Saturday, April 20, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Akal Ushûlî dalam Pemikiran Islam; Menguak Landasan Pemikiran Dr. Yusuf al-Qaradawi (I)

 gal848625366Ushul fikih merupakan metodologi ijtihad yang digunakan oleh para fuqaha untuk mencari solusi alternatif terhadap berbagai macam persoalan umat. Ushul fikih tidak hanya berkutat pada halal haram suatu persoalan, lebih dari itu, ia adalah acuan yang dapat dijadikan sebagai pegangan para fuqaha sehingga solusiyang ditawarkan selalu sesuai dengan apa yang digariskan Allah dalam kitab suci.

 

Karena itu, sejak Rasul meninggal, para ulama selalu berusaha untuk mencari jalan dalam rangka mencari ketetapan hukum tersebut. Untuk itu mereka telah memiliki metodologi tersebut. Hanya pada masa sahabat, metodologi tersebut belum terbukukan. Bahkan di masa-masa setelahnya, ilmu fikih lebih dahulu dibukukan dibandingkan dengan ilmu ushul fikih.[1]

 

Jika kita melihat pemikiran Dr. Yusuf al-Qaradawi dengan menelaah buku-buku karyanya, dengan jelas kita akan menemukan mengenai bangunan pemikiran yang digunakan olehnya. Dalam menyikapi berbagai persoalan umat, ia selalu menyandarkan pemikirannya pada  ilmu ushul fikih.

 

Dalam banyak bukunya, baik yang berkaitan dengan ketetapan hukum maupun ketika ia memberikan solusi alternatif terhadap berbagai persoalan umat, ia tidak pernah lepas dari kaidah-kaidah ushul fikih.

 

Banyak ijtihadnya yang saat ini dijadikan pegangan bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia. Ijtihad adalah sebuah keharusan. Apalagi persoalan kontemporer semakin kompleks. Banyak persoalan umat baik yang berkaitan dengan sistem ekonomi, politik, hukum, sosial dan lain sebagainya, yang muncul dan belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan itihad, umat Islam akan dapat menyikapi berbagai persoalan tersebut secara bijak dan sesuai dengan ketentuan hukum syariat.

 

Menurut Qaradawi, ijtihad dapat dibagi menjadi dua, ijtihad tarjîhî dan ijtihad insya’î. Ijtihad tarjîhî adalah mencari solusi permasalahan yang sudah dikaji oleh ulama terdahulu sehingga tugas mujtahid hanya sekedar mencari dalil yang dianggapnya paling kuat (rarjih). Dalam hal ini, ijtihad sama sekali lepas dari sekat-sekat madzhab. Sementara ijtihad insya’î adalah mencari solusi permasalahan kontemporer yang belum pernah dikaji oleh ulama terdahulu dengan merujuk langsung kepada sumber hukum Islam dengan menggunakan metodologi ilmu ushul fikih. Menurutnya, ijtihad seperti ini sangat mendesak melihat kenyataan bahwa banyak permasalahan baru yang belum pernah muncul sebelumnya. Jika pun pernah terjadi pada masa lalu, fatwa mereka perlu dikaji ulang mengingkat perbedaan tempat, waktu dan tradisi yang sangat berpengaruh pada perubahan hukum.[2]

 

Dari sinilah muncul ijtihad-ijtihad Qaradawi yang terkadang dianggap sebagian kalangan kontraversial. Dan dari sini pula, ia menelurkan berbagai fikih baru yang sebelumnya kurang mendapat perhatian serius di dunia Islam. Dalam karyanya, Qaradawi seringkali menggunakan kata fikih, bahkan sebagian judul bukunya menggunakan istilah fikih seperti; min fikihi al daulah fi’l Islam, fî fikihi awlawiyât, fikihuzzakât, fikihu ughniyât wal mûsîqî dan demikian seterusnya. Qaradawi ingin mengembalikan ishtilah fikih sebagaimana mestinya. Fikih bukan hanya berkaitan dengan ketentuan hukum, namun fikih adalah pemahaman mendalam terhadap permasalahan keagamaan.[3]

Biografi Singkat Dr. Yusuf al-Qaradawi

 

Dr. Yusuf al-Qaradawi dilahirkan sebagai anak yatim di salah satu desa dari propinsi al Ghorbiyah Mesir pada tahun 1926. Ia dibesarkan dan diasuh oleh  pamannya. Ketika masih kanak-kanak, ia belajar di surou (katatib) sebagaimana tradisi di desanya pada saat itu. Ia hafal al-Qur’ân sebelum umurnya mencapai 10 tahun. Seringkali ia ditunjuk sebagai imam shalat khususnya shalat Subuh.

 

Dari surou (katatib), ia masuk ke pesantren (ma’had) Azhar. Ia selalu mendapatkan nilai terbaik sehingga salah seorang gurunya sering memanggilnya dengan  sebutan “al ‘alâmah” (orang pandai). Setelah menyelesaikan pendidikan pesantren (ma’had), ia melanjutkan kuliah di Universitas al-Azhar fakultas Ushuludin dan berhasil menyelesaikan program S I tahun 1952. Pada tahun 1954, ia dapat menyelesaikan kuliah Bahasa Arab dan mendapatkan ijin (ijazah) untuk mengajar. Pada tahun 1958, ia meraih gelar diploma dari Institut Dirasah Arabiyah di bidang bahasa dan sastra Arab. Tahun 1960, mendapatkan gelar MA dan baru pada tahun 1973 mendapatkan gelar Doktoral dari Universitas yang sama.

 

Tahun 1961, ia mendapat tawaran pemerintah Qatar menjadi direktur di salah satu perguruan tinggi terkemuka. Di sana, ia banyak melakukan perbaikan dan pengembangan terutama mengenai metodologi pengajaran, yaitu dengan menyeimbangkan pengajaran kitab kuning dengan kitab-kitab kontemporer.

 

Pada tahun 1973, ia merintis Fakultas Studi Islam sekaligus diangkat sebagai dekan di Universitas Qatar. Pada tahun 1977, merintis fakultas Syariah sekaligus menjadi dekan di Universitas yang sama sampai tahun 1989. Selain itu, ia juga merintis dan menjadi koordinator di Pusat Studi Sunah dan Sejarah Nabi.

 

Beberapa kali ia mendapatkan penghargaan internasional, diantaranya adalah penghargaan raja Faishal (1413 H), penghargaan dari pemerintah Malaysia (1996), dari Sultan Brunai Darussalam (1997) dan lain sebagainya.

 

Ia terkenal sebagai orang yang sangat kritis dan produktif. Sampai saat ini, karyanya lebih dari 100 buku dari berbagai cabang ilmu Islam seperti, fikih dan shul fikih, ekonomi Islam, ‘ulumul qur’ân dan sunah, aqidah, da’wah dan tarbiyah, shohwah islamiyah, buku berkala mengenai Islam solusi alternatif, pemikiran Islam, biografi tokoh, sastra dan lain sebagainya. Sebagian bukunya adalah tanggapan atas wacana pemikiran yang sedang berkembang pada saat itu. Sebagai contoh, ketika tentara Mesir kalah perang dengan Israel pada tahun 67, banyak kalangan menuding bahwa kekalahan disebabkan oleh ajaran Islam. Maka Dr. YusufAl Qaradawi menulis buku dengan judul “Darsu’l Nakbah al Tsâniyah: Limâdzâ Inhazamnâ wa Kaifa Nantashir?” (pelajaran dari musibah yang kedua; mengapa kita kalah, dan bagaimana supaya kita dapat meraih kemenangan?). Ketika orang-orang kiri Arab membanggakan ide-ide sosialis dan sekuleris, ia menanggapinya dengan mengeluarkan buku berkala mengenai “al Hatmiyah al Hallu al Islâmî” (Islam solusi alternatif) sebanyak 5 buku. Ketika umat Islam mengalami kebingungan mengenai format negara Islam, ia juga mengeluarkan buku “Min Fikihi al Daulah fi’l  Islam”(fikih politik dalam Islam), demikian seterusnya.

 

Di dunia Islam, pemikiran Qaradawi sudah tidak asing lagi, selain karena mengandung ide-ide pembaharuan, juga selalu memadukan antara fikih dengan realitas sehingga fatwanya dapat diterima banyak kalangan.

 

Ia tidak hanya seorang penulis, namun juga seorang yang sangat aktif dalam berdakwah lewat berbagai organisasi Islam. Sebenarnya, ia telah memulai berdakwah semenjak berumur 16 tahun, mulai dari desanya sendiri dan desa-desa lain di sekitarnya. Sejak ia keluar dari penjara tahun 1957, ia mendapat tugas mentri wakaf Mesir untuk menjadi khotib tetap di masjid Zamalik Kairo. Namun karena Qaradawi terlalu kritis dan sering dihadiri ribuan jamaah, akhirnya presiden Abdul Nasr mencabut izin khotbah. Selain berdakwah di masjid-masjid dan tulisan, ia juga berdakwah lewat stasion TV dan jaringan internet. Saat ini, ia mempunyai jadwal khusus di jaringan TV al Jazîrah Qatar dengan program “syarî’ah wal hayâh”. Acara ini merupakan dialog terbuka seputar permasalahan keagamaan dengan para pemirsa dari seluruh dunia. Sebagian buku dan hasil pidatonya telah didokumentasikan dalam bentuk kaset dan CD.

 

Ia sering mendapat tawaran menjadi dosen tamu di berbagai negara, dan juga sering menghadiri berbagai konferensi internasional mengenai pemikiran Islam kontemporer. Disamping itu, ia aktif di berbagai organisasi Islam, diantaranya adalah sebagai anggota Yayasan Islam (Jam’iah Khoiriyah Islâmiyah) Kuwait, wakil Yayasan Zakat Kuwait, anggota Majelis Idârî sundûqi’l Islâmî li’l zakât wa’l shodaqoh, anggota Dewan Pusat Studi Islam di Oxsford, pakar di Majma’ Fikih OKI, ketua Majelis Fatwa Eropa, anggota Ikhwan Muslimin dan lain sebagainya. Organisasi terakhir inilah yang seringkali menyebabkannya keluar masuk penjara, yaitu tahun 1949 pada masa raja Faruq, bulan November tahun 1954, bulan September di tahun yang sama dan baru dikeluarkan pada tahun 1954, dan kembali dijebloskan kedalam penjara tahun 1963.[4]

 



[1]Al-Imam Abu Zahrah, Ushûlu’l Fikih, Dâru’l Fikri’l `Arabiy, Kairo, 2004. hal. 14

[2] Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah Fikihu al Thohâroh. Maktabah Wahbah

[3] Dr Yûsuf al Qardhâwî, Awlawiyâtu’l harakah al Islâmiyah. Mu’assasah al Risâlah hal 26.

[4] Lebih lengkapnya lihat, ‘Ishom Talîmah, Al QaradawiFaqîhan. Dâru al Tauzî’ wa al Nasyr hal. 11-27

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

three + six =

*