Friday, April 19, 2024
Artikel Terbaru

Ushul Fikih

Pendapat Ulama Syafiiyah Terkait Hidangan Makanan Dari Keluarga Mayit; Bid’ah Munkarah

 Biasanya setelah ada kematian, keluarga korban akan melakukan tahlilan dengan mengundang para tetangga. Tahlilan sendiri sudah menjadi budaya umum di kalangan masyarakat kita.       Terkait membaca doa untuk si mayit, semua ulama sepakat tidak menjadi persoalan. Bahkan sebagai sesama muslim kita dianjurkan untuk saling mendoakan. Allah berfiman:    رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي ... Read More »

Hukum Khâs

Khâs dengan sendirinya adalah lafazh yang sudah memiliki kejelasan makna. Khâs tidak membutuhkan rincian dan reinterpretasi terhadap makna seperti halnya lafazh umum. Karena khâs memberikan makna sesuai dengan makna terapan suatu lafazh.[1] Khâs dilihat dari segi makna yang terkandung di dalamnya menunjukkan makna pasti dan qat’’iy, dengan catatan tidak ada ungkapan yang dapat memalingkan lafazh tersebut menuju makna lain. Yang ... Read More »

Khâs, ‘Am, dan Musytarak

    Relasi antara lafazh dengan makna khâs hâs secara etimologi berarti tunggal. Sementara secara terminologi berarti setiap lafazh yang hanya memiliki satu makna saja. Khâs dibagi menjadi tiga: Khâs syakhshiy (khusus berkaitan dengan individu), seperti nama orang. Contoh lafazh Muhammad dari firman Allah: مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ Artinya: “Muhammad adalah utusan Allah.” (QS Al-Fath: 29) Juga lafazh Nuh, Ibrahim, Musa dan ... Read More »

Syarat Mafhûm Mukhâlafah Yang Berkaitan Dengan Manthûq

   Manthûq bihi tidak keluar dari adat kebiasaan. Jika keluar dari adat kebiasaan, tidak dianggap mafhûm. Contoh: وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ Artinya: “Anak-anak istrimu yang berada dalam kamarmu dari istri yang telah kamu campuri”. (QS. Al-Nisâ: 23).   Sudah menjadi adat kebiasaan bahwa anak-anak istri berada di dalam kamar ayah mertuanya. Dengan demikian, keberadaan mereka ... Read More »

Pengertian Dilâlah Lafzhiyyah

Dilâlah adalah kata umum, mencakup dilâlah lafzhiyyah, dilâlah ghairi lafzhiyyah dan dilâlah aqliyyah. Dalam pembahasan ini hanya akan memfokuskan pada dilâlah lafzhiyyah saja. Hal ini dikarenakan dilâlah lafzhiyyah bersentuhan dengan nash secara langsung. Tujuannya adalah mengkaji dan mengungkapkan maksud dan makna lafazh dalam nash. Menurut Asnawi, dilâlah lafzhiyyah adalah lafazh jika diungkapkan akan dapat dipahami suatu makna bagi mereka yang ... Read More »

Dilalah Dalam Ushul Fikih

Definisi dilâlah ilâlah adalah suatu petunjuk yang dapat menuntun kita pada pengetahuan tertentu, seperti petunjuk lafazh atas suatu makna, petunjuk isyarat, lambang, kata kiasan, atau akad dalam transaksi tertentu yang menunjukkan pada makna tertentu juga, baik makna tersebut disengaja ataukah tidak, seperti seseorang yang bergerak menandakan bahwa ia masih hidup.[1] Menurut kamus bahasa Muhammad Ridha, dalâlah dan dilâlah adalah isim ... Read More »

Komparasi Metode Hanafiyah dan Mutakallimûn Terkait Dilalah

Dari paparan di atas, dapat dilihat bahwa antara Hanafiyah dengan mutakallimûn banyak memiliki persamaan. Perbedaan memang ada, namun tidak terlalu banyak. Titik perbedaan berawal dari perbedaan metodologi yang digunakan, perbedaan pandangan terhadap suatu lafazh dan juga perbedaan dalam mencari petunjuk lafazh atas makna tertentu. Hanafiyah menjadikan petunjuk lafazh atas makna selama makna adalah maksud lafazh meski hanya dependen (tab’iyah), mereka ... Read More »

Pembagian Mafhûm Mukhâlafah.

Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul mengenai jumlah bagian dalam mafhûm muhâlafah. Perbedaan tersebut timbul akibat dari perbedaan mereka dalam memberikan batasan ikatan pada nash atau ungkapan dalam nash. Mazhab Maliki membagi mafhûm mukhâlafah menjadi 13 bagian, sementara imam al-Zarkasyi membagi menjadi 11 bagian. Al-Amidi membagi menjadi 10 bagian, sementara imam al-Ghazali membagi menjadi 8 bagian. Meskipun terjadi perbedaan dalam ... Read More »

Syarat-syarat Mafhûm Mukhâlafah yang Berkaitan dengan Maskût ‘Anhu

 Maskût‘anhu tidak memiliki tingkatan lebih tinggi atau tidak memiliki tingkatan yang sama dalam ketetapan hukum dibandingkan dengan manthûq. Jika maskût‘anhu memiliki tingkatan lebih tinggi atau memiliki tingkatan yang sama dalam ketetapan hukum, maka lafazh tersebut masuk dalam mafhûm muwâfaqah. Contoh: فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَر Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak ... Read More »

Syarat-syarat Mafhûm Mukhâlafah

Jumhur ulama yang mengakui hujjah mafhûm mukhâlafah memberikan beberapa syarat, di antaranya syarat yang berkaitan dengan maskût anhu (mafhûm) dan yang berkaitan dengan manthûq. Jika dilihat dari berbagai syarat yang diletakkan para ulama, tidak akan lepas dari satu standar umum, yaitu takhshîsh manthûq hanya dapat digunakan dalam menafikan hukum pada maskût ‘anhu. Jika takhshîsh ternyata dapat digunakan selain untuk menafikan ... Read More »