Thursday, March 28, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Cara Pandang Terhadap Hukum Islam Perlu Direvormasi?

عفقث

Artikel ke-13, masih mengcounter tulisan M Amin Abdullah dari buku Fikih Kebinekaan.

Ketiga, fitur keterbukaan (الانفتاحية  al-infitahiyyah, openness). Fitur ini berfungsi untuk memperluas jangkauan makna ‘urf (adat kebiasaan). Jika sebelumnya urf dimaksudkan untuk mengakomodasi adat kebiasaan yang berbeda dengan adat kebiasaan arab (titik tekannya hanya pada zaman (waktu) dan makan (tempat), makaurf dalam konteks saat ini titik tekannya lebih pada pandangan dunia dan wawasan keilmuan seorang fakih (نظرية المعرفة  nashariyah al ma’rifah yang dimiliki seorang fakih), selain ruang, waktu dan wilayah.  Akan tetapi, “padangan dunia” seorang fakih (ahli agama), haruslah “kompeten” yaitu di bangun di atas basis fondasi “ilmiah”.  Setidaknya ada dua implikasi dari reformasi ini dalam cara pandang terhadap hukum Islam, yaitu mengurangi literalisme dalam hukum Islam yang akhir-akhir ini kembali marak; serta ‘membuka’ sistem hukum Islam terhadap kemajuan dalam ilmu-ilmu alam, sosial dan budaya. Selain itu, hukum Islam juga dapat melakukan pembaruan diri melalui sikap keterbukaannya terhadap keilmuan lain, yang akan ikut membentuk ‘pandagan dunia seorang fakih yang kompeten’, termasuk di dalamnya adalah keterbukaan para ahli agama, para ahli fikih, terhadap masukan-masukan dari ilmu-ilmu sosil dan filsafat (critical philosophy). (fikih kebinekaan: 63)

 

Mari kita sejenak kembali kepada turas Islam:

Mengenai wawasan keilmuan ini, sesungguhnya sudah umum berlaku di kalangan para fakih masa lalu. Lihat lah misalnya Imam al-Ghazali, ia adalah seorang fakih, ushuli, mutakallim, failusuf dan mutashawwif. Dari sisi wawasan keilmuan, tidak ada yang meragukan kehebatan Imam al-Ghazali.

 

Dalam bidang fikih, beliau menulis kitab Atta’liqah Fi Furu’il Madzhab, Kitabul Wajiz Fi Al-Fiqh, Al-Basith, dan yang paling monumental adalah ihya ulumuddin. Yang terakhir ini adalah kitab fikih yang berbalut dengan tasawuf.

 

Beliau juga seroang failusuf dengan menulis banyak buku filsafat, di antaranya adalah maqashid al-falasafah, Al-Ghayatu al-Ghaur fi Dirayati Addaur, Kimiyatussa’adah, al-Ma’arif al Aqliyyah wal Asrar al-Ilahiyyah, Mizanul amal, Al-Munqidz Minadhalal, dan lain sebagainya.

 

Dalam ilmu ushul fikih, beliau menulis kitab Al-Mankhul fi Ilmil Ushul, Al-Mustasfa, Asasul Kiyas, Tahdzibul Ushul, Syifa’ul Ghalil, Kitabun fi Mas’alati Kuli Mujtahidin Musibun, Jawabu Mufhasalil Khilaf dan lain sebagainya. Dalam ilmu logika (mantiq), beliau menulis buku Mi’yarul ilmi, Al- Qisthas Al-Mustaqim, Mi’yarul ‘Uqul, Mahaqqunnazhar fil Mantiq, dan lain sebagainya. Dalam ilmu jadal, beliau menulis buku al-Muntakhal fi Ilmil Jadal.

 

Di ilmu kalam, beliau menulis kitab al-Iqtshad fil I’tiqad, Fadhaih al-Batiniyyah, Arrisalah al-Qudsiyyah, Qawaidul Aqaid, Jawabu al-Mmas’alatil Arba Allati Sa’alaha al-Bathiniyyah, kitabu al-Arba’in fi Ushuluddin, Faishalu Attafriqah Bainal Islami waz-Zindiqah, dan lain sebgainya.

 

Di bidang tashawuf, beliau menulis kitab ‘Ajaibul khawas, Ihya Ulumuddin, Addurrah al-Alhirah fi Kasyfi Ulumil Akhirah,  Dalam tafsir al-Quran, beliau menulis buku Tafsir Yaqutu Atta’wil. Dan masih banyak lagi karya Imam Al-Ghazali dan berbagai cabang ilmu pengetahuan.

 

Kemampuan seorang fakih yang ensiklopedis dengan menguasai banyak ilmu ini, tidak hanya dimiliki oleh al-Ghazali, namun juga oleh ulama Islam lainnya seperti imam Ibnu Rusyd. Beliau ini adalah seorang dokter, fakih, ushuli dan failusuf.  Ada juga imam Razi, Imam Baidhawi, Imam Haramain, Imam Suyuthi, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan ribuan ulama lainnya.

 

Jika Amin Abdullah mengatakan “Akan tetapi, “padangan dunia” seorang fakih (ahli agama), haruslah “kompeten” yaitu di bangun di atas basis fondasi “ilmiah”, sesungguhnya pernyataan ini sudah lazim di kalangan ulama kita terdahulu. Apakah kita akan mengatakan bahwa imam Ghazali, Ibnu Rusyd, Imam Haramain, As-Sarkhasi, dan ribuan ulama lainnya tidak kompeten dan tidak ilmiyah? Apakah kita akan mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai “pandangan dunia”  dan tidak punya wawasan keilmuan?

 

Jika kita buka lagi turas Islam, ternyata apa yang disampaikan oleh Amin Abdullah itu sudah umum terjadi dan bahkan menjadi prasyarat seorang fakih. Jika demikian, lantas apa yang harus direvormasi?  “Setidaknya ada dua implikasi dari reformasi ini dalam cara pandang terhadap hukum Islam”, pernyataan Amin Abdullah seperti ini jadi tidak ada gunanya. Tidak ada yang perlu direvormasi. Yang dibutuhkan adalah revitalisasi turas Islam dengan cara meneladani bangunan keilmuan yang telah dilakukan para ulama terdahulu. selain itu bisa juga dilakukan dengan memperhatikan syarat ijtihad dan mujtahid. Implikasinya seseorang tidak mudah mengaku sebagai “fakih” jika belum memenuhi kriteria yang sudah digariskan para ulama. Wallahu a’lam

 

 

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

3 × five =

*