Friday, April 19, 2024
Artikel Terbaru
 border=
 border=

Halal Bi Halal, Bid’ah?

 

Ust, ada yang bilang kalau halal bi halal bidah, karena tidak ada di zaman rasul. Bagaimanakah itu?

 

Jawab:

 

Dalam hukum syariat, ada perkara yang terkait dengan ubudiyah, ada pula yang terkait dengan muammalah duniawiyah. Terkait ubudiyah harus ada dalilnya. Hal ini sesuai dengan kaedah ushul sebagai berikut:

 

الاصل فى العبادات بالنسبة للمكلف التعبد دون المعاني

 

Prinsip dalam suatu ibadah bagi seorang mukalaf adalah ta’abbud dan bukan mencari spiritnya.

الاصل فى العبادة التعبد والاتباع

Prinsip dalam ibadah adalah ta’abbud dan ittiina’.

الاصل فى العبادة التحريم الا   إذا دلَّ الدليل المعتبر على مشروعيتها

Prisip dalam ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang menunjukkan mengenai hukum syara-nya.

 

Imam Syathibi pernah mengatakan:

اما الامور التعبدات فعلتها المطلوبة مجرد الانقياد من غير زيادة ولا نقصان

Sementara itu untuk persoalan yang terkait dengan ibadah, maka yang dijadikan sebagai kaedah adalah tunduk tanpa ada penambahan dan pengurangan.

 

Terkait urusan ibadah ini, Rasulullah saw bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

 

Artinya: “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim)

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

 

Artinya: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

 

Hal ini tentu berbeda dengan perkara muamalat atau persoalan yang terkait dengan urusan sesame manusia. Prinsipnya, semua hal terkait muamalah duniyawiyah, hukumnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkan. Kaedah yang bisa dijadikan rujukan adalah sebagai berikut:

 

الاصل فى المعاملات الاباحة

Prinsip dalam muammalah adalah boleh.

 

الاصل فى المعاملة الالتفات الى المعاني والمقاصد
Artinya: Prinsip dalam muammalah adalah melihat kepada makna dan maqashir.

 

الأصل في الأشياء الإباحة، حتى يدل الدليل على التحريم

 

“Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.”

 

Kaedah di atas, bersandar dari hadis rasulullah saw berikut ini:

أنتم أعلم بأمر دنياكم.
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)

 

 

Selain itu, halal bi halal terkait erat dengan tradisi dan tidak semua tradisi diharamkan oleh Islam. Agama Islam datang tidak di ruang kosong, namun ia datang di tengah temgah tradisi dan budaya Arab. Islam memberikan solusi hukum terhadap berbagai persoalan yang sedang dihadapi masyarakat Arab waktu itu.

 

Sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah merupakan bangsa yang berbudaya. Mereka juga mempunyai berbagai macam tradisi yang melekat dalam tatanan masyarakat. Tradisi dan budaya tersebut dibawa oleh nenek moyang mereka secara turun temurun.

 

Islam datang bukan untuk menghapus seluruh tradisi dan budaya Arab kemudian diganti dengan tradisi dan budaya baru. Meski demikian, Islam juga tidak membiarkan tradisi dan budaya Arab berjalan apa adanya tanpa ada proses seleksi. Islam memberikan tuntunan dan timbangan terkait dengan budaya tersebut. Tuntuntunan dan timbangannya tentu saja al-Quran dan sunnah nabi.

 

Di antara tradisi jahiliyah ada yang bagus-bagus seperti sikap mereka yang suka menghormati tamu. Tradisi memberikan layanan terbaik kepada tamu ternyata sesuai dengan ajaran Islam. Untuk itu, Islam datang dan menguatkan tradisi tersebut. Rasululah saw bersabda:

 

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليقل خيرا أو ليصمت ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليكرم جاره ، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليكرم ضيفه 

 

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam, dan barangsiapa yang beriman kepada allah dan hari akhir, maka hormatilah tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada allah dan hari akhir, maka hormatilah tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim

 

Orang Arab suka menolong saudaranya yang dizhalimi. Ini bisa dilihat dari kisah “Halfu al fudhul”, yatu tatkala ada suku Arab  yang dizhalimi, maka berbagai suku arab, di antaranya dari Bani Hasyim, Bani Muthallib, Bani Asad, dan Bani Zahrah berkumpul di rumahnya Abdullah bin Jud’an untuk melakukan kesepakatan bersama, bahwa tidak boleh ada kezhaliman di antara suku Arab. Jika ada yang dizhalimi, maka semua suku tadi berkoalisi untuk memberikan pembelaan. Tradisi ini juga dikuatkan oleh Islam dengan sabda nabi Muhammad saw:

 

انصر أخاك ظالما أو مظلوما

Artinya: “Tolonglah saudaramu baik yang menzhalimi atau yang dizhalimi.” (HR. Bukhari)

 

Menolong orang yang menzhalimi dengan mencegah mereka agar tidak berlaku zhalim. Ini artinya kita menyelamatkan mereka dari siksaan api neraka. Menolong orang yang dizhalimi, dengan memberikan bantuan agar ia tidak dizhalimi orang lain.

 

Budaya qishash bagi pembunuh sudah ada sejak zaman Jahiliyah. Bagi yang dimaafkan, boleh mengganti dengan 100 ekor unta. Ini persis seperti kasus Abdul Muthalib yang bernadzar jika mempunyai anak laki-laki, maka ia akan disembelih. Ternyata ia diberi rezki dengan kelahiran Abdullah. Ia sudah berniat untuk menyembelih bdullah, namun ditentang oleh keluarganya. Maka bdul Mutalib menggantikan nadzarnya dengan menyembelih 100 ekor unta dan disedekahkan kepada fakir miskin. Tradisi qishash ini sesuai dengan syariat Islam. Allah berfirman:

 

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

 

Artinya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang  berakal, supaya kamu bertakwa”. (Al-Baqarah: 179)

 

Selain tradisi baik, bangsa Arab juga mempunyai tradisi buruk, seperti menyembah berhala, mengubur hidup-hidup bayi perempuan, perzinaan, perdukunan dan lain sebagainya. Tentu saja, perbuatan tadi bertentangan dengan syariat. Maka Islam datang untuk meluruskannya. Islam menyeru mereka untuk hanya menyembah Allah, tidak diperkenankan membunuh siapapun tanpa ada alasan  yang benar, tidak boleh berzina dan melakukan perbuatan yang dapat mendekati zina, diharamkan melakukan perdukunan dan seterusnya.

 

Dari bebrapa contoh di atas, para ulama ushul berkesimpulan bahwa tradisi dibagi menjadi dua bagian:

Pertama, tradisi yang sesuai dengan syariah Islam. Tradisi seperti ini diperbolehkan oleh Islam. Untuk menguatkan argument ini, ulma ushul meletakkan kaedah:

 

المعروف عرفا كالمشروط شرطا

Maksudnya, suatu tradisi baik yang telah terpaku di masyarakat dan tidak menyalahi syariat Islam, maka ia bagai sebuah syarat. Contoh sederhana terkait halal bi halal itu. Ia tradisi baik dan tidak bertentangan dengan hokum syariat. Di dalamnya ada silaturrahmi, saling berjabat tangan, saling memaafkan dan terkadang ada tausiyah agama.  Ini adalah tradisi yang baik.

 

Bukankah ini tidak ada di zaman rasul? Benar. Karena setiap bangsa, ada tradisinya. Maka hokum syariat memberikan titik tekan pada tradisi. Bahkan tradisi, bisa dijadikan sebagai salah satu sumber hukum. Jika ada permasalahan di masyarakat, lalu tidak ada hukum pasti (qat’i) dari nas, maka boleh menetapkan hokum dengan bersandar kepada tradisi. Perubahan hokum Imam syafii dari madzhab qadim ke jaded, salah satu sebabnya adalah perbedaan tradisi antara masyarakat Bagdad dan Mesir. Karena pentingnya tradisi, maka para ulama ushul meletakkan kaedah lain, yaitu

 

العادة محكمة

 

Maksudnya bahwa tradisi menjadi timbangan hukum.

Juga kaedah berikut

تغير الفتوى واختلافها بحسب تغير الازمنة والامكنة والاحوال والنيات والعوائد

Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat

 

Kaedah tadi berlandaskan dari firman Allah berikut ini:

Beberapa kaedah di atas merupakan interpretasi para ulama dari ayat berikut:

فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

Artinya: “Maka, hendaknya ia mengikuti cara yang ma’ruf dan hendaklah ia menyampaikan dengan cara yang baik”. (QS: Al-Baqarah: 178)

 

Juga ayat berikut:

 

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Artinya : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf”.(QS. Al-Baqarah : 233).

Kata makruf dari dua ayat di atas maksudnya adalah sesuatu yang baik yang sudah menjadi tradisi dan kebiasaan suatu masyarakat.

Ini dikuatkan dengan hadis berikut:

 

أن هند زوجة أبي سفيان رضي الله عنه وأرضاه قالت: يا رسول! إن أبا سفيان رجل شحيح، فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: (خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف)

Artinya: Bahwa istri abu Sufyan ra. berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan orang yang pelit. Rasulullah saw berkata kepadanya, “Ambillah dari harta  Abu Sofyan sesuai dengan kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang makruf”.   (HR. Bukhari)

 

Maksudnya makruf adalah mengambil uang sekadarnya sesuai dengan kebutuhan yang umum terjadi di masyarakat tersebut.

 

Dalam kitab al-Muwatha disebutkan mengenai sabda Nabi Muhammad saw sebagai berikut:

قال النبي صلى الله عليه وسلم عن المملوك: (للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف

 

Rasulullah saw bersabda terkait interaksi dengan budak, “Budak mempunyai hak makanan dan pakaian seperti yang makruf”.

 

Maksudnya makruf di sini adalah standar sesuai dengan yang berlaku di masyarakat tersebut.

 

Jadi, tidak semua tradisi buruk. Tidak semua yang tidak dilakukan Rasul, lantas terlarang. Sunnah sendiri, dibagi tiga, qauluyah (perkataan nabi), fi’liyah (perbuatan nabi) dan taqririyah (persetujuan nabi). Tiga perkara tadi, khususnya yang terkait dengan fi’liyah, banyak yang bersentuhan dengan budaya. Misalnya rasul memakai jubah, makan dengan tiga jari, minum dan lainnya, merupakan bagian dari tradisi. Sunnah yang terkait dengan tradisi, tidak harus diikuti. Kita tidak harus kemana-mana pakai jubbah, atau selau makan dengan tiga jari. Tidak mungkinlah makan baso atau burbur dengan tiga jari. Karena jenis makanan itu tidak ada di Arab. Orang arab makan kurma, roti dan sejenisnya. Bisalah dengan tiga jari.

 

Jika semua yang tidak dilakukan rasul haram, maka naik bus, pesawat, motor menggunakan mesin ATM, hp, tv, dan sarana modern lainnya juga haram.hal ini karena rasul tidak pernah menggunakan. Tapi kan tidak demikian. Maka kita harus jeli memandang, mana sunnah, mana bidah, mana tradisi. Jika tidak, akan campur aduk. Akibatnya, kita mudah menyalahkan dan membidahkan perbuatan orang lain, sekadar  perbuatan itu tidak ada di zaman Rasulullah saw. Wallahu a’lam

===================
Bagi yang ingin wakaf tunai untuk pembangunan Pondok Modern Almuflihun, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +201120004899

Comments

comments

 border=
 border=

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

thirteen + 3 =

*