Tuesday, April 23, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Al-Hailah Dalam Timbangan Ilmu Maqashid

 

dfsah

Terkadang kita menemukan sebuah fatawa yang membolehkan suatu perbuatan, padahal perbuatan tersebut secara syariat terlarang. Ia membolehkan perbuatan tadi, lantaran menggunakan kaedah hail sehingga kesannya mencari celah hukum dalam syariat. Tujuan utamanya sesungguhnya adalah bagaimana perbuatan terlarang tadi, menjadi boleh dari celah kecil yang ia dapatkan itu.

 

Menurut Ibnu Asyir, hailah adalah menampakkan suatu perbuatan menjadi boleh padahal perbuatan tersebut sesungguhnya terlarang, atau melarang suatu perbuatan padahal secara syariat perbuatan tersebut dibolehkan. Hailah yang dibolehkan adalah hailah yang sesuai dengan sandaran syariat. Artinya, jika suatu perbuatan itu terlarang,maka yang melarang sesungguhnya adalah syariat dan bukan hasil akal-akalan seorang hamba.

 

Menurut Ibnu Asyur bahwa hukum syariat diturunkan kepada hamba dengan tujuan untuk mencapai maslahat bagi manusia. Dengan demikian, seluruh perbuatan hamba yang mengandung maslahat dianggap sesuai dengan syariat. Jika suatu perbuatan dilihat dari sisi zhahir dan batin dianggap sesuai dengan syariah, maka jelas hukumnya dianggap sesuai dengan syariat.

 

Persoalannya, jika suatu perbuatan secara zhahir sesuai dengan syariat, namun secara maslahat tidak sesuai dengan syariah, bagaimana menyikapi perbuatan seperti ini? Menurut Ibnu Asyir, bahwa melakukan perbuatan yang secara maslahat bertentangan dengan syariat, meski secara zhahir seakan sesuai dengan syariat,  melakukan perbuatan tersebut tidak dibenarkan. Menurutnya bahwa inti dari syariat itu sendiri sesungguhnya adalah maslahat hamba.

 

Perbuatan hailah (ngakali syariat) jika dicermati, di sana terdapat perbedaan antara apa yang diinginkan seorang mukallaf dengan apa yang diinginkan oleh syariat. Padahal sesungguhnya suatu perbuatan hamba semestinya, antara apa yang ia inginkan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh syariat. Di sinilah Ibnu Asyur sangat hati-hati dan bahkan cenderung memberikan kritikan kepada mereka yang menggunakan kaedah hail ini.

 

Menurut Ibnu Asyur bahwa syariat diletakkan demi kemaslahatan hamba dan menolak mafsadah bagi hamba. Jika perbuatan tidak menimbulkan maslahat, atau bahkan dapat menyebabkan mudarat, maka ia bukan bagian dari syariat. Siapapun yang menggunakan al-hail, yaitu mencari celah untuk mendapatkan hukum syariat supaya menjadi boleh atau tidak, jika bertentangan dengan maqashid dasar hukum syariat, maka hailah ini terlarang. Menggunakan kaedah al-hail bagi mereka yang tidak memahami ilmu maqashid hanya akan merusak hukum syariat sendiri.

 

Di sini Ibnu Asyur memberikan kritikan tajam bagi mereka yang mengesampingkan ilmu maqashid, namun memperluas jangkauan kiyas dan bahkan menggunakan kaedah al-hail ini. Memang dalam beberapa kasus, hail ini dibolehkan. Banyak contoh seperti kisah nabi Ayub yang berjanji akan mencabuk istrinya 100 kali, namun karena tidak tega, ia diperintahkan Allah untuk mengumpulkan 100 lidi dan memukulkannya kepada istrinya sekali saja. Pukulan sekali ini sudah dianggap sama dengan mencabukkannya sebanyak 100 kali.

 

Hanya saja, terdapat juga hail yang terlarang, seperti Bani Israel yang dilarang menangkap ikan pada hari sabtu. Namun kemudian bani israil berhailah, dengan memasang jala pada hari Jumat. Diharapkan, pada hari Sabtu banyak ikan yang akan masuk terperangkap ke dalam jala. Kemudian mereka akan mengambil jala itu pada hari Ahadnya. Kenyataannya, perbuatan ini terlarang dan Bani Israel dikutuk Allah menjadi kera akibat perbuatan hail yang mereka lakukan.

 

Baik Nabi Ayyub maupun Bani Israel sama-sama menggunakan celah hail (ngakali) hukum syariat. Yang pertama dibolehkan sementara yang kedua terlarang. Yang pertama karena sesuai dengan perintah Allah dan bertujuan untuk maslahat hamba, sementara yang kedua untuk “ngakali” hukum Allah.

 

Perbedaan antara keduanya itu hanya bisa diketahui oleh mereka yang memperdalam ilmu maqashid. Di sini lah, Ibnu Asyur mengingatkan agar seorang mujtahid pandai-pandai dalam menggunakan kaedah hail ini. Tanpa panduan yang jelas dari ilmu maqashid, bisa saja seseorang melakukan hail yang keliru dan bertentangan dengan tujuan dasar diturunkannya hukum Syariat. Jika demikian, dia bisa terjatuh kepada pengharaman apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah.

 

Hail ini cukup rumit dan perlu kejelian dalam memberikan putusan hukum. Hail banyak dijadikan sebagai solusi atas hukum tertentu. Lagi-lagi, standarnya harus jelas dan pasti. Standar yang bisa digunakan di sini adalah maqashid syariah. Penggunaan hail yang berlebihan tanpa perhatian yang teliti terhadap ilmu maqashid justru akan menjerumuskan hmba kepada perbuatan yang dilarang oleh Allah swt.

 

 

 

 

 

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

18 − three =

*