Saturday, April 20, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Benarkah Kiyas Burhan Tidak Memerlukan Kajian Induktif Seperti Kiyas Bayan?

Festivus_Liquor_Thumb

Dalam sebuah diskusi, ada yang mempertanyakan, benarkah kiyas burhan lemah karena tidak ada unsur penelitian dan hanya bermain kata-kata, berbeda dengan kiyas bayan yang memerlukan penelitian?

 

Terkait pertanyaan di atas, jawabannya sebagai berikut:

Untuk membuat kiyas burhan, syaratnya ada empat, yaitu

  1. Mukadimah shugra
  2. Mukadimah kubra
  3. Had al awsad
  4. Natijahlkonklusi

Contoh:

Mukadimah sughra: Setiap yang memabukkan adalah khamar.

Mukadimah Kubra: Setiap khamar adalah haram.

Had al-awsad: Khamar.

Had awsad adalah kata yang sama dari dua ungkapan kalimat. Jika dilihat dari dua ungkapan kalimat di atas, kata yang sama adalah “khamar”.

Natijah/konklusi: Setiap yang memabukkan adalah haram.

 

Untuk memebentuk kiyas burhan agar hasilnya sesuai dan benar, maka yang perlu diperhatikan bahwa mukadimah sughra harus benar. Jika mukadimah sughra salah, maka sampai ke konsklusi akhir, hasilnya akan salah.

 

Contoh: Setiap yang memabukkan adalah minuman dan setiap minuman hukumnya halal. Maka setiap yang memabukkan hukumnya halal.

 

Jelas sekali bahwa kiyas di atas salah. Memainjam istilah Ibnu Hazm, bahwa kiyas burhan dalam ushul fikih, harus didahului dengan mukadimah yang benar yang berasal dari nas al-Quran atau hadis. Keduanya mempunyai kebenaran yang pasti. Baru kemudian dengan mukadimah yang benar tadi, di tarik ke belakang sehingga konklusi yang dihasilkan akan benar.

 

Contoh: Setiap yang memabukkan adalah khamar. Setiap khamar adalah haram. Setiap yang memabukkan adalah haram.

 

Dalam mantik Aristo, untuk mengetahui kebenaran di mukadimah sughra, diperlukan penelitian dengan melakukan kajian induktif terhadap seluruh atau sebagian dari populasi. Penelitian itu disebut dengan istiqra. Jika yang dilakukan adalah penelitian atas seluruh populasi, maka disebut dengan induktif sempurna (istiqra tam). Namun jika penelitian hanya melibatkan sebagian dari populasi, maka disebut dengan induktif tidak sempurna (istiqra naqis).

 

Setelah mendapatkan kepastian mengenai kepastian dari hasil penelitian dengan kajian induktif tadi, baru kemudian konklusi dijadikan sebagai mukadimah sughra. Maka terbentuklah kiyas berikut:

Setiap yang memabukkan adalah khamar. Setiap khamar adalah haram. Jadi setiap yang memabukkan adalah haram.

Bagaimana dengan Bir?

Lakukan kajian induktif. Jika setelah dilakukan penelitian secara induktif, minuman Bir ternyata memabukkan, maka hasilnya ia haram. Kiyasnya seperti ini:

 

Setiap yang memabukkan adalah khamar. Setiap khamar adalah haram. Jadi setiap yang memabukkan adalah haram. Dan Bir ternyata memabukkan, maka ia haram.

 

Jadi, kiyas burhan tetap memerlukan penelitian, yaitu untuk membuktikan kebenaran yang ada di mukadimah sughra.

 

Bedanya apa dengan kiyas bayan?

Syarat kiyas bayan ada empat:

  1. asli
  2. cabang
  3. hokum
  4. illat

contoh: khamar hukumnya haram karena memabukkan. Bir pun haram karena memabukkan.

Asli: Khamar

Cabang: Bir

Hukum: haram

Illat: memabukkan

 

Khamar adalah hukum asal seperti yang tertulis dalam al-Quran.

Bir adalah entitas lain dan bukan khamar.

Memabukkan adalah illat yang sama, antara khamar dan bir. Artinya, khamar bias memabukkan, dan bir juga bias memabukkan. Karena kesamaan illat itulah, maka hukumnya jadi sama, yaitu haram.

 

Di sini, penelitian terletak pada illat hukum. Ketika ada bir, wisky dan sejenisnya, maka yang harus diteliti adalah illatnya, apakah ia memabukkan atau tidak. Jika ternyata memabukkan, maka hukumnya juga haram.

 

Jadi khamar haram karena memabukkan

Bir haram karena memabukkan.

 

Sesungguhnya, antara kiyas burhan dan bayan, sama-sama memutuhkan penelitian dan kajian induktif. Bedanya kiyas burhan yang diteliti adalah mukadimah sughra, sementara kiyas bayan yang diteliti adalah illat hukum.

 

Antara bayan dan burhan merupakan dua cara berijtihad yang biasa dipakai oleh ulama ushul. Kiyas burhan dipakai leh Ibnu Hazm yang bermazhab zhahiri sementara kiyas bayan dipakai oleh jumhur ulama ushul. Meksi keduanya mempunyai cara ijtihad yang berbeda, namun hasilnya ternyata sama.

 

Memang sering sekali dalam ilmu ushul fikih terjadi “khilaf lafzhi”, yaitu secara filosofis terjadi perbedaan pendapat yang berkepanjangan hingga saling melemahkan satu sama lain, namun pada prinsipnya menghasilkan konklusi yang sama. Inilah irisan antara ushul fikih dengan filsafat.

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

twelve − 1 =

*