu Syihab berkata, “Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk berdusta di dalamnya kecuali pada tiga perkara, “Peperangan, mendamaikan yang berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri pada suami (dengan tujuan untuk membawa kebaikan rumah tangga).” (HR. Bukhari dan Muslim).

======================
Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan Pondok Modern Almuflihun, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

four × 3 =

*