Saturday, April 20, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Al-Zhâhir

gsah

Al-zhâhir secara etimologi adalah al-wudhûh yang berarti jelas. Secara terminologi adalah makna yang terkandung dalam suatu lafazh dapat dipahami dari lafazh itu sendiri tanpa harus bersandar dari makna yang berada di luar lafazh.[1] Menurut Fakhrul Islam al-Bazdawi, al-zhâhir adalah makna dari ungkapan kalimat di mana maksud dari kalimat tersebut dapat diketahui oleh pendengar langsung dari bentuk susunan kalimat.[2] Bagi mereka yang mengetahui bahasa Arab, akan langsung dapat memahami makna lafazh. Hanya saja, meski makna dapat dipahami dari lafazh tersebut, namun sesungguhnya makna yang dimaksudkan bukanlah makna sebagaimana yang tertera dalam ungkapan kalimat.

Contoh:

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al Baqarah: 275).

 

Dari redaksi ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Makna tersebut adalah makna yang langsung tersirat dalam benak kita ketika membaca ayat di atas, karena secara jelas menggunakan ungkapan “dihalalkan” dan “diharamkan”. Dengan demikian, makna dapat dipahami dengan mudah tanpa dibutuhkan indikator (qarînah) dari luar ayat. Namun demikian, makna tersebut bukanlah makna utama sebagaimana maksud ayat. Karena sesungguhnya maksud dari ayat tersebut adalah menafikan adanya persamaan antara jual beli dengan riba. Ayat di atas merupakan reaksi dari perkataan orang Yahudi yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara jual beli dengan riba. Dan hal itu dapat dilihat dari konteks ayat sebelumnya yang berbunyi:

 

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

 

Lafazh الْبَيْعَ (jual beli) dan الرِّبَا (riba) merupakan lafazh umum yang masih ada kemungkinan adanya pengkhususan (takhshîsh). Dengan demikian, ketetapan hukum dari ruang lingkup jual beli dan riba tersebut masih dapat dipersempit kembali.

Contoh lain:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ

Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. (QS. Al-hasyr: 7).

 

Dalâlah dari zhahir ayat tersebut sangat jelas, yaitu mengenai kewajiban untuk mentaati Rasul atas segala sesuatu yang diperintahkan dan dilarangnya. Makna tersebut adalah makna yang langsung tersirat dalam benak kita ketika membaca redaksi ayat di atas. Namun demikian, makna tersebut bukanlah makna utama, karena sesungguhnya ayat tersebut menerangkan mengenai kewajiban mentaati Rasul dalam pembagian fai’. Hanya saja, memang secara tidak langsung memberikan pengertian mengenai kewajiban taat kepada Rasul secara mutlak.

Contoh:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.. (QS. Al-Nisâ: 3).

 

Dari zhahir ayat tersebut dapat dipahami bahwa seorang muslim dibolehkan menikah dengan wanita-wanita, siapapun dia dengan catatan mereka itu halal nikah menurut syariat. Namun sesungguhnya, makna tersebut bukanlah makna utama, karena makna yang sesungguhnya sebagaimana yang dimaksudkan oleh ayat adalah mengenai batasan poligami, yaitu 4 istri, dengan syarat ia dapat berlaku adil. Jika tidak dapat memenuhi syarat sebagaimana yang ditetapkan syariat, seorang muslim hanya dibolehkan menikah dengan satu wanita saja.[3]

[1] Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajîz fî Ushûli’l Fiqh, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, cet. IV 1994, hal. 338

[2] Muhammad Udaib Shalih, Tafsîru al-Nushûsh fî’l Fiqhi’l Islâmiy, jilid I, Maktabah Islâmiy, Beirut, cet. III, 1983, hal. 142

[3]Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal338

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

2 × 2 =

*