Saturday, April 20, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Begini Pakar Hukum Tata Negara Islam Klasik Membuat Hukum Internasional

ilustrasi-sejarh-islam-turki_20160113_145125

Sering kita mendengar istilah Darul Islam dan Darul Kufri.. dua istilah tadi, merupakan sebuah terminologi hubungan internasional yang berlaku di dunia Islam pada abad silam. Terminologi tersebut, ditetapkan pemerintah sebagai upaya mengambil sikap terkait hubungannya antara negara Islam dengan negara asing (non muslim). Jadi, ia murni istilah politik hukum internasional pada waktu itu.

Selain istilah di atas, ada pula istilah lain untuk memberikan klasifikasi penduduk sebuah negara, seperti penduduk muslim, ahlu dzimmah, mu’ahid dan musta’min. beberapa istilah kependudukan tadi, merupakan implikasi dari pembagian istilah politik sebelumnya, yaitu Dar Islam dan Darul kufri. Dengan kepastian seseorang atas kewarganegaraannya, akan berimplikasi pada hak dan kewajiban yang harus ia terima. Selain itu, kepastian tadi juga akan berpengaruh terhadap hubungan bilateral antara negara Islam dengan negara lainnya, baik secara ekonomi, politik, sosial dan hukum. Jadi, kita membaca istilah tadi, harus dengan kacamata dan realitas kehidupan politik Islam klasik, bukan kontemporer. Jika kita melihatnya dari kacamata politik dunia kontemporer, maka ada kemungkinan akan terjadi kesalahpahaman. Mari kita lihat sepintas definisi terkait berbagai terminologi di atas sesuai yang dipahami oleh pakar hukum tatanegara islam klasik..

Menurut Ibnul Qayyim, seperti ditulis dalam kitab Ahkamu Ahli Dzimmah, Darul Islam adalah negara yang mayoritas penduduknya Islam dan diterapkan hukum Islam. Jika mayoritas penduduknya muslim tapi tidak menerapkan syariat Islam, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai Darul Islam.
Menurut Ibnu Muflih, Darul Islam adalah negara yang menerapkan syariat Islam. Jika suatu negara tidak menerapkan syariat Islam, meski penduduknya mayoritas muslim, maka ia tidak disebut sebagai Darul Islam.
Menurut Abu Yusuf dari madzhab Hanafi, seperti yang dinukil oleh As-Sarkhasi dalam kitab al-Mabsuth bahwa Darul Islam adalah negara yang menerapkan syariat Islam, sementara Darul Kufri adalah negara yang tidak menerapkan syariat Islam.
Menurut madzhab Syafi bahwa Darul Islam adalah suatu negara yang menerapkan syariat Islam, atau negara yang mayoritas penduduknya Islam meski di dalamnya terdapat non muslim, atau wilayah non muslim yang berada di bawah kekuasaan negara Islam.

Singkatnya, Darul Islam adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dan menerapkan undang-undang Islam, atau wilayah non muslim yang berada di bawah kekuasaan negara Islam dengan mengikuti perundang-undangan Islam. Kebalikan dari darul Islam adalah Darul Kufri, yaitu negara yang mayoritas penduduknya non muslim, dan tidak menerapkan perundang-undangan Islam.

Ada juga Darul Bugha, yaitu wilayah muslim yang berupaya melepaskan diri dari kekuasaan negara Islam. Sederhananya, mereka adalah kaum separatis untuk memerdekaan diri dari wilayah Islam.

Darul kufri sendiri dibagi menjadi dua:
1. Darul Ahdi, adalah negara non muslim, namun mempunyai hubungan diplomatik dengan negara Islam. Karena ia adalah negara non muslim, maka hukum yang berlaku di sana bukan hukum Islam, namun hukum buatan mereka sendiri.
2. Darul Harbi, yaitu negara non muslim yang sedang siaga perang, atau telah mengumumkan perang dengan negara Islam.

Sekarang mari kita lihat mengenasi status penduduk sebagaimana diklasifikasikan oleh para ulama Islam.
1. Muslim. Ia adalah orang Islam baik yang hidup di negara islam atau non muslim. Jadi secara kewarganegaraan, dia adalah muslim. Jika dibuat KTP seperti sekaran ini, maka warga negara akan tertulis sebagai muslim. Hal itu, karena Islam pada waktu itu, bukan sekadar agama saja, namun ia adalah negara dan bangsa. Antara Islam dengan eksistensi negara dan bangsa, sama sekali tidak dapat dipisah-pisahkan. Jadi “ummah Islamiyah” maksudnya adalah bangsa muslim. Islam sebagai agama dan juga negara bangsa.

Makna muslim menyempit hanya menjadi sebuah agama, setelah Barat menguasai negara-negara muslim serta arus sekularisasi di negara Islam yang luar biasa. Dunia Islam terpengaruh oleh negara Bangsa seperti yang diterapkan di Barat pada waktu itu. Nasionalisme, bukan lagi kepada keislaan, tapi kepada negara bangsa tempat ia lahir dan bertepat tinggal.

Jadi, jika seseorang agamanya Islam, secara otomatis KTP-nya adalah muslim. Persoalannya adalah orang Islam yang tinggal di negara asing (non muslim), baik di Dar Harbi atau Dar Ahdi, bagaimanakah status mereka? Apakah mereka berhak mendapatkan hak dan kewajiban seperti layaknya mereka di Darul Islam? Bagaimana dengan jika mereka melakukan tindakan kriminal? Apakah mereka ini hanya dihukum di Darul Kufri saja, atau bisa juga di hukum di Darul Islam? Bagaimana juga dengan kewajiban zakat? Apakah masuk ke Darul Kufri atau Darul Islam? Berbagai pertanyaan tadi, menjadi bahasan yang cukup panjang dan menarik dari pakar hukum tata negara di masa Islam klasik.

2. Ahlu dzimmah. Ia adalah non muslim namun hidup di Darul Islam. Ia non muslim yang menjadi warga negara Islam.
3. Musta’min. Ia adalah warga negara asing (non Islam/Darul Kufri), negara tersebut tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara Islam, atau negara bersangkutan punya hukum perang. Hanya saja, warga negaranya melancong ke negara Islam, baik untuk berdagang, tourism atau sekadar singgah.
4. Mu’ahid. Ia adalah warga negara asing (non muslim/Darul Kufri), namun mempunyai hubungan diplomatik dengan negara Islam. Orang tersebut masuk ke dalam wilayah Islam, baik untuk berdagang, tourism atau sekadar singgah.

Pertanyaannya, apakah ada implikasi atas pembagian negara berdasarkan hukum internasional waktu itu? Tentu saja ada.
1. Jika sesame Darul Islam, maka yang terjadi adalah:
a. Pasar bebas, dalam artian barang yang keluar masuk sesama negara Islam tidak ada pajak bea cukai.
b. Bebas visa bagi setiap warga negara. Dengan kata lain, ia bebas dan mudah untuk keluar masuk antar negara Islam.
c. Warga tersebut mendapatkan perlakuan yang sama dengan warga negara setempat, baik dari sisi hak dan kewajiban, termasuk dari sisi hukum.

Untuk mempermudah, mari kita lihat contoh pada zaman kekhilafahan tempo dulu. Di Timur, ada khalifah Abbasiyah, sementara itu, di wilayah Andalusia ada khalifah Bani Umayyah. Baik di Timur atau Barat, sama-sama berpenduduk mayoritas muslim, pemimpin muslim dan hukum yang diterapkan adalah hukum Islam. Jika ada warga negara dari kekhalifahan Abbasiyah akan pergi ke wilayah khalifah Bani Umayyah, maka:
1. Ia bebas visa.
2. Jika ia berdagang, maka wilayah Bani Umayyah tidak berhak mengambil pajak bea cukai.
3. Ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk setempat dari semua hal. Ia berhak menunaikan zakat di negara tersebut dan berhak mendapatkan perlindungan keamanan. Jika ia miskin, ia juga berhak mendapatkan santunan dari Baitul Mal. Jika ia melakukan tindakan criminal, maka khalifah Bani Umayah berhak untuk menjatuhkan hukuman di negerinya sesuai dengan syariat Islam. Ia juga bisa menjadi PNS, masuk militer atau menjadi pimpinan di wilayah Islam.

Sekarang kita lihat, implikasi dari Darul Islam dan Darul Ahdi.
1. Penduduk dari negara asing (non muslim/Darul Ahdi) yang masuk ke negara Islam, maka:
a. Ia diperkenankan masuk ke negara Islam.
b. Ia tidak bebas visa. Dalam artian, tidak mempunyai kebebasan keluar masuk negara Islam.
c. Jika ia berdagang, umumnya negara Islam akan mengambil pajak bea cukai. Bisa jadi di negara Islam, ia juga akan membayar pajak tambahan sesuai dengan hukum yang berlaku.
d. Ia diperlakukan sebagai mu’ahid dan bukan muslim.
e. Secara hukum, mu’ahid mempunyai hak dan kewajiban terbatas.
f. Mu’ahid berhak untuk mendapatkan perlindungan dari negara Islam.
g. Mu’ahid, tinggalnya juga beberapa waktu dan akan kembali ke negerinya masing-masing.

Bagaimana dengan musta’min?
Ia adalah warna negara asing (non muslim/Darul Kufri), di mana negara bersangkutan tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara Islam, atau memang negerinya sedang terjadi hubungan “perang” dengan negara Islam. Hanya saja, warganya datang ke negara Islam, baik untuk berkunjung, berdagang atau lainnya.
a. Ia berhak untuk mendapatkan perlindungan
b. Ia tidak bebas visa dan bahkan cenderung ketika masuk ke negara Islam.
c. Jika berdagang, maka pemerintah Islam akan mengambil pajak bea cukai. Bisa jadi di negara Islam, ia juga akan membayar pajak tambahan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bagaimana dengan ahludzimmah? Mereka ini adalah non muslim yang hidup di negara Islam.
a. Mereka mempunyai hak dan kewajiban di negara Islam, hanya berbeda dengan yang muslim.
b. Secara hukum ibadah dan ahwal syahsiyyah (perdata), mereka bebas menerapkan ibadahnya sesuai dengan paham keagamaannya. Hanya lain di luar ibadah dan hukum perdata, seperti muammalah, jinayat (kriminal) dan lainya, yang berlaku adalah hukum Islam.
c. Mereka tidak wajib masuk militer. Untuk PNS, umumnya pemerintah Islam membolehkan, kecuali sebagai pimpinan wilayah atau pos-pos strategis dalam negara, seperti kelapa negara, pengadilan, kepala wilayah (gurbenur) dan lain sebagainya.
d. Jika ada gangguan apapun terhadap ahlu dzimmah, maka pemerintah Islam berkewajiban melindungi. Menghina dan merendahkan mereka, sama dengan menghina dan merendahkan negara Islam. mereka ini bagian tak terpisahkan dari penduduk negara Islam.
e. Mereka tidak punya kewajiban membayar zakat.

Untuk Darul Bukhah, mereka harus diajak dialog sampai mau kembali ke pangkuan negara Islam. jika berbagai jalan diplomatik gagal ditempuh, dan hanya ada jalan “perang”, maka mereka harus diperangi. Mereka tetap dianggap muslim. Jika dalam peperangan mereka terbunuh, maka mereka tetap diberlakukan hokum Islam.

Siapakah yang berhak menentukan bahwa suatu wilayah masuk Darul Islam, Sarul Harbi, Darul Ahdi, dan juga Darul Bugha? Tentu saja, penentunya adalah pemerintahan negara islam tersebut. Jadi, ia menjadi wewenang mutlak dari negara, dan bukan ulama. Ulama sebagai pakar hokum tata negara, hanya sekadar membuat konsep dan standar yang jelas. Sementara kebijakan mutlak berada di tangan pemerintah.

Mengapa pemerintah? Karena klasifikasi negara dan juga penduduk sebagaimana disebutkan di atas, mempunyai implikasi hukum nasional dan internasional. Ia juga terkait dengan hubungan diplomatik antar negara. Ia mencakup wilayah politik, sosial budaya dan hubungan ekonomi. Oleh karenanya, penentu utamanya adalah pemerintah.

Apakah berbagai istilah tadi masih berlaku? Ternyata tidak. Hukum internasional sudah berubah sesuai dengan perubahan zaman. Perubahan penggunaan terminologi sebagaimana yang diletakkan pakar hokum Islam klasik, sirna bersamaan dengan hegemoni Barat di Dunia Islam. Imperalisme Barat, membawa dampak negativf terhadap dunia Islam, dari berbagai sisi kehidupan, termasuk juga dalam sistem tata negara politik internasional.

Saat ini secara militer Barat masih bercokol di beberapa wilayah Islam. secara politik, ekonomi, sosial budaya, Barat menguasai dunia Islam baik secara langsung atau tidak. Semua ini mempunyai dampak luar biasa bagi umat Islam, bukan hanya secara politik, ekonomi social dan budaya, namun juga secara hukum internasional. Barat menajdi penentu utama terhadap garis besar politik dunia. Persatuan Bangsa-Bangsa sendiri, sesungguhnya adalah kesepakatan negara-negara Besar untuk mengatur peta politik dunia. Dari 5 negara pemilik veto, satu pun tidak ada dari negara Islam. jadi, umat Islam menjadi bangsa yang ditentukan, bukan menentukan. Umat dipaksa mengikuti alur politik Barat. Jika menentang, maka nasibnya akan dihancurkan. Saddam Husain, Kadafi, Asad, adalah contoh pemimpin dunia Islam yang berani melawan hegemoni Barat. Dampaknya, bisa kita saksikan sendiri. Tatanan Dunia Baru yang didengungkan tahun 90-an oleh Klinton, ternyata sangat menentukan kebijakan luar negeri negara-negara Barat dan juga negaa Islam saat ini.

Umat Islam mundur ke belakang. Dulu umat Islam adalah bangsa superior sehingga mampu meletakkan berbagai terminologi hokum internasional dan ditaati oleh banyak negara, termasuk non muslim. Sekarang umat Islam menajdi bangsa inferior sehingga dalam berbagai sisi kehidupan selalu mengekor ke Barat. Hubungan internasional antar negara pun menggunakan hukum yang diletakkan oleh negara-negara Besar itu. Perpecahan dan pembantaian warga muslim dibelahan dunia tidak pernah luput dari tangan-tangan Barat. Ironisnya, negara-negara Islam hanya bisa menonton kebiadaban itu dengan hati pilu tanpa bisa berbuat apapun. Bahkan tidak jarang dari mereka yang masuk ke dalam perangkap konflik atas skenario Barat.

Lantas apa yang harus kita lakukan? PR besar bagi umat Islam untuk dapat bangkit dari keterpurukan peradaban. Terkait klasifikasi penduduk dan hubungan internasional yang umum digunakan di era pemerintahan islam klasik, bias dibaca di berbeapa buku berikut ini:
1. Ahkamu ahli dzimmah, karya Ibnul Qayyim
2. Ighatsatul Umam, karya Imam Haramain.
3. Al-Mabsuth karya Asyarkhawi
4. Husulul Ma’mun Bi Syarhi Tsalatsati al-ushul
5. Al-Mughni karya Ibnul Qudamah
6. Al-Furuq bainal Firaq karya abdul Qahir al-baghdadi
7. Al-Mawaqif karya Imam Iji
8. Al-Iman Haqiqatuhu, Khawarimuhu, nawaqidhuhu
Dan lain sebagainya

=======================
Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan Pondok Modern Almuflihun, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

one × two =

*